DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). M. Nurdin selalu Wakil Ketua Badan Legislasi DPR menyebutkan bahwa revisi UU PPP mencantumkan 19 poin perubahan. Beberapa poin perubahan di antaranya mengatur penyusunan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus law, penanganan pengujian peraturan perundang-undangan, serta asas keterbukaan (Kompas.com, 24/5/2022).
Revisi UU PPP sebelumnya ditolak kelompok buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) pada Aksi May Day lalu. Setelah disahkan, 4 konfederasi serikat buruh dan 60 Federasi Serikat Buruh tingkat nasional menyatakan tidak menerima keputusan itu. Nining Elitos yang merupakan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi), memandang bahwa revisi UU PPP diduga sengaja dilakukan untuk kepentingan merevisi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), yang merupakan bagian dari perintah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (rmol.id, 16/4/2022).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. UU tersebut harus diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun sejak pembacaan putusan atau 25 November 2021. Untuk itu, revisi kedua terhadap UU PPP dilakukan untuk memberi legitimasi pada penerapan metode Omnibus dalam pembentukan UU di Indonesia.
Miris, UU Cipta Kerja yang sejak awal ditolak oleh masyarakat luas masih saja dianggap prioritas bagi para pemangku kebijakan di negeri ini. Padahal, penolakan dari masyarakat disebabkan isi UU Ciptaker bersifat liberal dan dapat mengancam kelangsungan hidup rakyat Indonesia. Sayangnya, saat ini pemerintah justru merevisi UU PPP yang mengakomodasi UU Cipta Kerja.
Apabila kita teliti lebih dalam, mekanisme penyusunan revisi UU PPP sangat berpihak pada oligarki. laman berita tirto.id, 11/2/2022, mewartakan bahwa Bivitri Susanti dari Jentera Law School, menilai bahwa MK tidak meminta perubahan atas UU PPP sebagai acuan pembuatan UU. MK hanya memerintahkan UU Cipta Kerja dibentuk dengan memperhatikan unsur partisipasi masyarakat dan memenuhi asas-asas pembentukannya. Mestinya DPR menaati putusan MK dengan memperbaiki UU Cipta Kerja dan menyesuaikan dengan hal formil pembentukan UU.
Selain itu, revisi dan pengesahan UU PPP terkesan dipaksakan. Halaman tirto.id, 11/2/2022, menulis, dari total 9 fraksi yang ada di DPR, hanya Fraksi PKS yang menolak. PKS menilai pembahasan revisi UU PPP oleh Baleg DPR terburu-buru dan minim partisipasi publik. Senada dengan sikap fraksi PKS, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra menilai DPR hanya mencari jalan pintas demi memuluskan metode omnibus.
Lagipula, secara hirarki perundang-undangan, UU ini sudah cacat hukum. Pembuatan UU yang seharusnya melewati serangkaian proses dan pembahasan kini bisa kilat. Hal tersebut menandakan rezim yang otoriter karena mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi dalam penyusunan UU.
Lebih parah, revisi UU PPP memiliki dampak buruk di masa yang akan datang. Helmi Candra menilai bahwa kekacauan regulasi dalam pembentukan perundang-undangan bisa terjadi akibat perubahan UU PPP ini. Sebab, poin pertama yang berubah adalah Pasal 1 RUU Perubahan UU PPP yang menyematkan metode omnibus. Menurut Helmi ke depannya akan menyebabkan obesitas aturan dalam satu UU dan menghasilkan peraturan pelaksana yang juga sangat banyak.
Jika dilihat dari urgensi revisi UU PPP yang merupakan asas untuk melenggangkan UU Cipta Kerja, tentu kebijakan ini sangat zalim. Sudah menjadi rahasia umum pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja banyak merugikan buruh. Namun, pemerintah seakan tidak peka dan tutup mata akan hal ini. Aturan seperti UU PPP jelas akan meminimkan partisipasi rakyat, atau justru didominasi segelintir masyarakat yakni ologakri dalam pembuatan perundang-undangan di kemudian hari. Hal tersebut berpotensi mengabaikan hak-hak rakyat secara luas.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Riden Hatam Aziz, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang menyatakan bahwa pengesahan revisi UU PPP itu merupakan cara licik dan tidak punya hati terhadap aspirasi rakyat (tempo.co, 25/5/2022).
UU PPP telah diubah sebelumnya pada tahun 2019. Beberapa pasal yang mengatur program legislasi nasional yang merupakan rencana UU yang akan dibuat oleh DPR dan Pemerintah direvisi. Perubahannya menyangkut mekanisme penyusunan dan penetapannya, pihak yang bertanggungjawab dari pihak DPR dan Pemerintah dalam penyusunan dan penetapannya, dan keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di dalam pembentukan prolegnas.
Dari fakta di atas, sangat jelas pembuatan aturan di negeri yang menganut sistem demokrasi liberalisme ini inkonsisten dan masih kacau balau. Legalisasi UU Cipta Kerja yang pro oligarki dengan perantara UU PPP menandakan bahwa hukum dan pasal yang dibuat bisa dipesanan pihak tertentu. Namun memang seperti itulah lika-liku negeri yang dipimpin sistem rusak buatan manusia ini. Fakta membuktikan bahwa demokrasi melahirkan aturan cacat, ugal-ugalan yang menyengsarakan rakyat.
Siapa pun asal memiliki modal bisa diberikan panggung walaupun melanggar konstitusi yang sejatinya disepakati mereka. Tidak jarang, halal-haram dan rasa keadilan sering ditabrak. Alih-alih menghormati konstitusi, tapi nyatanya mereka sendiri yang mencoreng kehormatan sistem yang mereka agung-agungkan. Padahal sejatinya, yang berhak membuat aturan hanyalah Allah SWT Sangat Pencipta Alam Semesta.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat al-Maidah ayat 50 yang artinya: "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Inilah potret penetapan hukum dalam sistem demokrasi yang menjadi alat kepentingan bagi segelintir elit kapitalis. Antara penguasa dan pengusaha bersekutu tidak lain untuk mengamankan posisi dan menambah pundi-pundinya walau mengorbankan kemaslahatan umat. UU PPP yang jelas menyasar legalisasi UU Cipta Kerja contohnya. Oleh karena itu, masihkah kita diam melihat kemunkaran yang disebabkan sistem bobrok ini? Tidaklah kita tergerak untuk beralih ke sistem yang berasal dari Sang Khalik Allah SWT yakni sistem Islam yang kaffah?
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. Ali Imran [03]: 133).
Wallahualam bishawab.
Penulis: Anggun Permatasari
0 Komentar