Laman berita CNNIndonesia.com, 11/5/2022, mengabarkan bahwa Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi meminta pemerintah pusat menyerahkan 13 sungai dan jalan protokol untuk sepenuhnya dikelola Pemprov DKI. Pras mengatakan bahwa sebaiknya Pemprov DKI yang menata agar pemerintah lebih fokus pada proyek pemindahan IKN. Pras menegaskan bahwa masalah utama di Jakarta hanya dua, yakni banjir dan macet. Menurutnya, selama ini Pemprov DKI kerap dituding oleh banyak pihak terkait problem banjir dan macet. Dengan usulan itu, dia berharap ke depannya tidak terjadi saling menyalahkan antara pemerintah pusat dan pemprov.
Sesungguhnya, usulan ini sudah dikemukakan Pras sejak awal 2020 lalu. Sebelumnya, dia meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) menyerahkan 13 sungai dan mengembalikannya kepada Pemprov untuk dibenahi. Menurutnya, sejak dia menjadi anggota DPRD DKI, pemerintah pusat tidak benar-benar fokus menanganinya (republika.co.id, 04/01/2020).
Memang, pencegahan banjir di Jakarta tidak lepas dari pengelolaan 13 sungai tersebut. Namun pengelolaan sebagian 13 sungai besar di Jakarta masuk dalam kewenangan Pemerintah Pusat. Ironisnya, sejak dulu polemik pemanfaatan dan pengelolaan air dari hulu ke hilir belum juga tuntas. Beberapa faktor penyebabnya yaitu:
Pertama, birokrasi yang berbelit. Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu melalui naturalisasi hanya dapat diterapkan di sungai yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Sedangkan, pengelolaan (normalisasi/betonisasi) sungai Ciliwung merupakan kewenangan Pusat dengan kebijakannya sendiri.
Faktanya, menurut artikel yang ditulis laman mongabay pada tahun 2020, Ciliwung membentang dari hulu di wilayah Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di Pantai Utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 387 kilometer persegi.
Ciliwung adalah satu dari 15 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dengan daerah yang dilewati sungai-sungai besar.
Kedua, cara pandang yang salah baik dari pemerintah pusat, pemprov DKI maupun swasta terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sungai. Idealnya, cara pandang mengenai air, pemanfaatan dan pengelolaannya, selain meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi sumber daya air, tapi juga regulasinya terhadap kepentingan masyarakat. Namun, faktanya pemanfaatan sungai selama ini selalu saja dinilai dari keuntungan bisnis semata.
Pada RPJMD tahun 2017-2022 terjadi penghapusan program normalisasi menjadi naturalisasi sungai. Sayangnya, perubahan tersebut hanya bersifat nomenklatur karena tetap dilakukan betonisasi pinggir sungai. Laman kompas.com, 2/2/2020 menulis bahwa naturalisasi sungai yang dikerjakan lebih bertujuan untuk memperindah area sungai agar lebih bernilai estetis dengan membuat taman dan tempat wisata.
Padahal, menurut halaman walhi.or.id, 5/6/2020, Sudirman Asun dari Ciliwung Institute mengatakan bahwa betonisasi sungai adalah solusi keliru mengatasi banjir untuk Jakarta. Program ini justru menggusur ruang terbuka hijau, mempersempit daya tampung sungai dan sempadan. Hal tersebut mengakibatkan beban banjir akan terakumulasi pada kampung hilir di bawahnya. Apalagi daerah hilir di Utara Jakarta rata-rata berada di bawah permukaan laut.
Selain itu, adanya pembangunan apartemen apung di atas Kali Ciliwung mengganggu ekosistem flora dan fauna sungai. Beberapa pengusaha properti menjadikan "river view" sebagai nilai lebih apartemen yang ditawarkan.
Kemudian, pemerintah tidak fokus dengan hal utama dan menghabiskan banyak energi untuk hal yang sia-sia. Pemerintah justru tidak menjadikan sungai sebagai sarana transportasi alternatif bagi masyarakat di tengah kenaikan harga BBM. Peneliti Ekohidrolik, Sungai, Banjir dan Lingkungan dari Fakultas Teknik UGM, Agus Maryono, nationalgeographic.great.id, 1/2/3/2013, pernah mengajukan konsep penggabungan banjir dan penanganan masalah kemacetan di Jakarta.
Menurut Agus, jika sungai dimanfaatkan menjadi sarana transportasi, maka secara otomatis kedalaman, lebar, dan sedimentasi sungai selalu terpelihara sehingga banjir dapat teratasi. Namun, bila sungai di perkotaan tidak dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, maka sungai menyempit dan dangkal karena tidak ada pemeliharaan dan perhatian rutin.
Ketiga, kurangnya pengawasan dan tidak adanya sinergitas antarkebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dalam rangka memperbaiki kualitas perairan di Indonesia, pemerintah semakin ketat melaksanakan pengawasan dan izin lingkungan. Industri yang melakukan pembuangan limbah cair ke dalam perairan harus mengikuti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P-16/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/4/2019 tentang baku mutu air limbah.
Selain itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, setiap badan usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta melakukan pemulihan lingkungan hidup. Namun faktanya, Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sekitar 61 persen sungai di Jakarta saat ini tercemar berat. Pencemaran Teluk Jakarta sudah terjadi jauh sebelum reklamasi dilakukan. Limbah tersebut berasal dari industri dan rumah tangga.
Keempat, masalah tata ruang. Pengelolaan sungai sangat bergantung pada bagaimana mengevaluasi tata ruang dari hulu hingga hilir. Dikutip dari Kompas.com, 22/1/2014, Jan Sopaheluwakan yang merupakan Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Peneliti senior dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,
mengatakan bahwa kondisi alam Jakarta sebaiknya memiliki dua area, yaitu ruang hijau untuk resapan air di daerah selatan dan ruang biru untuk menampung air di kawasan utara Jakarta. Namun, kondisinya kini telah rusak akibat banyaknya bangunan di hampir seluruh wilayah Ibu Kota.
Alih-alih mengoptimalkan fungsi sungai, para pemangku kebijakan berebut atau malah saling lempar tanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan pemberdayaan sungai. Fakta berbicara, dikelola oleh pemerintah pusat atau pun pemprov DKI, sungai hanya dijadikan lahan bisnis atau tempat rekreasi. Polemik yang terjadi sarat kepentingan politis. Hal tersebut mengonfirmasikan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan sungai. Kesengsaraan masyarakat dari tahun ke tahun juga tidak membuat pemimpin sadar.
Oleh karenanya, masalah-masalah tersebut sejatinya membutuhkan solusi sistemis. Dibutuhkan sinergitas dan kesungguhan jajaran pemerintah di semua level untuk mengevaluasi, memperbaiki, bahkan merevisi kebijakan baik tata kelola sungai maupun tata ruang. Sebab, yang kita rasakan saat ini adalah kebijakan pembangunan berparadigma sekuler kapitalistik yang berorientasi keuntungan materi semata.
Selain itu, untuk melahirkan kebijakan yang solutif, pro rakyat dan ramah lingkungan. Saat ini dibutuhkan pemimpin yang bertakwa kepada Allah Swt., memiliki rasa empati, amanah dan visioner agar rahmat selalu tercurah dari bumi dan langit. Namun, pemimpin yang benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyat mustahil lahir dari asuhan sistem demokrasi kapitalisme.
Sistem kapitalisme secara fitrah memproduksi para pemangku kebijakan yang tamak dan profit oriented. Perkara kebijakan yang dibuat apakah merusak lingkungan atau tidak, menyejahterakan rakyat atau malah menyengsarakan rakyat urusan belakangan. Yang utama adalah bagaimana kebijakannya bisa menguntungkan mereka dan kelompoknya.
Pemimpin ideal hanya bisa lahir dari sistem Islam yang merupakan sistem yang berasal dari Allah Swt. pencipta manusia dan alam semesta. Oleh karenanya, masihkah kita bertahan hidup dengan sistem rusak ini? Tidak inginkah kita menunaikan kewajiban kita untuk menerapkan aturan Islam yang sudah terbukti selama 13 abad menyejahterakan manusia? Wallahualam bishawab.
0 Komentar