Kelahiran Jakarta dan Kemenangan Fatahillah Mengusir Portugis


Tahun 2022 ini Jakarta merayakan hari lahirnya yang ke 495 tahun dan nama Fatahillah tidak bisa dipisahkan dalam proses kelahirannya. Perjuangannya dalam mengusir Portugis menjadi tonggak menjadikan penetapan tanggal 22 Juni resmi menjadi tanggal bertambahnya usia ibukota.

Masa Hidup Fatahillah

Fatahillah mempunyai nama asli Maulana Fadhillah Azmathkan, ia merupakan waliyullah pembebas Jayakarta. Sang Wali ini menduduki generasi ketiga majelis walisongo yang seangkatan dengan Syaikh Syarif Hidayatullah (mertua), Raden Patah (mertua), Sultan Trenggono juga Adiapatiunus, yaitu pada abad ke 15.

Sang Wali ini mempunyai nasab mulia yang langsung kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Dengan nama lain Tubagus Pasai atau Wong Agung Pasai, seperti marga Azmathkhan lain, juga bersambung nasabnya dengan kekuasan Mamlukiyah, Mesir. Ia adalah putra dari Mufti kekuasaan Samudra Pasai, Syeikh Mahdar Ibrahim yang juga masih family dengan Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1471 M ia lahir di Pasai dan diberi Allah swt usia yang panjang, 99 tahun. Di usianya ke 24 tahun, ia mengabdikan diri pada Kesultanan Malaka saat Sultan Mahmud Syah berkuasa. Saat itu perairan Malaka merupakan perairan yang tidak aman karena banyaknya bajak laut. Namun beliau mampu menghalau itu semua sehingga Laksmana laut Hang tuah pun kagum terhadapnya (Sulalatus Salatin, Tun Sri Lanang).

Kemudian Hangtuah meminta pada Sultan Mahmudsyah agar Fatahillah diangkat menjadi laksmana laut di Kesultanan Malaka yang kemudian Laksmana Laut Hangtuah mengundurkan diri. Fatahillah kemudian diberi gelar Laksamana Khoja Hasan (ksatria yang bersifat baik).

Setelah 15 tahun ia mengabdikan diri di Kesultanan Malaka, kemudian ia meminta ijin kepada Sultan Mahmudsyah untuk pergi ke negeri Al Maghrib (yang terletak di barat). Tujuannya ke negeri seberang adalah untuk menimba ilmu selain meningkatkan pemahamannya terhadap tsaqofah Islam sekaligus penguasaannya dalam peperangan di lautan.

Sebelum pergi ke negeri daerah Maghribi, ia menikahi putri dari Laksamana laut Hang Tuah, Tun Sirah binti Hang Tuah. Dari perkawinannya ini kemudian mereka dikaruniai putra yang menjadi ulama di semenanjung Pamalayu, Maulana Abdullah Azmathkhan. Dikemudian hari Maulana Abdullah ini menjadi mufti yang berkuasa di semenanjung Pamalayu baik kesultanan di Johor, Kelantan juga di Pattani pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis.

Dalam perjalanan pencarian ilmunya selama 11 tahun, Fatahillah berguru ke Hindia, Madinah, para masyaikh di Haramain, juga Kairo. Kemudian ia juga berguru kepada para pasukan elit Jenissari di Kesultanan Turki untuk meningkatkan pemahamanya tentang strategi perang yang saat itu penguasa Portugis berusaha menguasai wilayah kesultanan Islam di Nusantara. 

Pada saat ia berguru di wilayah Hindustan, ia mendengar kabar bahwa Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Pada saat itu Sultan Mahmudsyah meminta bantuan pada penguasa Demak Bintoro, yang memang Sultan Mahmudsyah sendiri mempunyai jalur keturunan dari Nusantara. Kemudian Adipatiunus berikut balatentaranya pun membantu mengusir Portugis di Kesultanan Malaka.

Fatahillah Mengusir Portugis
Pada 1522-1526 terdapat aliansi antara Portugis yang dipimpin oleh Alfonso De Alburquerque dan Pakuan Pajajaran dengan Prabu Surawisesa yang saat itu berkuasa. Diantara mereka telah melakukan kesepakatan dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Karena saat itu orang-orang yang berada di Pakuan Pajajaran merasa terancam dengan perluasan kekuasaan Islam Demak, di Cirebon dan penguasaan Keraton Surosoan di wilayah Banten oleh Maulana Hasanuddin.  

Padahal pada 1526, banyak laporan dan pengaduan kepada Sultan Trenggono di Demak terkait dengan perilaku orang-orang Portugis yang sangat merugikan masyarakat. Baik Itu yang tejadi di Malaka, Pasai ataupun yang terjadi di Halmahera dan Nusa Tenggara. Kemudian Sultan Trenggono menyiapkan pasukan Demak untuk berjihad melawan Portugis.

Pada tahun sebelumnya, orang-orang Potugis telah diundang oleh orang Pajajaran. Undangan tersebut untuk membangun pusat niaga sekaligus benteng pertahanan militer yang ada di lepas pantai, kota pelabuhan Sunda Kelapa yang masih ada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran saat itu.

Laporan itu juga sampai pada Sultan Trenggono, maka hasil kesepakatan dari Majelis Walisongo segera diangkatlah Maulana Fadhillah Azmathkan (Fatahillah) sebagai Panglima Perang seluruh armada laut Demak dan Cirebon.

Sutan Trenggono telah menyiapkan 1500 prajurit untuk mendampingi Fatahillah. Kemudian ketika tiba di Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah, mertuanya, juga telah menyiapkan pasukan sebanyak 2000 prajurit perang untuk mendampinginya menuju wilayah Sunda Kelapa.

Pada 1526 ekspedisi sudah tiba di Sunda Kelapa, mereka kemudian mengajak para putra terbaik di wilayah Banten untuk bergabung. Pada saat itu Maulana Hasanuddin (Pangeran Hassanuddin) pun ikut bergabung. Sehingga kekuatan armada laut Demak juga Cirebon pun bertambah dengan armada laut dari Banten.

Kemudian pada 22 Juni 1527, armada laut gabungan tesebut berhasil mengusir armada Portugis di Sunda kelapa yang hendak merealisasikan perjanjian Padrao (1525) antara Alfonso De Alburquerque dengan Prabu Surawisesa.

Padahal kekuatan armada kapal Portugis dalam tiap kapal nya terdapat 24 meriam tempur juga ratusan prajurit tempur. Jumlah meriam tempur tersebut baik ukuran (kaliber) nya masih jauh diatas dari kepunyaan pasukan kaum Muslimin. Hal ini semua selain karena bantuan Allah swt, juga pengetahuan yang didapat Fatahillah dari pasukan Jenissari.

Sehingga bisa dikatakan dalam proses kelahirannya, Jakarta sangat melekat dengan semangat jihad, kesatuan umat, juga kekuatan politik Islam. Maka bila saat ini Islam justru dikriminalisasi, kembalilah kepada sejarah, bahwa Fatahillah merebut Jayakarta bukan karena egoisme, rakus kekuasaan ataupun persengkokolan, namun semangat jihad yang membara di dada.
Wallahu’alam  

*Disarikan dari Chanel Ngaji Subuh


Penulis: Ruruh Hapsari


Posting Komentar

0 Komentar