Kala Ibadah Haji Dilirik Sebagai Ajang Bisnis

 



Kaum muslim sebentar lagi akan memasuki bulan Zulhijah. Bulan Zulhijah memiliki sejarah penting bagi umat Islam, yaitu pelaksanaan ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijah. 


Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah adalah impian bagi setiap muslim. Namun, sayangnya begitu ribetnya birokrasi dan biaya yang diterapkan oleh pemerintah sehingga kaum muslim kesulitan untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.


Dilansir pada republika.co.id, Kasi Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Kota Bogor, Ahyan Maemun mengungkapkan kuota keberangkatan jamaah haji Tahun 1443 Hijriyah/2022 Masehi turun sekitar 53 persen dari yang dipersiapkan sebelumnya sebanyak 969 orang menjadi hanya 450 orang. 


Penurunan kuota haji ini bukanlah tanpa sebab. Seperti yang kita ketahui begitu sulit dan ribetnya birokrasi pengurusan ibadah haji ditambah biayanya yang semakin hari semakin naik. Pemerintah juga mengeluarkan aturan baru tentang seleksi umur kepada calon jamaah haji sekitar 18 hingga 65 tahun yang boleh berangkat haji. Maka apabila  telah melewati usia yang telah ditetapkan, maka calon jamaah tidak mendapatkan izin untuk berangkat. 


Munculnya permasalahan ibadah haji telah lama berlangsung, dan semakin kompleks saja permasalahan yang ditimbulkan. Sebelumnya pemerintah negeri ini telah meniadakan pelaksanaan ibadah haji selama dua tahun berturut-turut dengan dalih pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia. Adanya pembatasan usia bagi calon jamaah haji tentu menimbulkan rasa kecewa bagi umat Islam karena tidak bisa melaksanakan ibadah haji. Perlu perjuangan dan waktu yang panjang bagi umat Islam untuk menabung hingga memiliki dana yang cukup agar bisa melaksanakan ibadah haji.


Masalah lainnya, disinyalir dana haji yang menumpuk akibat daftar antrian haji yang panjang, justru dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Padahal ini adalah dana umat yang mereka bersusah payah untuk mengumpulkan agar bisa menunaikan ibadah haji. Inilah ketidakamanahan pemerintah --dalam hal ini kementerian agama-- dalam mengelola dana haji. Sangat jelas dana tersebut hanya untuk ibadah haji, namun justru dikelola untuk pembangunan infrastruktur yang sejatinya merupakan tanggung jawab negara. Bagaimana jika pada saat pemberangkatan jamaah haji, ternyata dana tersebut 'macet' di proyek-proyek infrastruktur tersebut? 


Selain itu, buruknya kualitas pelayanan haji pun turut mewarnai kompleksnya pemasalahan haji di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan perlakuan yang tertera dalam paket ibadah haji. Jamaah haji yang mampu membayar mahal, akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan, jamaah haji yang hanya mampu membayar dengan paket yang murah/biasa, akan mendapatkan pelayanan yang ala kadarnya.


Ironis memang, Indonesia negeri muslim tetapi kesulitan untuk memberi jaminan dan pelayanan ibadah haji yang terbaik bagi rakyatnya. Fakta ini terjadi dikarenakan sistem kapitalis sekuler yang mencengkeram negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Sistem yang mendewakan materi di atas segalanya, telah melirik ibadah haji sebagai ajang bisnis yang sangat menggiurkan. Mereka bebas mendapatkan keuntungan besar walaupun penguasa negeri muslim ini mengetahui bahwa haji adalah salah satu pelaksanaan ibadah bagi kaum muslim. 


Seperti biasa, apapun yang akan mendatangkan keuntungan, itulah yang akan dilakukan. Karena yang menjadi tujuan utama dari sistem yang menihilkan peran agama ini adalah materi semata, bukan yang lain. Sedangkan peran pemerintah dalam sistem ini sangat tampak mengabaikan tugasnya dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya dalam beribadah. Pemerintah hanya memposisikan diri sebagai regulator, itupun sangat nampak keberpihakannya pada para kapital (pengusaha).


Pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) yang bersanding dengan sistem kapitalis  yang menjadi dasar negeri ini menganggap bahwa urusan agama bukanlah hal yang penting untuk diurusi oleh penguasa. Bukan hanya masalah ibadah yang tidak diurusi, melainkan hajat hidup rakyat lainnya pun tidak diurusi. Kecuali hanya  memandang hajat hidup rakyat dengan kacamata bisnis, sehingga penguasa hari ini tampil sebagai penjual dan rakyatnya sebagai pembeli.


Umat Islam tidak bisa berharap pada sistem kapitalis sekuler untuk memberi pelayanan dan jaminan agar meraka bisa melaksanakan ibadah haji dengan baik. Berbeda dengan sistem Islam (khilafah) yang menganggap bahwa ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban yang agung yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepada umat Islam.


Rasulullah Saw. bersabda, ”Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji.” (HR. Al-Bukhari)


Kewajiban ibadah haji atas kaum muslim ini telah Allah Swt. tegaskan dalam firmanNya, ”Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (TQS Ali Imran : 97).


Dari ayat di atas sangatlah jelas bahwa ibadah haji hukumnya fardu bagi umat yang mampu. Sehingga dalam hal ini, Islam dengan kesempurnaan syariatnya, telah mengatur mekanisme pengurusan pelaksanaan haji dan berbagai keperluan yang dibutuhkan oleh para jamaah haji. Disinilah peran penguasa dalam Islam (Khalifah) sebagai pengurus bagi semua urusan rakyatnya, apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan ibadah.


Sejarah kegemilangan Islam telah membuktikan betapa besarnya perhatian khilafah dalam memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji dari berbagai wilayah. Mereka mendapatkan pelayanan yang sama dan berkualitas sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan yang diberikan oleh khilafah tidak mengandung unsur bisnis, investasi atau ingin mengambil keuntungan dalam pelaksanaan ibadah haji, seperti yang lazim terjadi dalam sistem batil ala kapitalis sekuler.


Adapun langkah-langkah yang dilakukan Khalifah dalam memberi pelayanan kepada para jamaah haji: pertama, Khalifah akan menetapkan dan menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Petugas yang dipilih adalah orang-orang yang bertakwa dan amanah dalam memimpin. Pada masa Rasulullah Saw, beliau telah menunjuk Utab bin Asad dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra, untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Dan Rasulullah pun pernah menjadi pemimpin pelaksanaan haji secara langsung pada saat Haji Wada’.


Sedangkan pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab ra, pelaksanakan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Dan Khalifah Umar pun pernah memimpin ibadah haji di akhir masa kekhilafahannya. Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan ra, pelaksanaan haji juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.

Kedua, jika negara menetapkan biaya ongkos haji (ONH) maka nilainya disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah haji berdasarkan jarak wilayah tempat mereka tinggal dengan Mekah-Madinah, serta akomodasi selama di Tanah Haram hingga mereka kembali dari ibadah haji. Khilafah juga akan memberikan opsi untuk melaksanakan ibadah haji dengan rute darat, laut dan udara.


Ketiga, Khalifah berhak mengatur kuota haji dan umrah. Maka keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini negara akan menetapkan bahwa haji adalah kewajiban hanya berlaku sekali seumur hidup. Dan kewajiban haji yang berlakukan bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Dengan cara ini, antrian panjang haji bisa diminimalisir karena hanya yang benar-benar mampu yang menjadi prioritas utama.


Keempat, khilafah akan menghapus visa ibadah haji dan umrah. Pasalnya, dalam sistem khilafah tidak ada sekat daerah dan negara seperti saat ini. Pada hakikatnya kaum muslim berada dalam satu kesatuan wilayah. Sehingga seluruh jamaah haji dari seluruh penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Mekah-Madinah untuk ibadah tanpa visa. Khilafah hanya akan meminta kartu identitas diri atau paspor. 


Kelima, khilafah akan membangun sarana dan prasana haji termasuk sarana transportasi menuju Tanah Suci dan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar memudahkan dan memberikan kenyamanan dalam menunaikan ibadah haji. Pada masa kekhilafahan Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid 1 membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz Railway.


Sedangkan di masa khilafah Harun ar-Rasyid, dibangun jalur Haju dari Irak hingga Hijaz (Mekah-Madinah), termasuk membangun saluran air untuk menjamin para jamaah haji tidak kekurangan air selama perjalanan. Dan di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Dalam proyek ini menghabiskan dana hingga 1,7 juta dinar.


Demikianlah gambaran mekanisme khilafah dalam memberikan pelayanan haji kepada tamu-tamu Allah yang menunaikan kewajibannya kepada Rabb-nya. Pelayanan seperti ini akan bisa kembali dirasakan oleh umat muslim di seluruh dunia ketika khilafah ala minhajin nubuwah hadir kembali ke dunia ini. Pelayanan ibadah haji yang bertumpu pada syariat Islam akan menutup celah dari dari pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat guna mendapatkan keuntungan. Wallahua’lam.


Penulis : Siti Rima Sarinah



Posting Komentar

0 Komentar