Media Menjadi Sumber Hoaks di Sistem Kapitalisme



“Sebarkan pesan ini kepada 10 orang, jika tidak maka Anda akan mendapat kesialan dalam waktu satu minggu ke depan!” Siapa yang pernah menerima pesan berantai atau broadcast demikian? Di era kecanggihan teknologi saat ini, berita palsu atau hoaks adalah hal yang biasa. Bahkan masih banyak orang yang termakan dengan berita-berita bohong tersebut. Padahal, crosscheck fakta berita yang kita dapat adalah hal penting ketika kita ingin menyampaikan atau menyebarkan kembali berita tersebut.

Berdasarkan databoks.katadata.co.id, We Are Social mencatat jumlah pengguna media sosial secara global terus meningkat setiap tahunnya. Pada Januari 2021, angkanya mencapai 4,2 miliar atau tumbuh 13,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini menjadi titik balik masyarakat dalam memanfaatkan perkembangan teknologi, belum lagi semenjak gelombang pertama pandemi Covid-19, hampir seluruh masyarakat beraktivitas secara online alias menggunakan perangkat elektonik atau social media.

Oleh karenanya, media seharusnya menjadi tempat mencari informasi yang terpercaya dan sebagai sarana lain untuk mendapat pengetahuan baru, terkhusus bagi anak muda. Namun sayangnya, di zaman sekarang tidak jarang anak muda mengalami trust issue terhadap social media akibat banyaknya hoaks yang tersebar. Masyarakat bisa mengakses berita atau konten apapun di sosial media saat ini dan banyaknya portal berita yang up to date setiap harinya menjadi “sumber” informasi bagi masyarakat.

Keterbatasan ruang, waktu dan indera manusia bukan lagi masalah, karena semua bisa di akses kapanpun, di manapun dan bagaimanapun. Mengekspresikan opini ataupun ide juga bisa dilakukan di sosial media, bahkan hal ini dilindungi oleh undang-undang sistem saat ini.  Kebebasan berpendapat menjadi salah satu tag-line yang sering digaungkan di sistem demokrasi, semua orang berhak mengekspresikan dan menyampaikan opininya, entah itu bermanfaat, tidak bermanfaat atau bahkan bisa menjerumuskan orang lain pada keburukan. Kondisi ini menjadi konsekuensi generasi milenials dan gen Z dalam menghadapi tatanan masyarakat, apakah mereka kuat dengan idealismenya atau bahkan terbawa arus kebebasan?

Baru-baru ini ada berita yang sampai pada kalangan aktivis mahasiswa, terkhusus mahasiswa depok. BEM Universitas Indonesia mendapatkan tuduhan yang tidak menyenangkan di kalangan internal organisasi mahasiswa kampus itu sendiri. Dikutip dari radarkotanews.com, Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (Semar UI) yang merupakan salah satu organisasi mahasiswa UI mendorong mosi tidak percaya terhadap BEM UI, karena adanya dugaan BEM UI di bawah pimpinan ketuanya saat ini Bayu Satria Utomo berubah menjadi wadah gerakan HTI dan dikontrol PKS. Seharusnya organisasi mahasiswa sekelas BEM adalah organisasi yang independen, tidak boleh ada kontrol dari luar atau elite politik yang berniat masuk ke dalam gerakan mahasiswa. Oleh karena itu, M. Fawwaz selaku ketua Semar UI memberi masukan agar Ketua BEM UI Bayu dapat dikuliti dan membuat mosi tidak percaya sehingga dapat dikontrol dan BEM UI lepas dari cengkeraman HTI dan kepentingan politik PKS. 

Namun, semua hal tersebut dibantah oleh Semar UI dan berita tersebut dianggap sebagai hoaks. Semar UI menyatakan bahwa segala bentuk statement dan spanduk yang berisikan propaganda terkait yang memiliki kadar substansi minim dengan mencatut organisasi seperti HTI, PKS, dan istilah “Kadrun” ataupun “Tarbiyah” pada kejadian ini bukan berasal dan datang dari Semar UI. Segala pernyataan yang mengatasnamakan Semar UI adalah fitnah dari oknum yang tidak bertanggung jawab dan mencoba membuat kericuhan secara sengaja dengan mengatasnamakan Semar UI tanpa adanya fakta maupun dasar pemberitaan yang jelas.  

Selain itu, Suara Mahasiswa sebagai Pers Mahasiswa UI (Suma UI) mengatakan bahwa narasi berita tersebut membawakan lagu sumbang khas pendengung bayaran yang kerap menyangkutpautkan afiliasi politik Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Bayu Satria Utomo, dengan Partai Keadilan Sejahtera dan organisasi radikal terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), serta mengadu domba posisi politik BEM UI dan Serikat Mahasiswa Progresif (Semar UI) yang selama ini cukup renggang. Kemudian terbitlah berita-berita yang megatasnamakan kedua organisasi mahasiswa tersebut. Suma UI menegaskan, secara keseluruhan berita tersebut adalah berita bohong dan tidak akurat karena setelah diverifikasi, Semar menerangkan bahwa tidak pernah ada wawancara antara Fawwaz dengan media-media yang mencatut namanya.

Dari fakta tersebut, menunjukan degradasi fungsi dari media yang seharusnya menjadi sumber informasi terpercaya tetapi malah menjadi sumber hoaks bahkan mengadu domba demi kepentingan kelompok politik. Peran media di sini dipertanyakan, dikarenakan seharusnya media menghadirkan dan cross check fakta agar hoaks tidak berkembang. Ada klarifikasi yang tidak tepat saat meluruskan berita hoaks tersebut, HTI dianggap sebagai organisasi radikal terlarang yang pada kenyataannya dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengesahkan pembubaran HTI tak pernah menyebutkan organisasi terlarang.

Hal tersebut dijelaskan oleh Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Yusril Ihza Mahendra pada saat itu. Pernyataan yang dijadikan pelurusan informasi malah menjadi penggiringan opini yang berubah fokusnya. Berita ini jadi fokus pada Partai Islam dan Ormas Islam yang terlihat sangat dihindari oleh organisasi mahasiswa atau aktivis mahasiswa. Tampak begitu keras sekali penolakannya. Seharusnya klarifikasi ini bisa fokus dengan hoaks  yang disebarkan, bahwa ini menciderai pergerakan mahasiswa, karena menggunakan fitnah kotor yang tidak memiliki bukti sehingga mata masyarakat bisa tertuju pada media yang saat ini memang bukan lagi menjadi suumber informasi yang terpercaya, namun bisa menjadi sumber hoaks yang berisi dengan politik kepentingan.

Tidak dipungkiri, media di sistem kapitalis-sekuler rentan sekali menyajikan berita-berita hoaks Bahkan hoaks satu akan ditutupi dengan hoaks lainnya. Hal ini membuat gaduh masyarakat dan membuat kebingungan di tengah masyarakat. Seharusnya media menjadi jembatan antara masyarakat dan penguasa dalam mengungkapan berita-berita yang sesuai fakta, bukan menjadi alat di dalam negara untuk membuat gaduh dan memecah belah masyarakat.

Dikutip dari upriseri.com “Capitalism is why mainstream “news” isn’t really the news, but rather a propaganda machine with the bare minimum of actual information to throw you off the scent. Whether you watch CNN, Fox News, MSNBC, or WJAR you are being fed carefully curated stories told from a capitalist angle to promote an agenda – keeping you informed is not that agenda by the way.”, dan theguardian.com  “The problem is not fake news but a digital capitalism that makes it profitable to produce false but click-worthy stories”. Jelas bahwa pada sistem kapitlisme “fake news” adalah hal yang biasa, berita bukanlah sekeda berita biasa, tapi merupakan bagian dari propaganda. Kekonyolan yang dilakukan pada sistem kapitalisme-sekuler adalah kebebasan berpendapat hanya bagi mereka yang cocok dengan ideologi mereka sendiri, perlindungan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan keinginan mereka. Hal ini menunjukan standar ganda, alih-alih melindungi “seluruh masyarakat” tetapi menjadi melindungi “seluruh masyarakat yang berkepentingan”.

Belum lagi masalah-masalah yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka sendiri seolah-olah menjadi masalah bersama dan harus diselesaikan bersama, padahal masalah itu timbul karena prinsip dan kepentingan mereka sendiri. Kenapa jadi semua orang ikut pusing? Fakta dan fungsi media pada sistem kapitalisme sudah membuktikan bahwa selamanya kapitalisme menjadikan media sebagai alat propaganda yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya bahkan sama sekali tidak bisa dipercaya. Kebingungan dan kegaduhan di tengah masyarakat bisa dikatakan sebagai tujuannya, dari situlah profit bisa didapatkan. Maka dari itu, seringkali isu-isu besar bisa di alihkan oleh isu-isu receh alias “pengalihan isu”.

Berbeda dengan Islam, fungsi media akan berjalan sesuai dengan semestinya. Media akan menyajikan fakta, memberikan edukasi dan informasi-informasi yang bermanfaat bagi umat serta tidak akan menyebabkan kegaduhan apalagi kebingungan di tengah umat. Negara tidak akan membiarkan media menyajikan berita-berita tidak bermanfaat seperti gosip, meliput gaya hidup orang lain khas dengan hedonismenya, apalagi menyebarkan hoaks. Konten-konteng tidak bermoral dan bertentangan dengan Islam akan tertolak. Hal ini akan membuat masyarakat teredukasi, menghasilkan masyarakat bermoral dan membuat pola pikir serta pola sikap masyarakat menjadi Islami.

Di sini kode etik jurnalis juga harus dipatuhi, sehingga tidak akan ada trust issue di tengah umat, semua berita dan konten bisa dipertanggungjawabkan. Bukan lagi profit yang dipikirkan, tetapi isi dari beritalah yang menjadi fokus media. Melihat kontrol yang dilakukan oleh negara dalam sistem Islam, menunjukkan peran negara memang sangat penting dalam mengawasi pergerakan media di tengah umat. Bukan menjadi alat negara untuk mengadu domba masyarakat dan mengganggu ketenangan masyarakat, tetapi memang menjadi jembatan antara penguasa dan masyarakat dalam menyampaikan informasi yang mencerdaskan.  Seperti firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al-Hujurat: 6).

Sebagai seorang Muslim, kita harus berhati-hati dalam menyebarkan berita. Perlunya crosscheck fakta agar kita tidak termakan hoaks bahkan menyebarkan fitnah. Sebagai generasi milenials dan gen Z Muslim, juga harus pintar dalam menggunakan media sosial, responsif namun tidak reaktif. Karena dalam sistem kapitalisme-sekuler banyak hal yang perlu dicek kembali kebenarannya dan tidak menutup kemungkinan sikap reaktif kita menjadi boomerang bagi kita. Wallahu’alam []


Penulis: Albayyinah Putri, S.T., Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar