Tereduksinya Islam Melalui RUU Sisdiknas



Beberapa minggu terakhir ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia menarik perhatian publik. Banyak pihak meradang karena draf RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dibuat Kemdikbud menghapus frasa ‘madrasah’ yang sebelumnya ada di UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Padahal RUU Sisdiknas ini ditengarai akan menggabungkan antara UU Sisdiknas sebelumnya dengan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Maka tak heran jika RUU Sisdiknas yang baru ini digadang-gadang merupakan “Omnibus Law bagi dunia pendidikan” (dpr.go.id., 29/03/2022).

Beberapa kalangan menilai dihilangkannya kata ‘madrasah’ dalam RUU Sisdiknas merupakan langkah Kemdikbud untuk menghilangkan peran madrasah dalam dunia pendidikan. Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara, Arifin Junaidi seperti dikutip mediaindonesia.com (25/03/2022) khawatir jika madrasah hilang dalam RUU Sisdiknas, maka akan terjadi diskriminasi terhadap madrasah seperti yang terjadi UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas dan UU Nomor 4 tahun 1950 tentang Pokok Pendidikan yang tidak memasukkan kata madrasah di dalamnya.

Padahal Arifin menilai kontribusi madrasah bagi pendidikan Indonesia sudah terukir sepanjang sejarah. Ia pun menyatakan madrasah di bawah pengawasan Kementerian Agama (Kemenag) yang jumlahnya hampir setara dengan jumlah sekolah umum di bawah Kemdikbud menjadi indikasi bahwa animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah masih tinggi.

Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ditemani oleh Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama Republik Indonesia akhirnya angkat bicara. Dalam siaran persnya yang ditayangkan di Instagram @nadiemmakarim pada 29 Maret 2022, menegaskan bahwa tidak ada niatan untuk menghapus madrasah dalam RUU Sisdiknas yang baru. Bentuk-bentuk satuan pendidikan yang ada termasuk di dalamnya madrasah akan dijelaskan dalam batang tubuh revisi RUU Sisdiknas. Tujuannya agar “penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang, sehingga jauh lebih fleksibel dan dinamis”.

Sepuluh Daftar Hitam RUU Sisdiknas

Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menyatakan Kemdikbud terkesan buru-buru dalam mengajukan RUU Sisdiknas (jpnn.com, 12/03/2021). Ia mencurigai tindakan yang dilakukan Kemdikbud merupakan langkahnya untuk menyelaraskan program Merdeka Belajar yang menjadi program unggulan Kemdikbud selama ini. Padahal peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 belum selesai direvisi. Sejalan dengan Indra, Dede Yusuf selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI mengungkapkan bahwa dirinya belum menerima draf RUU PKS dan naskah akademik yang sudah membuat publik heboh. Ia menganggap beredarnya draf RUU Sisdikinas hanya merupakan ‘testing the water’ sebelum dilakukan uji publik (dpr.go.id., 29/03/2022).

Sebagaimana yang dilansir pikiranrakyat.com (19/03/2022), Ketua Bidang Kajian dan Riset Kebijakan Pendidikan NU Circle, Ki Bambang Pharmasetiawan memaparkan sepuluh daftar hitam RUU Sisdiknas meminggirkan dan memarginalkan peran agama dalam membangun moralitas anak Indonesia dan membangun peradaban bangsa, yakni memiliki grand design yang memosisikan pendidikan nasional sebagai komoditi karena telah masuk ke dalam ranah bisnis dan perdagangan; melepaskan tanggungjawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa; membangun standar pendidikan yang jauh lebih buruk dari pabrik batu bata; membentuk manusia Indonesia yang individualis; menanamkan Pancasila sebagai doktrin; menjauhkan anak-anak Indonesia dari identitas dan jati diri bangsa Indonesia; dikemas sebagai kebijakan terpusat sehingga bias terhadap otonomi daerah; didesain menghilangkan tujuan bernegara; gagal dalam mendefinisikan Sistem Pendidikan Nasional.

RUU Sisdiknas dalam Kungkungan Sekularisme, Liberalisme dan Kapitalisme

Jika ditarik benang merah, ada indikasi RUU Sisdiknas ini makin menumbuhsuburkan sekularisme, liberalisme dan kapitalisme di Indonesia. Dihilangkannya frase berkaitan dengan agama bukan kali pertama dilakukan oleh Kemdikbud. Sebelumnya Kemdikbud juga meniadakan kata ‘agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang kemudian menuai polemik. Pendidikan Indonesia 2035 memiliki visi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”. Padahal dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional untuk menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka tak heran jika RUU Sisdiknas yang menghilangkan kata ‘madrasah’ pun menjadi sinyal makin kuatnya sekularisasi dalam bidang pendidikan.

Digencarkannya ide moderasi beragama dalam institusi pendidikan juga mengindikasikan bahwa pemerintah ingin menjauhkan kaum Muslimin terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa dari nilai-nilai Islam kaffah. Akan menjadi sebuah keniscayaan jika generasi yang dicetak pendidikan akan melahirkan lulusan yang tidak paham akan hukum Islam dan enggan menunjukkan identitasnya sebagai Muslim. Pendangkalan pemikiran akan terjadi sehingga Islam akan selalu menjadi pihak ‘tertuduh’ dan islamophobia pun merebak di tengah-tengah masyarakat.

Di kalangan pemuda pun akan muncul pemahaman untuk mengebiri hukum Islam yang hanya digunakan untuk mengatur ibadah ritual saja dan tidak mempermasalahkan menjalankan kehidupan umum dengan hukum yang bertentangan dengan Islam. Bahkan pemuda saat ini bisa jadi bertransformasi menjadi pembela ide sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan dan menganggap dengan sekularisasilah menjadikan mereka kaum yang terdidik. Barat akhirnya menjadi mercusuar yang membuat pemuda bangga dalam menerapkan sistem kehidupannya dan alergi terhadap hukum-hukum Islam.

Dalam pasal 12 RUU Sisdiknas ada frase yang menyatakan “masyarakat wajib” memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Pasal ini mengindikasikan adanya upaya pemerintah untuk lepas tangan dari tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pendidikan yang merupakan hak warga negara. Pasal ini juga berpotensi menciptakan makin melebarkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kualitas pendidikan yang dihasilkan dari sekolah yang memungut biaya besar dan sekolah yang berbiaya rendah akan jelas terlihat. Kesenjangan dalam bidang pendidikan pun tidak bisa dihindari.

Bongkar pasang program atau kebijakan yang saling tumpang tindih menjadi indikasi kegagalan sistem selain Islam dalam menuntaskan berbagai persoalan dalam bidang pendidikan. Kualitas pendidikan yang masih rendah, fasilitas pendidikan yang belum merata, learning loss di masa pandemi yang tidak hanya dialami oleh siswa namun juga guru dan orang tua merupakan beberapa di antaranya. Padahal anggaran yang dikeluarkan pemerintah yang sebagian pendapatannya didapat dari pajak yang dipungut dari rakyat tidaklah sedikit.

Sejatinya kebijakan atau program yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi permasalahan di bidang pendidikan tidak bisa lepas dari ideologi politik yang diadopsi oleh negara. Perang kepentingan sangat kentara terlihat dalam setiap kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah. Sistem pendidikan di Indonesia berlandaskan pada sistem sekuler demokrasi yang menjadikan penguasa hanya sebagai regulator bukan sebagai penanggungjawab terhadap semua urusan rakyatnya.

Politik Pendidikan Islam

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam bab Qiyadah Fikriyah memasukkan pendidikan sebagai lima aspek penting dalam penerapan sistem Islam oleh penguasa di samping hukum yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, politik luar negeri dan pemerintahan. Ia menyatakan strategi pendidikan yang diterapkan dalam pemerintahan Islam di bawah naungan Daulah Khilafah selalu dibangun berlandaskan Islam. Asas bagi kurikulum pendidikan adalah tsaqafah Islam. Masuknya tsaqafah asing ke dalam sistem pendidikan akan melalui seleksi yang sangat ketat. Jika ditemukan tsaqafah tersebut bertentangan dengan Islam, makan tidak akan diambil atau diadopsi ke dalam pelaksanaan pendidikan.

Artikel Noor Afeefa yang berjudul Sekolah Zona Hijau Tetap Bikin Galau yang dimuat Muslimahnews.com pada 21 Juni 2020 memaparkan lima poin gambaran sistem pendidikan Islam yang mampu menjadikan manusia sebagai generasi pembangun peradaban mulia. Pertama, pendidikan diselenggarakan dengan landasan akidah Islam untuk membentuk peserta didik yang bersyakhshiyah Islam. Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang seharusnya bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja tanpa dibatasi dengan adanya institusi. Sehingga proses belajar tetap harus dilakukan meskipun pandemi tengah melanda negeri. Sebagai seorang Muslim, peserta didik seharusnya senantiasa diingatkan bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya sehingga melaksanakannya akan bernilai pahala dan dicatat sebagai kebaikan jika dilakukan dengan keikhlasan.

Rasulullah SAW juga memberi kedudukan lebih tinggi bagi orang berilmu dibanding orang yang senantiasa beribadah. Sabda Rasul SAW, “Kedudukan orang yang berilmu dengan ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang” (Hadits shahih riwayat Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah).

Kedua, kurikulum disusun mengikuti tujuan membentuk individu yang bersyakhshiyah Islam. Bobot materi tsaqafah Islam dan ilmu alat (umum) tidak akan berat sebelah. Materi-materi umum tetap didalami untuk mengasah kecakapan hidup tanpa mengesampingkan aspek ruhiyah peserta didik. Belajar tidak lagi hanya diartikan sebagai batu loncatan dalam meraih ijazah yang dibutuhkan kelak untuk masuk ke dalam dunia kerja. Kurikulum yang disusun tidak akan bersifat teori namun praktis yang bisa diaplikasikan peserta didik dalam kehidupan.

Ketiga, metode pengajaran yang sahih. Belajar akan diarahkan sebagai proses diskusi yang mengasah kemampuan berpikir peserta didik. Kegiatan belajar mengajar tidak akan lagi bertumpu pada pendekatan teacher-centered yang hanya mencetak lulusan yang tidak mampu berpikir kritis. Dalam kegiatan belajar mengajar akan terjadi proses berpikir yang bisa mempengaruhi perilaku peserta didik dalam melihat kehidupan serta permasalahannya. Ia tidak akan melihat permasalahan kemiskinan misalnya dari kacamata ekonomi saja, tapi juga akan mengkaitkan dengan aspek lain karena sejatinya sistem Islam tidak memisahkan antara kehidupan dengan ad-diin yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.

Standar keberhasilan proses belajar tidak ditentukan oleh besarnya nilai yang diperoleh oleh peserta didik. Namun proses belajar dalam sistem pendidikan Islam akan diukur dengan karya yang dihasilkan oleh peserta didik dan karya tersebut bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia Islam.

Keempat, pendidikan dalam sistem Islam akan menggunakan teknik dan sarana yang sahih. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada akan dimaksimalkan sedemikian rupa dalam dunia pendidikan untuk menunjang proses belajar mengajar. Sistem Islam tidak mengharamkan teknologi yang dibuat oleh non-Muslim selama tidak melanggar nilai-nilai Islam. Blended-learning yang memadukan antara belajar secara offline dan online mungkin bisa dimanfaatkan untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Penggunaan internet dan gadget bisa jadi dioptimalkan untuk menunjang proses pendidikan yang berkualitas.

Kelima, negara selaku pengurus urusan umat akan sepenuhnya mendukung penyelenggaran pendidikan yang berkualitas. Kepala negara akan menjamin hak rakyat untuk memperoleh pendidikan bisa terpenuhi dengan menganggarkan anggaran negara yang lebih dari cukup untuk menunjang proses belajar mengajar yang efektif. Inilah bentuk tanggunjawab penguasa yang sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW: “Sesungguhnya pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap peliharaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Khatimah
Adanya dikotomi dalam pendidikan umum dan berbasis agama serta adanya marginalisasi pendidikan agama dalam kebijakan dan program yang diluncurkan pemerintah menjadi bukti bahwa pemerintah tidak berniat menjadikan Islam sebagai standar pendidikan. Berharap pada sistem selain Islam untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan bak pungguk merindukan bulan.

Permasalahan pendidikan yang terjadi jelas memerlukan perhatian serius dan campur tangan penguasa yang memiliki ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menerapkan sistem pendidikan merupakan bagian integral dari penerapan syariah Islam secara kaffah yang hanya bisa ditegakkan dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Semoga pandemi ini semakin memberikan kesadaran bagi kita khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya untuk kembali diatur oleh Sang Maha Pengatur, Allah SWT, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bishawab.[]


Penulis: Maya Puspitasari, Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar