Viral konvoi khilafah oleh sejumlah pemotor yang kemudian diketahui dari Khilafatul Muslimin, melintas di jalan Jakarta, Minggu 29 Mei 2022. Tertangkap di media mainstream, muncul penolakan dari beberapa pihak atau organisasi yang natabene organisasi Islam termasuk dari pihak pemerintah.
Mengutip dari detik.com, 01/06/2022 menurut Muhammadiyah, informasi yang disebarkan kelompok itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. PBNU menilai kelompok ini ingin memecah belah bangsa. Wakil ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily meminta Kementerian Agama (Kemenag) membuat narasi masif melawan gerakan ‘Kebangkitan Khilafah’. Maman Imanulhaq, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKB menilai konvoi ini sengaja mengambil momentum hari Pancasila, untuk mempengaruhi opini publik tentang ideologi negara. Partai Garuda meminta aparat menangkap yang terlibat konvoi dan menyamakan mereka dengan pengedar narkoba. Menteri agama menegaskan khilafah dilarang di Indonesia. Densus 88 Polri menyatakan Khilafatul Muslimin sama dengan teroris.
Jika dikaji dari segi hukum, Ahmad Khozinudin, Ketua Umum Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat, dalam sebuah diskusi online di channel Youtube Pusat Kajian Analisis Data (PKAD), 01/06/2022 menyampaikan, tidak ada satupun pasal atau produk perundangan yang melarang ajaran Islam, yaitu khilafah. Ijtima komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) November 2021 juga menegaskan bahwa khilafah adalah ajaran Islam.
Melihat “perlakukan” terhadap dakwah khilafah dan para pengembannya selama ini, jelas ada inkonsistensi sistem demokrasi dalam menerapkan prinsip kebebasan yang katanya menjadi asas utama. Kebebasan seperti apa dan kebebasan untuk siapa nampaknya masih perlu dipertanyakan.
Di bawah demokrasi siapapun bebas berekspresi atau bersuara tentang apapun yang bahkan batil (maksiat), seperti pornografi, seks bebas (baca; zina), hingga eljibiti dengan dalih hak asasi, atas nama kemanusiaan. Namun disisi lain, ketika umat Islam mengkampanyekan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran agamanya, yang haq (benar), tidak mendapatkan hak kebebasan yang sama.
Bendera Israel dibiarkan berkibar di acara International Parliamentary Union di Bali Maret 2022. Padahal Israel jelas-jelas penjajah yang merebut tanah milik umat muslim, melakukan penyiksaan dan pembunuhan tanpa ada perlawanan yang sepadan dan pembelaan yang layak dari umat muslim. Operasi Papua Merdeka (OPM) lantang teriak ingin memisahkan diri dari negeri ini, terus berkonflik hingga menimbulkan korban jiwa warga sipil maupun anggota TNI, tetapi malah dianggap saudara. Berulang kali bendera bintang kejora dikibarkan di tanah Papua bahkan di istana negara, tepatnya pada saat aksi mahasiswa Papua, Agustus 2019. Disisi lain, terhadap Aliwa-Arroya, bendera Rasulullah, bendera milik umat muslim seluruh dunia, yang jelas sumber dalilnya, terus dikriminaliasi dengan narasi negatif.
Kemudian ketika ada oknum yang dilaporkan telah membuat keresahan dan kegaduhan bahkan terbukti berulang kali melecehkan Islam dan simbol-simbolnya, sama sekali tak tersentuh hukum. Sementara ketika ada yang menyuarakan kritik atas kebijakan penguasa, yang dinilai merugikan rakyat, disertai dasar, bukti bahkan solusi, justru di tuduh sebagai provokator atau penebar ujaran kebencian.
Perpecahan umat, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, korupsi, perseteruan politik hingga masalah kedaulatan negara tak kunjung usai terjadi di bawah sistem demokrasi. Apa yang diharamkan Islam, dihalalkan oleh sistem demokrasi. Riba diambil karena bermanfaat dan mendatangkan keuntungan. Khamr cukup diatur peredarannya, sekali lagi karena berpeluang mendatangkan pundi-pundi materi. Prostitusi didiamkan, eljibiti dilindungi, poligami diributkan. Inilah fakta demokrasi. Tak mengenal halal-haram, haq dan batil dicampuradukkan, karena standarnya memang materi, keuntungan atau kepentingan kekuasaan.
Sementara itu, apa yang telah dilakukan khilafah kepada negeri ini? Jejak-jejak sejarahnya justru menunjukkan keagungan dan kemuliaan. Khilafah membawa ajaran Islam ke negeri ini dengan penuh cinta damai. Walisongo tidak lain adalah para utusan kekhalifahan Turki Ustmani yang memang dikirimkan untuk menyebarkan Islam ke nusantara. Kekhalifahan Turki Ustmani juga mengerahkan kapal perang dan pasukan militernya demi membantu melawan Portugis yang kala itu menjajah Aceh. Hanya saja banyak sejarah yang dikaburkan dan dikuburkan oleh pihak-pihak yang memang tidak menginginkan umat muslim menyadari jati dirinya sebagai umat terbaik, yang pernah mempimpin peradaban manusia selama lebih dari 13 abad.
Khilafah sebagai institusi yang menegakkan syariat Islam itu kini telah runtuh. Perjuangan menegakkan kembalipun terus dilakukan. Namun, ketika berharap syariat Islam tegak melalui jalan demokrasi, seperti joke yang disampaikan cendekiawan muslim, Ustadz Ismail Yusanto, “Ibarat mencari gudeg di rumah makan padang, nggak akan ketemu!.”
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan meneladani Rasulullah SAW bagaimana menegakkan syariat Islam secara keseluruhan. Periode Mekah, ketika belum ada negara (daulah) Islam, dakwah Rasulullah adalah dakwah pemikiran dengan lisan, pembinaan secara intensif, memahamkan Islam dimulai dari para sahabat. Setelah terbentuk kekuatan (jamaah), Rasulullahpun mulai berinteraksi dengan umat, mendakwahkan Islam kaffah secara terbuka, termasuk melakukan thalabun nusrah, meminta dukungan kepada para kabilah, juga mengirimkan Mus’ab bin Umair mendakwahkan Islam ke Madinah.
Selama berdakwah Rasulullah tidak pernah berkompromi dengan kaum Quraiys. Tawaran kekayaan bahkan kekuasaan tak sedikitpun membuat Rasulullah tergoda. Ancaman dan serangan tak membuat Rasulullah surut apalagi menyerah. Hingga akhirnya Allah turunkan pertolongam, tegaklah Daulah Islam di Madinah atas permintaan umat (suku Aus dan Khazraj) yang dengan sukarela menyerahkan kepemimpinannya kepada Rasulullah SAW. Maka, jalan itulah yang seharusnya diambil umat Rasulullah SAW ketika ingin menegakkan kembali syariat Islam di muka bumi. Apalagi kabar dari Rasulullah SAW akan tegaknya Khilafah yang kedua adalah pasti.
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar