Pemilu: Dari Penundaan Hingga Anggaran Besar

 


Dinamika politik demokrasi di Indonesia 2022 berlangsung sangat menarik dan penuh intrik. Sejak awal tahun, asal mula wacana penundaan pemilu 2024 mulai santer beredar. Oratornya pun beragam mulai para menteri, ketua partai politik hingga organisasi kepala desa. Padahal isu seperti itu sebelumnya sangat tabu dibicarakan karena menyangkut konstitusi.

Wacana awal penundaan pemilu berasal dari pernyataan menteri investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada 10 Januari 2022. Dia menyebut para pengusaha berharap pemilu ditunda untuk menjaga stabilitasi ekonomi. Berikutnya Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar ikut menyokong soal penundaan pemilu. Menurutnya Presiden Jokowi akan setuju dengan penundaan pemilu jika semua partai kompak. Ketua umum Golkar, Airlangga Hartarto ikut bersikap walaupun dengan berdalih menerima aspirasi dari petani sawit terkait penundaan pemilu saat melakukan kunjungan ke Riau.

Wacana semakin liar ketika Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyatakan setuju hal tersebut.  Wacana digurlirkan sambil menyinggung amandemen undang-undang. Terakhir adalah dari Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim memiliki big data yang menyebutkan ada 110 juta warga yang ingin pemilu ditunda untuk menjaga kondisi politik dan ekonomi.

Wacana tersebut menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Salah satunya dari kalangan mahasiswa. Pada Senin (11/4), para mahasiswa dari 18 universitas di Indonesia menggelar aksi demonstrasi di Jakarta, mendesak Presiden Jokowi memberikan pernyataan jelas untuk menolak wacana perpanjangan jabatan atau penundaan pemilu. Sehari sebelumnya memang Presiden Jokowi telah mengeluarkan pernyataan agar para menteri dilarang berbicara tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, para mahasiswa menilai pernyataan terakhir presiden kepada menterinya masih bersayap dan memberikan peluang bagi DPR untuk mengubah undang-undang.

Anggaran Besar Pemilu Indonesia
Kementerian keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga kuartal pertama tahun ini mencapai Rp5,81 triliun atau 0,67% dari target. Kondisi ini berbalik dibandingkan dengan akhir Februari 2022 yang masih mencatatkan surplus anggaran. Defisit disebabkan oleh realisasi belanja negara yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara, sekalipun kinerja pendapatan membaik.

Pendapatan negara sudah mencapai Rp484,83 triliun atau 26,2% dari target tahun ini, tumbuh 30% dibandingkan kuartal I 2021. Pendapatan negara disumbangkan oleh penerimaan perpajakan yang mencapai Rp385,64 triliun dan peneriamaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp99,09 triliun.

Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp 490,64 triliun atau 18,1% dari target, turun 6,2% dibanding tahun lalu. Realisasi belanja ini terdiri atas belanja Kementrian dan Lembaga (K/L) sebesar 151,49 triliun, belanja non-K/L sebesar Rp162,68 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp174,46 triliun.

Dengan kondisi APBN yang masih defisit tersebut, Indonesia dihadapkan dengan anggaran Pemilu 2024. Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan bahwa perkiraan anggaran pemilihan umum atau Pemilu 2024 dapat mencapai Rp110,4 triliun. Jumlah itu naik hingga 431 persen dari pelaksanaan pemilu sebelumnya. Dia menjabarkan bahwa kebutuhan biaya pemilu 2024 terdiri atas anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) senilai Rp76,6 triliun dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) senilai Rp33,8 triliun. Jokowi meminta agar segera ada keputusan atas anggaran pemilu tersebut, baik dari APBN maupun APBD.

Perkiraan anggaran pemilu 2024 tercatat tumbuh fantastis dibandingkan dengan kebutuhan anggaran pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, memang, pada 2024 nanti pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak berlangsung pada tahun yang sama.

Anggaran pemilu 2024 tercatat melejit hingga 431,4 persen dari kebutuhan anggaran pemilu 2019. Dengan menggunakan asumsi inflasi 5,4 persen, anggaran pemilu 2019 saat ini menjadi Rp26,9 triliun, sehingga anggaran pemilu 2024 naik sekitar 409,2 persen.

Jika dibandingkan dengan pemilu 2014 yang mengantarkan Jokowi menjadi presiden, yang anggarannya tercatat Rp16 triliun, maka anggaran pemilu 2019 naik 61 persen dan anggaran pemilu 2024 terhitung naik 690 persen dari anggaran pemilu 2014.

Adanya polemik penundaan pemilu semakin membuat rumit penyelenggaraan pemilu yang memerlukan anggaran yang besar. Dalam pelaksanaan pemilu, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Seperti misalnya persiapan awal pemilu di Juni. Kemudian pada Agustus akan dilakukan verifikasi partai politik. Dalam waktu yang cukup singkat tersebut dibayangi oleh lambannya penetapan anggaran. Padahal penetapan anggaran adalah bukti konkret akan diadakannya pemilu.

Anggaran Besar Hasil Minimal
Setiap siklus pemilu diiringi kenaikan anggaran penyelenggaraan pemilu. Anggaran yang digunakan untuk pemilu selalu bernilai besar. Anggaran besar tidak hanya dikeluarkan oleh negara, tapi juga oleh para peserta pemilu yang berebut posisi di ajang pesta demokrasi lima tahunan. Partai sebagai organisasi harus mengeluarkan banyak uang untuk dana kampanye. Kemudian para calon pejabat sebagai individu juga harus mengeluarkan biaya untuk mengiklankan diri ke berbagai media periklanan.

Namun, yang dihasilkan dari pesta demokrasi dengan anggaran besar tersebut hanyalah berbagai hal yang minimal. Dari tahun ke tahun, angka kemiskinan tetap tinggi meskipun terjadi penurunan. Lahirnya berbagai macam aturan yang meningkatkan nominal pungutan jaminan kesehatan, menaikkan persentasi pajak, dan berbagai kegagalan mencegah kenaikan harga bahan-bahan pokok. Sehingga, yang dirasakan rakyat adalah kesengsaraan.

Hal itu terjadi karena orang-orang yang bertarung dalam ajang demokrasi adalah para pemilik modal yang ingin melancarkan bisnis dan urusan duniawi mereka. Bukan semata-mata bergerak untuk melayani rakyat. Mereka menganggap kekuasaan jalan bisnis dan bukan menganggap itu sebagai amanah berat yang harus dipikul. Sehingga ketika mereka memangku jabatan setelah terpilih, yang mereka lakukan mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui jabatan yang mereka pegang. Perjuangan yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri dan untuk kelompoknya.

Salah satu buktinya adalah betapa kerasnya mereka menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) saat belum berkuasa. Namun, setelah berkuasa menjadi pihak yang paling sering menaikkan harga BBM tanpa meminta pertimbangan rakyat. Penguasa dan para menteri yang sering tidak selaras sehingga kenaikan harga bahan pokok terjadi seolah tanpa sepengetahuan penguasa. Barulah ketika terjadi gejolak di masyarakat, penguasa baru berkomentar menyalahkan menterinya. Suatu sikap yang seolah-olah penguasa terpisah dari para menterinya. Apa lagi dengan para rakyat seolah-olah mengambil jarak.

Pemilihan Pemimpin dalam Islam Berbiaya Murah
Berbeda dengan pemilihan pemimpin dalam Islam. Pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, namun efektif menghasilkan output yang berkualitas. Berikut hal-hal yang menjadikan pemilu dalam Islam berbiaya murah:

Pertama, filosofi, tanggung jawab dan tujuan kepemimpinan. Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi karena takut atas pertanggungjawaban di akhirat. Orang yang maju menjadi calon pemimpin bukanlah figur yang gila jabatan, melainkan orang yang terdepan dalam kebaikan. Maka kecurangan telah dicegah sejak masih berupa niat di dalam hati. Sosok bertakwa akan membersihkan hatinya dari niat jahat, termasuk niat untuk berbuat curang.

Pemimpin dalam Islam juga menyadari tanggung jawab kepemimpinan. Bahwa tidak ada hijab antara Allah SWT dengan doa orang yang dizalimi. Maka kekhawatiran barbuat zalim sering kali membuat seseorang menjauh dari jabatan pemimpin. Sehingga orang yang menjadi pemimpin bukanlah sosok yang diliputi nafsu berkuasa (hubbu as siyadah), melainkan orang yang terus berusaha melekatkan sifat adil pada dirinya. Hingga tiada suatu makhluk bernyawa pun yang akan dizaliminya. Meski hanya seekor hewan misalnya. Pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.

Tujuan kepemimpinan dalam Islam menjadikan negeri ini bertakwa, hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi. Maka seseorang yang kurang tsaqafah Islam dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestasi. Merasa tak layak untuk menjadi imam dari jutaan jiwa dan memimpin mereka di jalan takwa.

Filosofi, tanggung jawab, dan tujuan kepemimpinan tersebut menjadikan calon pemimpin dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas. Tak akan ada praktik politik uang dan suap menyuap karena sang calon pemimpin takut akan murkanya Allah SWT. Hal ini mencegah dikorupsinya uang negara untuk politik uang. Calon pemimpin juga tidak akan membutuhkan biaya kampanye yang besar. Karena kualitas dirinya hakiki, tak butuh pencitraan. Juga tak butuh dana untuk membayar tim buzzer yang akan memviralkan sang calon di dunia maya.

Kedua, metode baiat. Metode baku pengangkatan  pemimpin dalam Islam adalah baiat. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan umat. Dukungan ini tak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan. Yaitu rakyat memilih wakilnya, lalu wakil umat ini (Majelis Ummah) yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu dalam Islam bersifat langsung, namun pemilihan langsung bukanlah metode melainkan teknis yang bersifat pilihan. Namun, bentuk bakunya adalah baiat.

Siapapun yang dibaiat, dialah pemimpinnya. Rakyat tak akan sibuk berdebat tentang quick count, real count, dan exit poll. Karena bukan perkara hitung-hitungan itu yang menjadi poin krusialnya, melainkan siapakah yang dibaiat menjadi pemimpin. Metode baiat ini bisa ditempuh dengan penunjukan seperti terpilihnya Umar bin Khaththab menjadi kepala negara. Bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi (tokoh masyarakat) sebagaimana pengangkatan Khalifah Utsman bin 'Affan. Saat itu perwakilan rakyat yang berjumlah enam orang bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Umar bin Khaththab. Panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada jika pemilihan dilakukan langsung. Namun meski hanya enam orang, mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.

Ketiga, batas waktu pemilihan pemimpin. Islam menetapkan batas waktu maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma' para sahabat pada pembaiatan Abu Bakar RA yang sempurna di hari ke tiga pasca wafatnya Rasulullah SAW. Juga ketetapan Umar bin Khaththab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal 'aqdi adalah tiga hari. Jika dalam kurun waktu tiga hari enam orang ahlul halli wal 'aqdi ada satu yang tidak kunjung sepakat maka satu orang tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai.

Tiga hal tersebut menjadikan pemilu di dalam sistem Islam berbiaya murah namun efektif menghasilkan pemimpin berkualitas. Contoh terbaik mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam adalah di masa Umar bin Khaththab. Ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka. demikianlah tiga hal yang menjadikan pemilu dalam Islam sangat mudah dan murah.

Demikianlah jika kembali pada pembahasan awal kita bisa menyaksikan bahwa sistem demokrasi menggunakan metode pemilihan pemimpin dengan biaya yang mahal namun menghasilkan kesengsaraan bagi rakyat. Sangat berbeda dengan pembahasan berikutnya tentang mekanisme pemilihan pemimpin dalam sistem Islam yang berbiaya sangat murah namun menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan melayani serta melindungi rakyat yang dipimpinnya. Maka mari kita senantiasa memohon pada Allah SWT serta memperjuangkan agar sistem Islam segera tegak di muka bumi ini.[]


Oleh: Rini, Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar