Kemiskinan Pemicu Terorisme?



Beberapa politisi termasuk di dalamnya George W. Bush pernah berpendapat bahwa tingkat ekonomi lemah menjadi pemicu terjadinya aksi terorisme. Maka wajar pada 2002, Bush yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa “We fight against poverty because hope is an answer to terror”. Presiden Korea Selatan periode 1998-2003, Kim Dae Jung yang juga memenangkan nobel perdamaian pada 2000 tegas mengungkapkan bahwa “At the bottom of terrorism is poverty. That is the main cause”. William G. O’Neill penasihat senior di organisasi dunia, PBB turut mengamini pula pernyataan tersebut. Dalam laporannya berjudul “Beyond the Slogans: How Can the UN Respond to Terrorism?” ia menyatakan: “Poverty of resources, combined with poverty of prospects, choices and respect, help enable terrorism to thrive” (O’Neill, 2002: 9). 

Opini para pemimpin negara dan peneliti di atas sepertinya sejalan dengan orang-orang terduga teroris yang sudah ditangkap oleh kepolisian. Ada yang berprofesi sebagai tukang ojek online, petani, tukang sablon, pedagang dan yang lainnya. Namun, Alan B. Krueger, seorang ekonomis dari Princeton University, tidak berpikir demikian. Klaim adanya hubungan antara tingkat ekonomi lemah dengan aktivitas terorisme dibantah olehnya melalui hasil hasil data empiris tentang aktivitas terorisme. Artikelnya yang berjudul Education, Poverty and Terrorism: Is there a casual connection? yang ditulis bersama Jitka Malečková sudah dikutip oleh lebih dari 1800 penulis lain. Krueger juga menuangkan hasil penelitian dan pendapatnya ke dalam sebuah buku yang judulnya “What Makes a Terrorist”. 

Salah satu kesimpulan yang ia tarik dari penelitian tentang ilmu ekonomi dalam terorisme ini menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang sempit tidak memicu seseorang untuk ikut ke dalam jaringan terorisme. Krueger menyatakan tindakan terorisme lebih cenderung dilakukan sebagai tindakan politis dibandingkan respons terhadap kemiskinan yang dialami. Di negara-negara maju sebenarnya bukan berarti teroris itu tidak ada, namun Krueger mengklaim negara tersebut memiliki dana untuk mencegah tindakan terorisme itu terjadi. Ia juga berpendapat ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari pendidikan namun pencegahan terorisme bukan salah satunya. 

Pew Research Center juga menyimpulkan hal yang sama (https://www.pewforum.org/2013/04/30/the-worlds-muslims-2013-2/). Hasil surveinya yang dipublikasikan pada 2013 menunjukkan bahwa sikap seseorang terhadap kekerasan atas nama Islam tidak mengindikasikan bahwa sikap tersebut berhubungan dengan umur, gender dan pendidikan seseorang. Sehingga tidak bisa menjamin semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan di suatu negeri, maka semakin rendah probabilitas terjadinya terorisme di negara tersebut. 

Krueger dalam bukunya menganggap bahwa orang yang memiliki penghasilan dan pendidikan rendah malah akan merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbuat banyak terlebih tindakan terorisme. Kesempitan yang ia miliki menjadikannya tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu yang besar. Boro-boro berpikir ingin bertindak teror, yang ada dalam pikiran adalah bagaimana caranya hari ini bisa memenuhi kebutuhan hidup. 

Apalagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan terorisme sebagai “penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror." Krueger sendiri sebenarnya membedakan antara hate crime dan terorisme dari pelakunya. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa hate crime biasanya dilakukan oleh individu sementara terorisme berafiliasi pada suatu organisasi. Individu dan organisasi inilah yang menurut saya bisa menjadi penentu apakah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan itu termasuk ke dalam hate crime atau terorisme. Walaupun dua-duanya mungkin bisa dipicu oleh suatu hal yang sama, misalnya kebencian terhadap suatu kelompok agama atau suku tertentu. 

Isu mengenai terorisme di Indonesia sendiri bisa jadi dilatarbelakangi oleh persepsi sosial budaya yang dianut oleh masyarakat. Secara garis besar, masyarakat Indonesia cenderung menjadi kolektivis. Kamus psikologi yang dikeluarkan oleh American Psychological Association mendefinisikan collectivism sebagai: “a social or cultural tradition, ideology, or personal outlook that emphasizes the unity of the group or community rather than each person’s individuality”. Dalam masyarakat kolektivis, individu dipandang sebagai anggota dari suatu keluarga, komunitas atau institusi. Sehingga individu kolektivis akan menganggap apa yang ia tulis atau nyatakan adalah representasi dari suatu kelompok yang ia naungi. Maka tak heran jika masyarakat Indonesia terbiasa menggunakan kata ‘kami’ dibanding ‘saya’ ketika berbicara dalam sebuah forum. Atau ketika menuliskan ucapan selamat, seseorang akan membubuhkan nama anggota keluarganya yang lain di samping namanya sendiri. Seolah-olah apa yang ditulis mewakili apa yang ingin ditulis oleh seluruh keluarga. 

Kolektivisme ini akhirnya juga yang sepertinya menggiring masyarakat untuk mencari generalisasi atas tindakan individu. Lihat saja kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beberapa tahun lalu. Sebagian masyarakat bukan saja menyalahkan Ahok yang dianggap menyelehkan ayat al-Qur’an, tapi juga menyerang etnis dan agamanya. Lalu dalam kasus penembakan di Mabes POLRI bulan Maret 2021 lalu, banyak yang menyimpulkan bahwa pelaku adalah representasi dari agama tertentu yakni Islam, gender tertentu yakni perempuan, generasi tertentu yaitu kaum milenial dan tingkat ekonomi tertentu yakni tingkat ekonomi menengah ke bawah. 

Bahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Boy Rafli Anwar baru-baru ini melontarkan bahwa perempuan itu rentan terpapar ideologi terorisme. Kesimpulan itu didapat dikarenakan Zakiah Aini (ZA) merupakan seorang Muslim, perempuan, mahasiswa mahasiswa drop-out yang berusia 25 tahun dan bukan berasal dari keluarga yang berada. Jika ditambah elemen lain bahwa pelaku terorisme itu dikenal masyarakat sebagai orang yang tertutup dan jarang bergaul dengan warga sekitar, maka introvert atau asosial bisa masuk sebagai karakter tambahan terduga teroris. 

Namun tentu saja variabel-variabel di atas tidak bisa dijadikan sebagai generalisasi. Jika hanya ciri-ciri yang dimiliki oleh ZA yang diambil sebagai penyamarataan, maka akan banyak masyarakat Indonesia yang masuk kategori sebagai terduga teroris. ZA bukanlah representasi dari seorang Muslim, perempuan, generasi milenial, introvert atau asosial dengan tingkat ekonomi rendah. Akan bahaya jika masyarakat digiring ke dalam opini yang menggeneralisir individu sebagai sebuah entitas tertentu. 

Jika ditelusuri, variabel teroris dari seluruh dunia akan berbeda satu dengan yang lainnya. Opini generalisasi sangat berbahaya terutama di negara dengan institusi budaya berdasarkan collectivism seperti Indonesia. Kita masih ingat bagaimana masyarakat digiring ke dalam generalisasi seorang Menteri Agama Republik Indonesia terdahulu yang menyebutkan ciri-ciri radikal itu sebagai yang good looking, menguasai bahasa Arab dan hafal al-Qur’an. Padahal pendapat yang ia lontarkan hanya berasal hasil pengamatan pribadi yang mengunjungi masjid di beberapa kementerian. Dan tidak bisa disamaratakan apa yang ia alami merupakan representasi dari keseluruhan. 

Apakah ada hubungannya antara kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan dengan tindakan terorisme atau tidak, mungkin bisa diperdebatkan. Penyebab mengapa seseorang memilih mejadi pelaku terorisme bisa bervariasi. Sehingga kita pun tidak bisa dengan mudah mengambil kesimpulan besar bahwasanya terorisme itu dipicu oleh kesempitan ekonomi yang dialami oleh seseorang atau rendahnya pendidikan yang diraih. 

Namun kita bisa memiliki kesatuan pemikiran bahwasanya semuanya: kemiskinan, terbatasnya akses pendidikan dan terorisme harus diberantas. Variabel penyebab kemiskinan, rendahnya pendidikan yang dimiliki dan terorisme mungkin bisa berbeda sehingga mencari dasar generalisasi bukanlah hal yang perlu dilakukan. Mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia yang seharusnya menjadi fokus utama. Semoga Indonesia menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan tenteram. []


Oleh: Maya Puspitasari, Aktivis Muslimah



Posting Komentar

0 Komentar