Demokrasi Mengikis Independensi



Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima Indonesia), Ray Rangkuti mengatakan bahwa Partai NasDem akan mendukung Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Selain Partai NasDem, Anies juga akan didukung oleh 3 partai lainnya pada Pilpres 2024. Ketiga partai yang dimaksud adalah PKS, Partai Demokrat, dan PAN (wartaekonomi.co.id, 10/5/2022).

Masih dilansir dari laman berita yang sama, Ray mengaku walau ragu perihal potensi Partai NasDem menggiring Anies untuk meraup dukungan dari pemilih moderat. Namun, koalisi antara Anies dan Partai NasDem akan berjalan mulus. Sebab, menurut Ray, Anies dan Partai NasDem memiliki kedekatan dari sisi ideologis.

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan harus segera mencari partai politik jika tetap ingin menjadi kontestan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pasalnya, dia bakal kehilangan kesempatan jika tidak segera mencari kendaraan politik. Dia menyampaikan bahwa Anies memiliki modal bagus dan elektabilitas cukup sehat di sejumlah hasil survei. Tingkat keterpilihannya bahkan lebih baik dibanding calon lainnya (mediaindonesia.com, /4/12/2021).

Tetapi, laman pinterpolitik.com, 30/5/2022, menulis bahwa Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Hendra Setiawan, mengingatkan agar Anies tidak gegabah masuk partai politik, meski didorong sebagai calon presiden pada Pilpres 2024. Menurut Hendra, posisi Anies saat ini cukup strategis dikarenakan justru sebagai magnet pemilih bagi partai politik. Artinya, untuk menarik simpati masyarakat, harusnya parpol yang meminang Anies adalah parpol yang dekat dengan rakyat.

Memang, elektabilitas Anies Baswedan yang moncer saat ini mulai diincar beberapa parpol agar mampu mengerek pamor parpol koalisi. Para petinggi parpol berdalih, Anies akan mampu memberikan suasana politik yang kondusif di perhelatan pilpres 2024. Namun nyatanya, parpol dalam koalisi bergerilya dan pasang kuda-kuda demi merebut kursi kepemimpinan semata.

Walhasil, pemimpin yang diusung oleh koalisi parpol besar justru tidak benar-benar mampu menjalankan program yang dijanjikan saat kampanye. Hal ini disebabkan karena para pemimpin yang diangkat dari partai koalisi berjalan sesuai ego dan syahwat politik serta kepentingan partai masing-masing. Belum lagi, perjanjian yang harus dipenuhi kepada parpol pendukung apabila memenangkan pemilu. Yang terjadi, akhirnya para pemimpin justru bertindak sebagai petugas partai. Urusan rakyat menjadi nomor ke sekian.

Selain itu, adanya koalisi partai politik sejatinya juga menggambarkan lemahnya ideologi partai dan orang-orang di dalamnya. Pemikiran parpol menjadi pragmatis demi mengamankan posisi di lingkaran kekuasaan. Parahnya, parpol menyalahgunakan dan memanfaatkan posisinya untuk menguasai suara mayoritas. Hal ini dilakukan tidak lain agar umur kekuasaannya bisa panjang. Jadi, boro-boro berpikir untuk kesejahteraan rakyat. Yang terjadi adalah mereka sibuk mewujudkan kepentingan kelompoknya.

Menurut Alamudi dalam Ilmu Kewarganegaraan (2006) karya Sri Wuryan dan Syaifullah, suatu negara disebut berbudaya demokrasi apabila memiliki soko guru demokrasi salah satunya adalah pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. Artinya pemerintahan harus berjalan sesuai kehendak dan aspirasi dari rakyat itu sendiri. Tapi nyatanya, saat rakyat menjerit akibat kenaikan bahan kebutuhan pokok dan sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, pemerintah tutup mata, tutup telinga.

Sungguh ironi, di tengah kesengsaraan rakyat akibat hantaman pandemi yang masih misterius apakah sudah benar-benar berakhir atau belum, para elit sibuk mengamankan posisi masing-masing. Saat para pemangku kebijakan harusnya bahu-membahu mencari solusi atas krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini, mereka malah sibuk membangun citra diri.

Parahnya, mereka tidak segan melancarkan aksi politik identitas demi mengambil hati rakyat. Seperti yang dilakukan para capres maupun parpol sebelum pemilu legislatif. Mereka selalu memiliki agenda berkunjung ke pondok pesantren dan keluar-masuk Masjid. Walau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), Pasal 280 ayat 1 secara tegas melarang, mereka berdalih kunjungannya hanya sekadar silaturahmi.

Belum lagi, mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Modal kampanye yang begitu besar tidak memungkinkan individu-individu bergerak sendiri. Oleh karena itu, kendaraan partai mutlak diperlukan dalam sistem Demokrasi. Tanpa disadari, hal itu akhirnya melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih.

Seorang pemimpin merupakan penggerak utama suatu bangsa. Pemimpin juga adalah kunci kemajuan negara. Pelayanan kepada masyarakat hanya akan mampu diberikan secara optimal jika dilakukan oleh pemimpin yang adil dan memiliki integritas serta sistem pemerintahan yang shahih. Namun, banyaknya nego-nego politik dalam sistem demokrasi membunuh integritas seorang pemimpin. Akhirnya, mereka mau tidak mau menjalankan politik balas budi. Faknyanya, regulasi yang dilahirkan dari pemimpin seperti ini lebih berpihak pada kepentingan kapitalis dan oligarki.

Jelaslah bahwa untuk menjadi seorang pemimpin dalam sistem demokrasi hanya bermodal elektabilitas dan suara mayoritas. Pemimpin yang tampil bukan semata-mata karena kapabilitas yang berupaya serius meri'ayah rakyatnya. Lobi-lobi yang dilakukan akhirnya mengikis independensi dan menghancurkan integritas dari seorang pemimpin.

Berbeda dengan sistem Islam yang merupakan sistem shahih berasal dari Sang Pemilik Hidup, Allah SWT. Seorang pemimpin dipilih berdasarkan ketentuan syariat, yakni Al Quran dan assunnah. Dalam sistem Islam, terpilihnya Khalifah sebagai kepala negara wajib memenuhi tujuh syarat, yaitu: (1) muslim; (2) laki-laki; (3) balig; (4) berakal; (5) adil; (6) merdeka; dan (7) mampu.

Pemilihan Khalifah/kepala negara tidak boleh melebihi tiga hari tiga malam. Dengan sistem pemilihan yang relatif singkat, maka tidak akan ada pemborosan biaya kampanye seperti yang dilakukan dalam sistem demokrasi saat ini. Khalifah dipilih berdasarkan kemampuan dan kapasitasnya. Dengan memenuhi syarat in’iqad (syarat legal), seseorang bisa terpilih sebagai pemimpin.

Partai politik dalam Islam memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah umat, yakni mengedukasi dan membentuk kesadaran serta pemahaman politik yang benar. Bukan untuk menguasai Parlemen atau sekadar sarana sosialisasi politik untuk dapat menjadi pemenang Pemilu. Karena makna politik yang sesungguhnya adalah mengurus rakyat. Partai politik berdiri untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman Islam yang lurus.

Adanya kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menegakkan aturan Islam yang kaffah. Penguasa bertugas untuk menjalankan hukum Allah SWT dan memutuskan segala perkara dengan hukum Islam yakni Al Quran dan assunnah. Kepemimpinan dalam Islam tegak berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT, sehingga membentuk integritas dan independensi dalam jiwa seorang Khalifah/kepala negara. Sehingga, tidak akan ada konflik kepentingan pribadi maupun kelompok atau politik transaksional seperti dalam sistem Demokrasi, Wallahualam bishawab.


Penulis: Anggun Permatasari


Posting Komentar

0 Komentar