Remaja atau generasi muda adalah harapan bangsa. Segudang asa dan harapan selalu disematkan padanya. Keluarga, bangsa, bahkan negara menanti para generasi muda kelak menjadi pemimpin sejati yang membawa nasib ke arah yang lebih baik.
Namun, agaknya harapan itu seakan terseok melihat realitas pemuda atau generasi harapan bangsa hari ini. Bak benang kusut yang sulit untuk diurai, permasalahan anak muda hari ini membuat kemelut di tanah air semakin runyam. Selain banyak generasi muda yang terjebak narkoba, seks bebas, dan gaya hidup hedon, mereka para pemuda yang masih duduk di bangku sekolah khususnya kerap mempertontonkan aksi jalanannya dengan tawuran.
Tawuran antarpelajar kini seakan menjadi tren di kalangan mereka akibat sudah terbiasanya mereka melihat atau bahkan terlibat langsung. Dilansir dari detik.com (27/05/2022), seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP) tewas usai terlibat tawuran di Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur. Meski sudah mendapatkan perawatan, nyawa pelajar tersebut tidak tertolong karena luka di paru-paru.
Di bulan yang sama, Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat memulangkan 16 pelajar yang terlibat tawuran di Jalan Industri Raya, Kemayoran. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Komisaris Besar Polisi Komarudin mengatakan, pelajar yang ditangkap setelah tawuran pada Kamis (19/5/2022) itu dikenakan wajib lapor.
"Yang kita tangkap sebelumnya sudah kita pulangkan, tapi mereka wajib lapor ke Polres Metro Jakarta Pusat," ujar Komarudin. (Kompas.com, 23/5/2022).
Sungguh miris, urusan menghilangkan nyawa pun tidak lagi menjadi barang langka dalam aksi tawuran pelajar ini. KPAI sendiri merilis, dari data perundungan selama 2021, tawuran pelajar menempati urutan pertama. Bahkan saat pandemi di mana sekolah dilaksanakan secara daring, tawuran pelajar masih juga terjadi. (PikiranRakyat, 29/12/2021)
Aksi nakal pelajar ini bukan hanya terjadi di ibukota, di berbagai daerah lainnya pun mengalami fenomena yang sama, seperti Bogor, Bekasi, Tanggerang, dan kota-kota lainnya.
Inilah potret sendu kualitas calon pemimpin masa depan kita. Lantas bagaimana ini semua bisa terjadi? padahal kurikulum seringkali diubah untuk bisa semakin memperbaiki kualitas output pendidikan. Kurikulum terbaru yang menekankan pada pengembangan karakter dan budi pekerti, tampaknya belum mampu menghapuskan masalah ini.
Melihat fakta di atas, masalah ini mau tidak mau seharusnya menjadi perhatian utama dari pemerintah untuk melakukan pembenahan dari sisi. Namun pemerintah malah lebih menjurus pembenahan dari sisi radikalisme yang dianggap bersarang dan menjadi embrio di kalangan muda. Sementara fakta di lapangan memperlihatkan dengan jelas kondisi miris yang dialami para generasi muda ini adalah ketiadaan pondasi agama, kehilangan jati diri, dan tidak tahu arah tujuan hidup.
Terlihat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menaruh perhatian serius kepada generasi muda Indonesia agar tidak menjadi korban propaganda radikalisme dan terorisme.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Indonesia jumlahnya didominasi oleh kelompok produktif yaitu anak muda yang masuk kategori generasi Milenial dan Z. Menurutnya, hal ini bisa menjadi bom waktu dikemudian hari, apabila para anak muda ini justru terjerembab dalam ideologi radikalisme dan terorisme.
"Gen Z dan Milenial mendominasi. Kita harus memiliki daya tahan yg baik, ketahanan di bidang ideologi yg mumpuni agar anak muda tidak terpengaruh paham radikal dan terorisme," kata Kepala BNPT Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H., di channel YouTube Humas BNPT yang diuplod pada Sabtu (23/10). (bnpt.go.id, 23/10/2021)
Barat Serukan Terorisme sebagai Serangan terhadap Islam
Telah diketahui dengan terang benderang oleh dunia, bahwa perang melawan terorisme berasal dari Amerika tatkala gedung World Trade Center dibom oleh seseorang yang -menurut versi mereka- bernama Osama bin Laden. Artinya upaya dunia untuk bersama-sama memerangi terorisme lahir dari seruan Barat yakni AS. Tak ayal, tuduhan terorisme pun selalu menunjuk orang-orang beragama Islam. Hingga kini tuduhan itu pun belum bergeser, karena tatkala banyak aksi kekerasan yang dilakukan oleh orang Barat sendiri ataupun oleh agama selain Islam, status terorisme tersebut tidak disematkan pada mereka. Seperti halnya dengan tindakan arogan Israel pada penduduk Palestina, China pada suku Uiyghur, ataupun pemerintah resesif India pada penduduknya yang beragama Muslim. Mereka semua tidak pernah disebut dengan terorisme padahal kejahatan mereka telah jelas aksi kekerasan.
Dengan demikian, saat pemerintah yang diwakili oleh BNPT malah menaruh perhatian lebih pada radikalisme pada generasi muda, pengawasan-pengawasannya pun pada mereka yang aktif pada kegiatan keagamaan, seperti Rohis, kajian-kajian keagamaan, dll. Karena dinilai sikap fanatik muncul dari kajian agama yang tersebut.
Hal ini jelas di luar nalar. Karena pada faktanya adanya aksi brutal remaja yang sampai menghabisi nyawa rekannya sendiri merupakan akibat dari jauhnya mereka dari paham agama. Dilihat dari latar belakang para pelaku tawuran pelajar, mereka bukanlah bagian dari anggota kerohanian. Bukan pula aktivis kajian Islam. Jika begitu mengapa malah kajian Islam yang jadi sorotan? Mengapa para aktivis yang malah dianggap ancaman negara? Jika tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan generasi muda salah satunya berupa tawuran, maka sudah seharusnya fokus perhatian pemerintah tidak pada mereka yang bermantel aktivis kajian Islam.
Sekularisme: Sistem Pencetak Remaja Brutal
Menelusuri pola watak dan perilaku generasi muda hari ini yang lebih banyak terkesan brutal, ini jelas bukanlah kasuistik yang dilakukan beberapa gelintir orang. Namun ini adalah masalah sistemik yang mesti diurai dan dituntaskan hingga ke akar. Penelusuran tersebut diawali dari sebab terjadinya tawuran atau aksi anarkis lainnya. Generasi muda yang tengah mencari jati diri, seringkali salah dalam mendapatkan panduan. Hal ini terjadi karena kurikulum pendidikan tidak mengarahkan mereka dengan arahan yang sesuai fitrah. Misalnya tawuran yang terjadi hanya karena persoalan "gebetan". Dalam pendidikan hari ini pacaran, bukanlah hal yang diatur. Semua diserahkan pada masing-masing individu.
Begitu pula metode dalam pengendalian emosi. Dalam sistem pendidikan hari ini, hal tersebut sama sekali tidak diatur. Mereka yang bimbang dengan tujuan hidup pun tidak mendapat arahan yang jelas dari pembelajaran mereka di bangku sekolah. Sehingga tidak aneh jika banyak anak muda/remaja yang mudah sekali terpengaruh budaya luar. Menjadi generasi pembebek, meniru dan melakukan apa yang orang lain lakukan.
Demikianlah sistem pendidikan hari ini telah gagal dalam mencetak generasi gemilang. Wajar memang, karena dalam sistem sekularisme, sistem yang kini menjadi asas dari kurikulum pendidikan, agama malah harus dijauhkan dari kehidupan. Agama dianggap perusak kehidupan sehingga harus dipisahkan. Akibatnya generasi muda banyak yang kehilangan jati diri. Mereka terombang-ambing di antara gempuran peradaban Barat dan Timur. Identitas muslim mereka hanya pada aktivitas ritual, sementara aktivitas lain mereka meniru gaya budaya Barat, bebas. Sebagaimana jaminan kebebasan yang mereka gembar-gemborkan, kebebasan berperilaku, kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan lain-lain.
Islam Solusi Hakiki
Berkebalikan dengan sistem Islam. Dimana setiap hal, dari yang kecil hingga yang besar pasti terdapat pengaturannya. Aturan yang melekat pada setiap perbuatan merupakan upaya untuk menjaga arah langkah manusia yang kerap silau dengan kesenangan semu. Apalagi untuk generasi muda, masa pencarian jati diri dengan luapan energi yang luar biasa. Tuntunan dan penjagaan harus dihadirkan. Di sinilah Islam membina generasi muda sehingga menjadi manusia yang tidak labil. Menjadi manusia yang bertanggung jawab dan paham atas konsekuensi dari setiap perbuatan.
Ketaatan terhadap sangat pencipta akan menjadi rem bagi mereka dalam melangkah. Surga dan neraka akan menjadi pilihan mutlak dalam hidupnya. Semua hal ini diterapkan dalam kurikulum sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas. Oleh karena itu jelas terlihat perbedaan antara output generasi di masa peradaban Islam dengan output peradaban Barat, seperti hari ini.
Pemerintah dalam sistem Islam, fokus terhadap pendidikan untuk mencetak generasi yang bersyaksiyah Islamiyah. Sementara fokus pendidikan hari ini adalah komersil, mencetak generasi pekerja, penggerak roda ekonomi. Tidak heran jika penampakan remaja hari ini begitu miris, memprihatinkan.
Oleh karena itu, hanya sistem Islam yang bisa menyelesaikan persoalan kenakalan remaja. Baik itu tawuran, perundungan, dan lain-lain. Yakni dengan penerapan sistem Islam secara kaffah di bawah institusi Khilafah.
Wallahu'alam
Oleh: Anisa Rahmi Tania
0 Komentar