Derita Tak Berujung, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa



Guru dengan predikatnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, memiliki kontribusi besar untuk mendidik generasi bangsa calon pelanjut estafet perjuangan bangsa. Menyandang predikat sebagai seorang pahlawan yang seharusnya mendapatkan kedudukan yang mulia dan dihormati, namun fakta tidaklah berkata demikian. Nasib pahlawan tanpa tanda jasa bak diujung tanduk, tak sedikitpun perjuangan dan pengorbanannya dihargai atau mendapatkan penghargaan, malah penderitaan tak berujung terus menyelimuti kehidupan sang guru.

Pemerintah saat ini tengah merancang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) baru yang terintegrasi dan holistic. UU Sisdiknas tersebut akan mencakup 3 jenis undang-undang yaitu UU Dikti, UU Guru dan dosen menjadi satu undang-undang sistem pendidikan nasional. Beredar kabar dalam rancangan UU terbaru tunjangan profesi guru  (TPG) akan dihapuskan. Besaran TPG ditetapkan sebesar 1 kali gaji pokok guru PNS sesuai golongannya.

Kabar yang sama datang dari sekretaris jenderal kemendikbud yang mengatakan banyak guru yang tidak lagi menerima TPG. Hal ini sejalan dengan peraturan sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 6 tahun 2020 memuat tentang petunjuk teknis pengelolaan penyaluran tunjangan profesi dan tunjangan bagi guru yang bukan PNS. Penghapusan TPG hanya dikhususkan untuk guru-guru di satuan pendidikan kerjasama (SPK).

Untuk data SPK yang berlaku sampai tahun 2018, jumlahnya sangat banyak, mulai dari tingkat pendidikan SD hingga SMA, yaitu totalnya 501 SPK seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua. Sedangkan untuk di sekolah umum TPG masih tetap berjalan (Pikiran rakyat,08/06/2022)

Penghapusan TPG ini tentu menyisakan rasa kecewa yang sangat mendalam bagi para guru. Pasalnya, negara secara tidak langsung mengabaikan kontribusi besar mereka dalam mencerdaskan generasi bangsa. Padahal, dengan mendapatkan TPG pun kehidupan para guru masih jauh dari kata layak. Apalagi dengan dihapusnya TPG, mereka harus bertahan hidup dengan gaji yang minim. Sedangkan disisi lain peran pahlawan tanpa tanda jasa ini sangat dibutuhkan oleh negara.

Pembengkakan anggaran pendidikan lagi-lagi menjadi dalih pemerintah sehingga mengeluarkan keputusan menghapus TPG. TPG menurut pemerintah hanya diperoleh oleh guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Padahal pemerintah bisa memangkas biaya pembangunan infrastruktur atau tunjangan bagi para pejabat untuk dialokasikan demi masa depan generasi bangsa ini.

Apa jadinya masa depan generasi dimasa yang akan datang, apabila kesejahteraan guru tak kunjung terwujud dinegeri ini. Ditambah lagi kebanyakan guru yang tidak mendapatkan TPG adalah guru-guru yang mengajar didaerah-daerah pelosok seperti Papua. Bagaimana mungkin negara menjamin pendidikan bagi rakyatnya, jika para guru mendapatkan gaji yang tidak layak.

Walhasil, kita banyak melihat bagaimana banyak para guru yang harus mencari sumber mata pencaharian baru untuk menopang kehidupan keluarganya karena gaji guru yang sangat minim. Dengan kondisi seperti ini, maka para guru tidak optimal dalam mengajar karena harus berbagi waktu dengan pekerjaan yang lain.

Miris memang potret nasib guru di negeri yang kaya raya seperti Indonesia. Menjamin pendidikan bagi rakyat dan memberikan gaji guru yang layak dianggap beban bagi negara. Sedangkan disisi lain, negara tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk memberi fasilitas yang serba wah kepada para pejabatnya.

Maka sangatlah wajar, apabila kualitas pendidikan di negeri ini sangatlah rendah dan bahkan menempati peringkat paling rendah di dunia. Padahal kualitas pendidikan menjadi faktor penentu kemajuan sebuah negara. Namun, lagi-lagi pemerintah menutup mata dari hal ini dan mengorbankan masa depan generasi yang diambang kehancuran.

Fakta diatas terjadi tak lepas dari keberadaan sistem kapitalis sekuler yang menjadi rujukan lahirnya berbagai kebijakan dan undang-undang di negeri ini. Sistem yang menuhankan materi diatas segalanya, telah sukses menghantarkan berada dalam balutan kebodohan yang akut. Karena kebodohan generasi menjadi peluang bagi negeri-negeri Barat  untu menjajah,menguasai dan menguras habis kekayaan alam milik rakyat hingga tak tersisa.

Berbeda hal penghormatan dan kemuliaan seorang guru yang diberikan dalam sistem Islam (khilafah). Islam mewajibkan setiap muslim untuk belajar agar dapat memperoleh ilmu sebagai bekal mengarungi medan kehidupan. Rasulullah saw bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)

Urgensi menuntut ilmu yang merupakan kewajiban inilah menjadikan khilafah sebagai institusi pelayan umat memberikan jaminan dan fasilitas agar setiap warga negara dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas. Dengan menghadirkan seorang guru yang mumpuni dibidangnya, agar dapat memberikan ilmu berkualitas kepada seluruh rakyat.

Khilafah akan memberikan pelatihan kepada para guru baik di kota maupun di desa untuk menunjang kemampuannya sebagai tenaga pendidik. Selain itu, khilafah memberikan perhatian khusus kepada para guru, salah satunya dengan memberikan gaji yang layak. Di masa khalifah Umar Bin Khattab, beliau memberikan gaji kepada guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas, jika 1 gram emas Rp 700.000, maka gaji guru sekitar Rp 44. 625.000), Dan di masa Shalahuddin Al Ayyubi gaji guru berkisar antara 11 dinar hingga 40 dinar. (Sekitar Rp 32.725.000 hingga Rp 119.000.000)

Dengan gaji yang besar maka para guru akan fokus untuk mendidik generasi tanpa disibukkan untuk mencari tambahan penghasilan, seperti yang terjadi pada nasib guru di sistem kapitalis sekuler. Dan untuk anggaran gaji guru dari baitul maal yang berasal dari beberapa pos, seperti pos jizyah, fai, kharj, ghanimah, pengelolaan SDA dan lain-lain.

Islam mampu memberikan apresiasi yang besar kepada para guru sebagai pahlawan dalam mencetak generasi pembangun peradaban Islam yang mulia. Bahkan negara akan memberikan penghargaan yang lebih kepada guru yang berprestasi yang berhasil menghasilkan karya buku, sebagaimana di masa khilafah Abbasiyah dengan memberikan penghargaan dinar seberat buku yang ia tulis. Negara pun memberikan jaminan kepada guru seperti halnya memberikan jaminan kepada rakyat secara keseluruhan seperti kesehatan, keamanan dan lain sebagainya.

Bentuk apresiasi ini kepada para guru, karena jasa mereka  di masa kegemilangan Islam mampu melahirkan generasi penakluk, polymath dan generasi penemu yang hingga kini berkontribusi bagi dunia. Inilah urgensi peran guru yang sangat dimuliakan dan dihormati kedudukan mereka didalam Islam.

Peran guru inilah umat Islam mampu membangun peradaban Islam dalam naungan khilafah selama berabad-abad lamanya. Dan Umat menjadi umat terbaik yang ditakuti oleh musuh-musuhnya. Gelar guru sebagai pahlawan hanya didapatkan didalam sistem khilafah dan mampu mensejahterakan kehidupan mereka.

Menyelamatkan peran guru sama halnya dengan menyelamatkan generasi dari ancaman kebodohan dan penjajahan negara-negara Barat. Campakkan sistem kapitalis sekuler dan kembali beralih kepada sistem Islam kafah sebagai solusi tuntas mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Wallahua’lam.


Penulis : Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar