Indonesia diberikan oleh Allah SWT kekayaan akan sumber daya alam yang melimpah. Hutan yang luas dan tanah yang subur merupakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT yang wajib disyukuri. Namun dibalik itu, terjadi banyak persaingan untuk memilikinya.
Dilansir dari Kompas.com bahwa terdapat 40 orang petani sawit di kabupaten Mukomuko, Bengkulu ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencurian tandan buah segar (TBS). Lahan di area divisi 7 eks HGU PT BBS saat ini dikelola oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) (16/5/2022).
Zelig Ilham Hamka, kuasa hukum para petani sangat menyayangkan penetapan tersangka terhadap 40 petani tersebut. Zelig mengatakan bahwa konflik lahan antara petani dan PT DDP telah berlangsung sejak 17 tahun lalu.
Zelig menambahkan bahwa konflik yang telah berselang lama itu tidak ada penyelesaian dari pemerintah. Bahkan 187 petani di sana sering mendapatkan kekerasan dan ketidakadilan oleh aparat penegak hukum serta ketidak pedulian dari pemerintah.
Konflik Pertanahan yang Kerap Terjadi
Konflik pertanahan di Indonesia kerap terjadi, bisa dilihat selama kurun waktu 2018 hingga 2020 pemerintah tengah mengatasi 185 kasus pertanahan yang terindikasi adanya mafia tanah. Kasus yang sangat banyak ini terjadi baik antara masyarakat dengan pemerintah (PTPN/Perhutani), masyarakat dengan koorporasi maupun pemerintah dengan korporasi.
Mengutip laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ada delapan pemicu konflik agraria ini. Antara lain penguasaan dan pemilikan tanah aset BUMN dan tanah di kawasan hutan, penetapan hak atas tanah, batas dan letak bidang tanah, pengadaan tanah, tanah objek land reform, tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah adat dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia menurut Wahyu Wagiman, SH, MH, managing director BHR Institut dalam bincang-bincang di Chanel YouTube NgertiHukumID bahwa pemerintah tidak mempunyai data tanah yang jelas.
Data tanah yang dimaksudkan adalah data yang komprehensif mengenai tanah dan menggambarkan tentang peruntukan tanah, pemilikan tanah, juga bagaimana penguasaannya.
Wahyu mengatakan bahwa sengketa tanah paling cepat bisa selesai melalui peradilan dalam jangka waktu empat tahun dengan landasan UU Pokok Agraria (UU PA).
Wahyu juga mengatakan bahwa mendata tanah merupakan hal yang cukup mudah karena bisa dilihat dari pajak. Siapa yang membayar pajak ataupun HGU atas lahan tersebut. Dengan begitu, BPN bisa menelusuri semua lahan berikut kepemilikanya.
Sejurus dengan itu, Ahmad Zazali, SH, Direktur Eksekutif IMN mengatakan ada beberapa peraturan selain UU PA no 5 tahun 1960. Antara lain UU no 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Peraturan ini juga diadopsi oleh BPN dalam mengatasi sengketa yaitu dengan jalan mediasi.
Namun Ahmad menyayangkan bahwa BPN selama ini tidak menjalan fungsinya sebagai mediator. Ahmad katakan entah mereka tidak siap membuka data ataupun tidak mempunyai data akan tanah tersebut.
Dalam mediasi yang dilakukan atas konflik dengan masyarakat adat yang biasanya berhadapan dengan korporasi, maka pertama yang dilakukan adalah memastikan obyek lahan, batas lahan dan lain-lain. Kemudian barulah mendudukkan kedua belah pihak yang bersengketa untuk saling berbicara.
Membicarakan tentang kesepakatan simbiosis mutualisme antar kedua pihak yang bersengketa. Kesepakatan yang terjadi dari kedua belah pihak misalnya dengan dikembalikan lagi hak tanah ke masyarakat adat atau lainnya.
Walaupun usaha mediasi telah dilakukan, namun banyak masalah turunan yang terjadi. Misal tentang apakah masyarakat adat tersebut diakui oleh negara atau tidak dan lain sebagainya.
Pandangan Atas Tanah dan Solusi Konfliknya
Tanah walaupun tergolong sebagai benda, namun mempunyai sifat yang khas sehingga Islam pun memperlakukannya berbeda dengan benda yang lain.
Syariat mengatur bahwa siapapun yang ingin memiliki tanah mati (tanah yang tidak bertuan) bisa dengan jalan menggarapnya. Namun bila dalam perjalanan kepemilikannya ia justru menelantarkan tanah tersebut dalam jangka waktu tiga tahun, maka kepemilikannya telah hilang.
Sehingga bila seseorang tidak mampu mengelola tanahnya, maka lebih baik diserahkan pada orang lain ataupun diberikan kepada negara khilafah untuk diatur pengelolaannya.
Kemudian terkait dengan tanah pertanian, syariat telah mengatur bahwa dilarang pemilik lahan untuk menyewakannya kepada orang lain. Sehingga sang pemilik wajib menggarap lahannya, bila tidak sanggup menggarap, maka hukumnya sama seperti tanah mati, akan diberikan pada orang lain.
Dengan ketentuan demikian tentunya akan mengurangi angka pengangguran. Di saat yang sama akan tercipta pemberdayaan masyarakat dengan cara menggarap tanah yang ditujukan untuk komoditi pertanian dalam terciptanya swasembada pangan. Sehingga tidak ada lagi tanah terlantar yang tidak menghasilkan apapun.
Maka ratusan konflik pertanahan yang selama ini ada dengan penyelesaian yang berkepanjangan, dengan aturan Islam akan memangkas itu semua.
Bila selama ini dengan proses mediasi berharap solusi yang tidak berat sebelah. Justru dengan aturan syariat solusi yang didapat selain memuaskan semua pihak, juga mensejahterakan bagi seluruh rakyat.
Namun aturan Allah swt tidak boleh dipandang hanya dari sisi manfaat, karena seluruh aturan yang Allah SWT berikan pada manusia pasti bermanfat bagi seluruh alam. Saat ini yang utama adalah mendorong agar manusia taat syariat.
Wallahu alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar