Tagar #PermainanKotorBuzzeRp tertangkap menduduki trending topik di media sosial twitter, Sabtu, 11/06/2022. Ramai-ramai netizen mengkritisi keberadaan mereka dengan redaksi yang beragam beserta menampilkan wajah-wajah familiar, seperti Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, Eko Kuntadi dan lain-lain. “Hanya BuzzeRp yang mampu berbuat Jahat karena didukug Penguasa”, tulis @douboegiez_. “Negara “menjamin” kehidupan dan keuangan para BuzzeRp ditanggung oleh negara, selain fakir miskin dan anak terlantar di rezim ini”, tulis @AkunRecehPeduli. “Pernahkah para BuzzeRp nyinyirin raibnya Harun Masiku ???”, tulis @YulieReborn.
“Pembelahan & konflik antar anak bangsa tidak akan pernah terselesaikan selama masih bersemayam BuzzeRp di lingkar istana”, tulis @Dina4rtya. “Ternyata “maling teriak maling” itu berlaku jg pd urusan pengelolaan berbangsa dan bernegara. Yg teriak “saya pancasila” berasa trisila/ekasila. Yg teriak “NKRI harga mati” berasa kering integritas kebangsaannya. Teriaknya Demokrasi tpi sikap oligarki”, tulis @lm00568047. “dibayar dan di peliharaan rezim untuk menghasut, memecah belah anak bangsa, membenarkan/menutupi kesalahan rezim dan menyerang siapapun yg berseberangan pandangan politik dg penguasa”, tulis @Toni17250685.
Survei yang dilakukan litbang kompas melalui telepon pada 24-29 Mei 2022 menunjukkan hasil yang senada. Litbang Kompas merilis hasil survei terkait polarisasi atau pembelahan dua kubu pendukung pasangan calon pada Pilpres 2019. Dari 1004 responden dari 34 propinsi, sebanyak 36,3% responden menilai, pihak yang semakin memperuncing polarisasi atau keterbelahan antar kubu adalah buzzer atau influencer. (kompas.com, 06/06/2022)
Julukan “Cebong – Kampret atau Kadrun” adalah bagian dari hasil sekaligus dampak polarisasi yang masih berlanjut hingga hari ini. Namun sebagaimana ramai dikritisi para netizen, tidak ada tindakan tegas terhadap ulah mereka, bahkan dibaca oleh publik keberadaannya sengaja “dipelihara”.
Hal ini diperkuat dengan pengakuan Abu Janda dimana yang bersangkutan mengaku direkrut sebagai buzzer menjelang Pilpres 2019 dengan bayaran yang besar. Meskipun menurut pengakuannnya direkrut dalam rangka Pilpres, namun jejak digital menunjukkan yang bersangkutan juga melontarkan komentar atau video lain yang meresahkan, bahkan beberapa kali dinilai menistakan agama, dalam hal ini Islam.
Kemudian mereka menyerang pengemban dakwah Islam kaffah, membenturkannya dengan narasi anti pancasila, nkri harga mati, pemecah belah, syariat Islam tidak wajib dan sebagainya. Seiring dengan program yang memang masif digencarkan penguasa yang mengklaim tengah memerangi radikalisme, ektrimisme dan terorisme. Apa definisi radikal, kelompok mana yang radikal, siapa yang teroris, semua ditentukan sepihak, dalam hal ini penguasa, kemudian dipaksakan disematkan kepada pihak atau kelompok tertentu, yang terbaca berseberangan dan atau tegas memberikan kritik terhadap penguasa.
Fakta ini menjadi bukti, sistem demokrasi yang diagungkan hari ini gagal merealisasikan slogan kebanggannya dalam menjamin hak berpendapat. Kebebasan bersuara hanya untuk yang mendukung tapi tidak berlaku bagi siapapun yang mengkritik apalagi “mengusik” kepentingan pihak tertentu. Sudah menjadi rahasia umum, di bawah sistem demokrasi kapitalisme, pemilik modal alias para kapital kuat pengaruhnya dalam menentukan arah kebijakan, bukan ditangan rakyat sebagaimana klaimnya. Demokrasi hanya menjadi alat untuk menjaga kepentingan mereka, dengan mengatasnamakan rakyat. Contohnya Undang-Undang yang dipaksa disahkan meskipun ditengah penolakan, seperti UU Minerba, UU Omnibuslaw, UU KPK dan lainya, dimana isinya jauh dari mengutamakan kepentingan rakyat.
Sementara itu, yang disampaikan para pengemban dakwah Islam adalah syariat dari Allah SWT yang pasti benar, pasti sempurna, jelas juga sumber dan dalilnya. Seruannya adalah persatuan, bukan untuk kaum muslim saja, karena ketika syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh, kebaikannya tidak hanya dirasakan oleh umat Islam, karena Syariat Allah SWT ditujukan untuk seluruh umat manusia.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana keberhasilan Islam mampu mempersatukan bukan satu-dua kelompok, bukan satu-dua suku, bukan satu-dua negara, tetapi mempersatukan duapertiga dunia di bawah satu kepemimpinan dengan menerapkan syariat Allah secara keseluruhan.
Dalam kitab Nizamul Islam, Syaikh Taqiyuddin Annabhani dijelaskan, Islam berhasil mengubah bangsa Arab secara keseluruhan. Dari taraf berpikir yang sangat rendah, jahiliyah, penuh kegelapan dan diliputi fanatisme kesukuan, menjadi era kebangkitan yang gemilang, bahkan tidak hanya untuk bangsa Arab, tapi seluruh dunia. Islam berhasil mempersatukan bangsa-bangsa dan suku-suku, padahal alat transportasi kala itu hanya jalan kaki dan naik unta, sementara media dakwah hanya lisan dan pena. Tapi terbukti hingga hari ini negeri-negeri muslim masih mempertahankan keIslamannya meskipun ditengah ancaman dan propaganda.
Islam juga mampu mengantarkan umat muslim menjadi umat terkemuka di dunia, dalam bidang hadharah (peradaban), madaniyah (sains & teknologi), tsaqofah & ilmu pengetahuan. Daulah Islam menjadi negara terbesar dan terkuat didunia selama 12 abad. Terkuat bukan untuk menguasai apalagi menjajah, tapi terkuat untuk mengurusi urusan manusia, atas dorongan iman, semata karena ketaatan kepada sang pemilik syariat, Allah SWT. Bisa diibandingkan dengan ketika dulu Belanda, Jepang, Perancis dan hari ini Amerika, China menguasai negeri ini. Perlakuan mereka tidak lain adalah penjajahan dan ekspolitasi, hanya bentuk dan caranya saja yang berganti.
Ketika hari ini yang menyampaikan dakwah tentang urgensi ditegakkannya syariat Islam secara kaffah kemudian distigma negatif, maka kemungkinannya dua, buta sejarah atau buta mata hatinya dari kebenaran yang dibawa oleh Islam.
Jika memang prinsip keadilan itu masih ada, seharusnya para pengemban dakwah syariah ini diberikan kesempatan diskusi, duduk bersama, untuk menyampaikan argumentasinya. Bukan malah langsung diserang dengan stigma negatif kemudian digulirkan ke tengah publik menggunakan tangan-tangan buzzer. Wajar ketika masyarakat dengan pemahamannya yang beragam menjadi bingung dan terbelah ke dalam banyak kelompok pemahaman. Jika terus berlanjut, maka kondisi ini justru akan semakin menjauhkan umat dari persatuan. Siapa yang sejatinya memecah belah?
Tapi, inilah fakta demokrasi. Penuh ironi dan inkonsistensi, karena memang rumusan aturannya dibuat oleh manusia yang tidak sempurna. Maka mustahil akan menghasilkan aturan yang sempurna, yang keadilannya benar-benar mengakomodir semua kepentingan manusia. “Apakah hukum jahiliyahkah yang mereka kehendaki, (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah:50).
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar