Data Kasus Covid-19 Meningkat Di Kota Bogor

 


Kabar mengejutkan datang dari Dinas Kesehatan Kota Bogor tentang meningkatnya Covid-19. Dinas Kesehatan Kota Bogor mendata kasus Covid-19 yang kembali meningkat meskipun demikian angka positivity rate di Kota Bogor masih relatif rendah, yaitu sebesar 2,92 persen. Hal ini masih memenuhi standar positivity rate WHO, yaitu kurang dari 5 persen peningkatan kasus Covid-19. Peningkatan kasus Covid-19 dikerenakan ditemukannya subvarian baru Omicron BA.4 dan BA.5 di beberapa negara. (antaranews.com, 15/6/2022)

Wabah yang masih terus menghantui masyarakat membuktikan seberapa seriuskah penanganan pemerintah akan hal ini. Belum adanya seratus persen ketenangan masyarakat tentunya membuat kenyataan yang ada semakin miris. Jika angka penularan virus melonjak kembali, tentu ini akan mempengaruhi semua lini kehidupan terutama perekonomian masyarakat. Saat ini masyarakat masih terseok-seok untuk bangkit setelah hampir dua tahun lamanya terkena imbas pandemi Covid-19.

Penyelesaian yang membutuhkan keseriusan negara dan hadirnya pemimpin dalam mengayomi masyarakat menjadi hal urgen yang harus dilakukan. Namun faktanya hal ini tidak dilakukan oleh negara. Negara masih membuka lebar akses keluar masuk ke Indonesia, bahkan pada warga negara yang di negaranya sedang terkena wabah sekalipun. Seharusnya hal ini tidaklah boleh dilakukan. Namun sayangnya negara tidak memikirkan dampaknya, yang ada hanya bagaimana menghasilkan cuan meski rakyat menjadi korbannya.

Begitulah ciri khas negeri kapitalisme dimana segala sesuatu hanya memikirkan keuntungan saja, dengan dalih untuk rakyat. Padahal hanya menguntungkan sebagian rakyat saja, yakni para kapital (rakyat bermodal besar). Inilah yang tidak mungkin ditinggalkan dalam sistem kapitalisme yang sekuler nan liberal.

Mengharapkan kesempurnaan hidup dalam naungan sistem kapitalis ini, bagaikan peribahasa "jauh panggang dari api". Harus ada perubahan sistemik yang dilakukan secara menyeluruh. Tentunya bukan dengan sistem yang rusak ini. Kita membutuhkan perubahan hakiki, yang akan menyelamatkan rakyat seutuhnya, tanpa pertimbangan keuntungan materi semata.

Islam sebagai ideologi yang sempurna, mempunyai aturan dalam menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan hidup, termasuk masalah wabah. Sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta dicontohkan oleh para sahabat sebagai pemimpin atau Khalifah dalam menangani wabah yang melanda negara.

Wabah penyakit menular pernah terjadi di masa kepemimpinan Islam. Penyakit yang menular tersebut adalah kusta yang saat itu belum ada obatnya. Untuk mengatasi masalah tersebut Rasulullah Saw. menerapkan karantina atau isolasi, yakni dengan melarang warga untuk mendekati tempat tersebut. Bahkan Rasulullah Saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah penyakit. Beliau bersabda "Janganlah kalian terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta" (HR. al-Bukhari). Beliau pun menegaskannya kembali melalui Abu Hurairah ra., "Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa" (HR. al-Bukhari).

Selain memperingatkan umatnya dengan tegas agar tidak mendekati wilayah yang terkena wabah, Rasulullah pun melarang warga yang berada di tempat yang terkena wabah untuk keluar dari daerah tersebut. Sesuai dengan sabdanya "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. al-Bukhari).

Dikutip dalam buku berjudul "Rahasia Sehat Ala Rasulullah Saw., Belajar Hidup Melalui Hadis-hadis Nabi" karya Nabil Thawil, dikisahkan pada zaman Rasulullah Saw. jika ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit panyakit tha'un, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus yang jauh dari pemukiman penduduk. Selama menjalani masa isolasi/karantina, penderita diperiksa secara detail, lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pemantauan yang ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan tempat isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total. Dan semua pembiayaan untuk hal ini ditanggung oleh negara, bukan dibebankan kepada rakyat. Termasuk segala kebutuhan warga yang dikarantina, disediakan oleh negara secara gratis.

Wabah penyakit menular juga pernah terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah yang bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. al-Bukhari).

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi, saat terjadi wabah tha'un yang melanda di seluruh negeri Syam, wabah tersebut telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Di antara para korban, ada juga para sahabat yang terkena wabah ini. Di antaranya Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muazd bin Jabbal, Yazid bin Abi Sufyan dan Jandal bin Suhail. 

Begitulah sang suri teladan kita, Nabi Muhammad Saw., telah memberikan contoh yang nyata dalam menangani masalah wabah penyakit, serta bagaimana sahabat mempraktikannya pada masa kepemimpinan mereka.

Peran penting penguasa dalam kepengurusan rakyatnya tentu sangat diharapkan. Bila saja penguasa negeri muslim terbesar di dunia ini mencontoh dan menerapkan seperti yang Rasulullah Saw. ajarkan, tentu tidak ada kekhawatiran dan kekacauan dalam masyarakat seperti saat ini  Semua tuntas teratasi tanpa menimbulkan masalah baru lagi. Namun hal ini hanya akan terjadi dengan diterapkannya hukum Allah Swt. yang terbingkai indah dalam naungan daulah khilafah.

Rasulullah Saw. bersabda untuk mengingatkan para penguasa "Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu ia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamat)" (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Beratnya pertanggungjawaban penguasa di hadapan Allah Swt. mendorong penguasa muslim untuk selalu amanah dan serius dalam memegang kepemimpinan atas rakyatnya. Hal ini hanya ada pada jiwa seorang pemimpin yang mau menerapkan hukum-hukum Allah Swt. dalam setiap lini kehidupan dalam naungan daulah khilafah. Wallahu a'lam[]


Oleh : Titin Kartini

Posting Komentar

0 Komentar