Meski pemilu masih 2,5 tahun lagi, tapi gemuruh perbincangan dan maneuver politik sudah amat terasa di publik. Momen Idul Fitri pun tak luput dari ajang aksi prakondisi pemilu oleh para elite politik. Meski dinilai kegiatan tidak bernuansa politik, tetap saja tak bisa dikatakan bebas intrik.
Sebagaimana Prabowo tidak melewatkan momen lebaran untuk berkunjung ke Istana kepresidenan Yogyakarta, dan di hari yang sama juga mengunjungi kediaman Presiden RI ke-5, Megawati Soekarno Putri. Tak usai sampai di situ, ia juga mengunjungi Gubernur Jawa Timur, Khofifah dan juga sejumlah ulama. Menyempatkan ziarah ke makam Presiden RI ke-4, Gus Dur dan juga mampir ke pondok pesantren Tebuireng. Kemudian ditutup dengan pertemuan halal bihalal Sultan Hamengkubuwono X di keraton Yogyakarta.
Tokoh-tokoh politik lain juga tak luput tersorot, seperti Anies yang menggelar mudik gratis DKI Jakarta yang justru dihadiri oleh pemudik dengan baju Anies Presiden Indonesia. Dan juga mudik gratis partai Golkar maupun mudik gratis BUMN yang dihadiri Menteri BUMN Erick Tohir. Ia juga kerapkali bersedia muncul di acara TV. (Tirto, 9 Mei 2022)
Manuver Kerek Elektabilitas?
Analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Colsulting, Arif Nurul Imam menilai bahwa fenomena yang muncul mengandung pesan politik. "Semua tokoh yang ingin atau potensial maju dalam kompetisi Pilpres 2024 mulai Lebaran atau sejak dini telah melakukan cicilan kerja-kerja politik untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas," kata Arif kepada Tirto, Jumat (6/5/2022).
Hal senada juga disampaikan oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, bahwa menggelar mudik bareng dinilai efektif untuk menggiring minat publik terhadap seorang kandidat.
Topeng Demokrasi
Meski pemilu masih 2,5 tahun lagi, tokoh politik sudah berlomba-lomba menarik minat rakyat untuk memenangkan kontestasi. Berebut tiket kursi paling bergengsi dalam pesta demokrasi yang paling dinanti. Walhasil pelayanan kepada publik jadi tereduksi oleh kepentingan para politisi.
Perhelatan pemilu, khususnya pilpres, memang dielu-elukan sebagai simbol negara demokrasi. Dikatakan negara demokratis jika berhasil melibatkan seluruh elemen rakyat dalam pemilihan presiden. Tak ayal, kita akan temukan berbagai pihak yang berambisi maju akan berlomba-lomba memulai manuver dalam konstestasi lima tahun ini.
Para kontestan pemilu akan berupaya membangun citra yang baik, mengumpulkan kantong massa dan meninggikan elektabilitas. Dan semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Inilah yang dikatakan Mark Twain bahwa demokrasi adalah sistem yang sangat mahal. Mahalnya mahar demokrasi meniscayakan perzinaan antara penguasa dan pengusaha. Suntikan dana oleh para pemodal tidaklah gratis. Ketika ia menang, terjadilah politik balas budi, yakni membuat regulasi yang berpihak pada kepentingan pemodal kapitalis, meski harus mengorbankan rakyatnya sendiri.
Begitulah demokrasi dalam melahirkan seorang pemimpin. Pemimpin lahir ditentukan dukungan parpol, pemodal, profil pencitraan individu, dan elektabilitas. Kualitas dan kapabilitas tidak akan menjadi poin penting bagi elite parpol. Yang penting rakyat suka dan mau menyumbangkan suaranya untuk mereka.
Kepemimpinan dalam Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan kriteria pemimpin, “Selayaknya perlu diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar, yakni kuat (mampu) dan amanah.”
Mengemban amanah kepemimpinan itu tidak semudah mengucap, tidak pula sekadar mengumbar citra ke rakyat. Pemimpin kuat adalah mereka yang bebas dari sandera kepentingan golongan, partai apalagi menjadi abdi korporat.
Dalam Islam, calon khalifah dan kepala negara dipilih berdasarkan kapasitas dan kemampuannya, bukan sebatas polesan pencitraan atau banyaknya modal yang ia dapat. Dan pemilihan tidak boleh melebihi tiga hari tiga malam, maka relatif singkat. Tidak ada pemborosan biaya kampanye sebagaimana sistem demokrasi.
Pemilihan bisa dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dipilih langsung oleh umat, sebagaimana Khalifah Abu Bakar. Bisa juga diusulkan oleh khalilfah yang menjabat sebagaimana Abu Bakar ra memilih Umar bin Khattab ra. Dan terakhir dipilih melalui perwakilan tokoh umat yang disebut Ahlul Halli Wal Aqdi sebagaimana pemilihan Usman bin Affan ra sebagai khalifah.
Demikian esensi kepemimpinan Islam dalam perpolitikkan ialah pengurusan rakyat dengan syariat Islam kaffah. Dalam Islam tidak ada celah konflik kepentingan atau politik transaksional, sangat kontras dengan demokrasi yang penuh konflik kepentingan. Bahkan dalam buku ‘How Democrasies Die”, cendikiawan asal negera pionir pengemban demokrasi memproyeksikan demokrasi kian rapuh dan kritis. Masihkah berharap dengan sistem buatan manusia? Tidakkah kita berharap pada sistem yang bersumber dari Zat yang Mahasempurna untuk menjemput perubahan hakiki?
Penulis: Safina An-Najah Zuhairoh, Aktivis Muslimah
0 Komentar