Feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective saat mencetuskan istilah politik identitas, memberikan gambaran bahwa politik identitas muncul berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dibanding nilai strategis perbedaan. Sederhananya adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.
Mengacu pada definisi ini, maka gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan pembebasan L687 adalah contoh dari pengorganisasian politik semacam ini. Artinya gerakan-gerakan ini sejatinya sedang memainkan politik identitas.
Politik Identitas Disematkan Pada Islam
Realitanya tak ada politik yang tidak membawa identitas tertentu. Hampir semua parpol membawa identitas masing-masing. Sebab berawal dengan identitas itulah parpol tersebut dikenali dan pada akhirnya didukung. Identitas itu bisa berupa lambang, simbol, atau atribut parpol, termasuk jargon politiknya, semboyannya dan juga visi dan misi partainya.
Karenanya politik identitas sebenarnya adalah sesuatu yang wajar terjadi dalam dinamika kehidupan negara demokrasi. Sebab dalam demokrasi, aspirasi publik adalah ukuran yang paling penting untuk menentukan seberapa demokratis sebuah negara. Karena itu seharusnya tidak dipersoalkan dan dipermasalahkan.
Namun anehnya, ketika umat Islam membawa identitas keislamannya, baik dengan simbol, atribut, hukum hingga aturan Islam, mereka dicap sebagai pihak yang menjalankan politik identitas yang berujung pada polarisasi di tengah masyarakat. Kasus Ahok adalah contoh yang selalu ditampilkan untuk menggambarkan bagaimana Islam membetuk polarisasi tersebut.
Pasca kasus Ahok, kasus HaeReS dan dukungan yang mengalir pada Anies Baswedan dari kalangan umat Islam adalah gambaran politik identitas yang dianggap perlu diwaspadai. Itu sebabnya, Selasa kemarin tanggal 21 Juni 2022, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo membahas kerja sama dan memperkuat kemitraan mencegah politik identitas jelang Pemilu 2024 bersama Dewan Pers di Mabes Polri, Jakarta.
Jenderal bintang empat itu mengingatkan sejak tahapan Pemilu 2024 dimulai, ke depan menjadi tantangan bagi Polri dan juga media bagaimana menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia, mencegah polarisasi dan penggunaan politik identitas. Pernyataan ini memberi kesan bahwa pergerakan Islam dalam ranah politik adalah hal yang membahayakan karena bisa menciptakan polarisasi dan memecah belah persatuan di Indonesia.
Padahal derasnya kampanye kaum pelangi selama bulan Juni ini dan pergerakan mereka untuk menuntut legalisasi, sejatinya juga menimbulkan polarisasi di tengah kehidupan sosial masyarakat dan mengandung bahaya yang jauh lebih besar dan mengancam masa depan generasi. Begitu pula dengan pergerakan OPM di Papua. Sayangnya pergerakan semacam ini sama sekali tidak dianggap sebagai politik identitas. Ada kesan pergerakan semacam ini didukung dengan masifnya narasi tentang toleransi dan hak azasi manusia.
Artinya politik identitas ini dinilai buruk hanya jika datang dari Islam. Segala sesuatu yang berasal dari Islam seolah-olah adalah sesuatu yang membahayakan. Jihad, khilafah, negara Islam dan sebagainya adalah ajaran Islam yang dinarasikan dengan konotasi negatif. Akibatnya muncullah ketakutan akan ajaran Islam itu sendiri, Islamophobia.
Bangga Dengan Identitas Islam
Padahal Islam adalah agama yang lurus, yang berasal dari Allah swt, pencipta alam semesta. Allah sendiri yang meminta agar kaum muslimin berbangga dengan identitas keislamannya. Allah swt berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah, ‘Wahai Ahlul Kitab! Mari kami mengajak kalian untuk meyakini suatu kalimat yang sama antara kami dengan kalian. Yaitu, hendaknya kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak berbuat kesyirikan sedikit pun. Dan tidak menjadikan makhluk di antara kita sebagai tandingan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka ucapkanlah, ‘Kami bersaksi bahwa kami adalah kaum muslimin’’” (QS. Ali Imran: 64).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk mengajak ahlul kitab untuk mentauhidkan Allah dan menjauhkan diri dari kesyirikan. Jika mereka enggan, maka biarkan mereka, dan tetaplah berbangga menjadi seorang muslim dan istikamah berpegang pada akidah Islam.
Imam Bukhari dan Muslim membawakan hadits dari Thaariq bin Syihaab, dia berkata bahwasanya seorang yahudi berkata kepada ‘Umar bin Khattab (yang saat itu menjadi khalifah), “Wahai amirul mukminin, sebuah ayat dalam al-Quran yang kalian membacanya, seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).” “Ayat apakah itu?,” tanya ‘Umar. Ia berkata:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian” (QS. Al-Maidah: 3) ‘Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu, yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arofah pada hari Jum’at. ” (Muttafaqun ‘alaih)
Abdullah bin Abbas ra mengatakan tentang tafsir ayat ini (QS. Al Maidah: 3), “Allah telah mengabarkan kepada nabi-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, bahwasanya Dia telah menyempurnakan islam bagi mereka, sehingga mereka tidak akan membutuhkan tambahan apapun selamanya. Dan Allah telah melengkapkannya, sehingga Dia tidak akan menguranginya selamanya. Dan Allah telah meridhainya, maka Dia tidak akan marah kepadanya selamanya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 14/2)
Para sahabat dulu juga bangga dengan identitas keislamannya. Suatu ketika Salman Al-Farisi ra. ditanya, ”Keturunan siapa kamu?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” Inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
Demikianlah Islam meminta pemeluknya bangga dengan ajaran yang paripurna ini. Karena itu, adalah hal yang wajar jika kaum muslimin yang membanggakan ajaran Islam ini memperjuangkannya dalam pergerakan politik dan berupaya menerapkannya dalam segala sendi kehidupan. Jika pergerakan kaum L96T yang membanggakan kemaksiatannya diberi ruang dan didukung, padahal perbuatan mereka sudah sangat jelas sebagai perbuatan dosa besar dan berbahaya, mengapa pergerakan Islam di ranah politik dipermasalahkan? Mengapa harus dipersoalkan?
Inilah standar ganda dalam sistem demokrasi. Oleh sebab itu kaum muslim harus segera menyadarinya dan tak berhenti untuk memperjuangkan Islam hingga syariat Islam bisa benar-benar diterapkan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Wallahualam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar