Kejernihan berpikir dalam memahami masalah sangat diperlukan ketika hendak menilai isu apapun, yang mengemuka di tengah publik. Tanpa kejernihan berpikir, sangat mungkin akan terbawa pada arus opini yang sengaja diarahkan untuk tujuan atau kepentingan tertentu, yang belum tentu kebenarannya. Apalagi di era teknologi informasi yang sangat memudahkan siapapun mengakses apapun. Termasuk terkait isu radikalisme dan terorisme yang hingga hari ini tak kunjung tuntas pembahasannya sekaligus pro kontra yang ditimbulkan. Bahkan mampu menciptakan semacam polarisasi, membelah publik menjadi dua kubu antara yang pro dengan yang kontra dan kemudian saling serang. Bagaimana isu radikalisme dan terorisme di pandang masyarakat? Seorang penulis dan pemerhati kebijakan publik, Suriani, S.Pd.I memaparkan komentarnya kepada tim Rubrik Suara Muslimah dari media Muslimah Jakarta.
Tanya:
Ketika mendengar kata radikal, apa yang pertama kali terbersit dalam pikiran Ibu?
Jawab:
Radikalisme tidak lain adalah isu yang diprogandakan barat, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, ke negeri-negeri Islam dengan dua tujuan: pertama membentuk framing negatif tentang Islam dan para pengemban dakwah Islam kaffah agar umat Islam menjauhi ajaran agamanya yang agung, kedua untuk menghambat tegaknya Islam kaffah yang akan menghancurkan hegemoni AS di negeri-negeri Islam.
Tanya:
Menurut Ibu orang radikal itu seperti apa ?
Jawab:
Jika merujuk pada KBBI, radikal berarti mendasar, keras dalam menuntut perubahan, dimaknai pula maju dalam berfikir dan bertindak. Artinya, siapapun yang bertegang teguh pada prinsip mendasar atau bercita-cita menginginkan perubahan bisa terkategori radikal. Namun, AS membelokkan makna kata radikal dari makna yang sesungguhnya menjadi sebuah istilah yang bermakna buruk dan dijadikan sebagai senjata untuk menyerang umat Islam yang berkomitmen untuk menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan.
Tanya:
Bagaimana Ibu menanggpi opini yang beredar di masyarakat, yang sering sekali mengkaitkan radikal dengan terorisme ?
Jawab:
Pasca peristiwa (9/11) di New York City dan Washington D.C, AS mengumumkan agendanya ke dunia internasional untuk memerangi kelompok terorisme. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kelompok Islam. Namun, dalam perkembangannya, isu war on terrorism nampaknya tidak terlalu berhasil dalam mewujudkan keinginan AS untuk menghambat laju kebangkitan Islam. Yang terjadi justru sebaliknya, perkembangan Islam di setiap negara Islam tak bisa terbendung. Realita ini menjadikan AS membangun strategi baru di antaranya adalah menciptakan propaganda baru yaitu war on radicalism. Meski dengan narasi yang berbeda, namun obyek sasarannya sama, yaitu kelompok-kelompok Islam yang istiqamah berdakwah untuk menghadirkan kebangkitan Islam dan menghapus tirani dan hegemoni AS.
Awalnya, masyarakat khususnya umat Islam di negeri-negeri Islam dengan kondisinya yang mengalami kemunduran berfikir menelan mentah-mentah propaganda AS tersebut. Alhasil tak sedikit dari umat Islam yang juga berpemikiran sama dengan AS. Mencurigai saudara mereka yang menyuarakan kebangkitan Islam bahkan ada pula yang menuduh perjuangan untuk menerapkan Islam secara kaffah sebagai gerakan yang berbahaya. Ini juga tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah yang terus mengangkat isu radikalisme dan terorisme di antara isu-isu krusial yang menimpa negeri ini. Entah sebagai pengalihan isu, ataukah untuk menguatkan rencana menyerang Islam dan kelompok-kelompok Islam yang dinilai tak sejalan dengan rezim yang berkuasa saat ini.
Tanya:
Menurut Ibu benarkah ada teroris di Indonesia?
Jawab:
Jika terorisme yang dimaksud adalah gerakan dari kelompok yang membentuk kekuatan fisik untuk menciptakan kekacauan maka tentu ada. Salah satunya adalah kelompok militer di Papua atau OPM yang menuntut referendum. Namun gerakan OPM ini sama sekali tidak terinisiasi oleh kelompok-kelompok Islam. Anggota OPM bahkan sampai hari ini terus meneror aparat keamanan (TNI dan Polri) di Papua hingga menelan korban jiwa.
Dalam buku berjudul Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 dituliskan bahwa akar masalah dari konflik di Papua diantaranya: peminggiran, diskriminasi termasuk minimnya pengakuan dari pemerintah pusat atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia. Demikian juga pembangunan infrastruktur sosial yang tidak optimal di wilayah Papua, proses integrasi politik, ekonomi dan sosial budaya yang belum tuntas. Termasuk siklus kekerasan politik yang belum tertangani bahkan terus meluas. Belum lagi kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan oleh pemerintah.
Semua itu menjadi sedikit bukti bahwa gerakan terorisme bukanlah lahir dari ajaran Islam bahkan Islam sangat menentang tindakan kekerasan dan teror dalam bentuk dan alasan apapun. Sampai detik ini, alih-alih pemerintah mengoreksi diri karena gagal menjaga kesatuan wilayah, Islam justru yang dijadikan sebagai pihak yang tertuduh.
Tanya:
Bagaimana tanggapan Ibu terhadap langkah pemerintah yang mengklaim akan terus memerangi radikalisme dan terorisme, termasuk salah satunya dengan mengerahkan densus 88? Karena beredar juga informasi bahwa orang-orang yang ditangkap densus 88 itu adalah orang-orang baik, mereka ditangkap setelah shalat subuh atau aktifitas normal lainnya. Bahkan ada yang ditangkap densus 88, pulang tinggal nama. Bagaimana menurut Ibu?
Jawab:
BNPT dan Densus adalah dua lembaga yang terdepan dalam menjalankan propaganda global AS dibalik isu war on terorrism dan war on radicalism. Dan karena sasaran utama dari propaganda ini adalah Islam dan para pejuangnya, dua lembaga tersebut akan terus memusatkan perhatiannya untuk memata-matai pergerakan umat Islam khususnya para pengemban dakwah.
Seolah sedang mengemban tugas mulia dan membanggakan, dua lembaga ini akan terus mengarahkan ‘senjata’ mereka kepada pihak tertuduh yakni Islam dan kaum muslimin. Tak heran jika selama aksinya, mereka sangat keras dan bengis terhadap orang yang mereka klaim pelaku terorisme.
Mengutip pernyataan seorang Advokat sekaligus Ketua Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPAU), Ahmad Khazinuddin, S.H yang mengatakan bahwa Kapolri seharusnya mengevaluasi kinerja Densus 88. Sebab tindakan Densus 88 jauh dari kinerja profesional, transparan, menghormati harkat dan martabat setiap warga negara, dan tidak mengindahkan koridor syar’i yang diyakini oleh umat Islam. Dalam menjalankan aksinya, Densus 88 justru menimbulkan teror, ancaman dan ketakutan ditengah-tengah masyarakat.
Mereka bahkan tidak memberikan hak orang-orang yang mereka duga berafiliasi dengan kelompok teroris untuk memberikan pembelaan diri di hadapan pengadilan, termasuk hak untuk menghadirkan pembela atau pengacara. Meski dengan dalih menjalankan undang-undang terorisme bukan berarti mereka mengesampingkan undang-undang KUHP. Hal itu juga tidak lepas dari peran serta pemerintah yang semakin menunjukan keberpihakannya pada kepentingan negara barat dan anti terhadap Islam.
Tanya:
Jika kita amati proses penangkapan (yang katanya) pelaku teroris, itu cepat sekali prosesnya dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain, pelaku koruptor misalnya, nah bagaimana Ibu menanggapi ini?
Jawab:
Loyalitas dua lembaga itu kepada AS telah menutup mata dan telinga mereka untuk melihat realitas masalah yang sebenarnya menimpa negeri ini. Baik densus 88, Kapolri termasuk pemerintah lebih sibuk untuk mengangkat isu radikalisme dan terorisme seolah itu adalah persoalan utama bangsa ini, padahal narasi yang mereka bangun selama ini tentang Islam dan kelompok-kelompok Islam jauh dari realitas.
Mereka lantas abai dengan persoalan utama dan besar yang sebenarnya. Seperti kasus korupsi yang semakin menjamur dan melibatkan banyak pejabat negara dan anggota partai politik yang berkuasa di pemerintahan. Padahal tindak korupsilah yang sudah nyata mengakibatkan kerugian bagi negara dan rakyat, namun tak dipandang sebagai persoalan utama. Wajar jika akhirnya hingga detik ini penanganan aparat kepolisian terhadap pelaku korupsi tak seagresif dengan penanganan radikalisme dan terorisme.
Namun tak mengherankan, sebab demikianlah wajah sistem demokrasi yang sesungguhnya. Sebuah sistem yang anti terhadap Islam bahkan akan melakukan berbagai upaya untuk menghapus keterlibatan agama dalam urusan politik, ekonomi, sosial dan negara. Sebaliknya, demokrasi menjadi tempat yang menjanjikan bagi lahirnya pelaku-pelaku kejahatan seperti korupsi yang akan terus merampok harta milik negara untuk memperkaya diri ataupun partai politik yang sibuk mengejar keuntungan dan kekuasaan dibanding melayani rakyat. Sebuah sistem yang mustahil bisa mewujudkan diterapkannya Islam secara kaffah dan tidak akan pernah memberi perlindungan bagi Islam dan umatnya.
Dari pemaparan Ibu Suriani, S.Pd.I jelas umat muslim khususnya dan masyarakat luas pada umumnnya, harus cerdas dan jernih dalam berpikir serta bijak dalam bersikap ketika menghagapi isu atau opini apapun. Agar tidak mudah terbawa pada propaganda yang justru menjauhkan umat dari persatuan dan melalaikannya dari tujuan utama, yaitu mewujudkan Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam. [AR]
0 Komentar