Indonesia masih mengalami masalah kehilangan biodiversitas (keanekaragaman hayati) meskipun telah terjadi penurunan tingkat deforestasi hutan yang signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), aktivitas konservasi yang progresif yang dilakukan kebun raya menjadi solusi dalam menanggulangi biodiversity lost (kehilangan biodiversitas). (republika.co.id, 11/06/2022) Mari kita bersama-sama meneliti solusi yang ditawarkan BRIN, apakah sudah tepat dan menyentuh akar masalahnya.
Indonesia Negara Megabiodiversitas
Indonesia merupakan negara kaya. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati atau biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Bahkan jika digabung dengan keanekaragaman hayati lautan, Indonesia menempati peringkat 1 dunia. Indonesia layak disebut negara megabiodiversitas. (lipi.go.id, 18/09/2020) Berdasarkan buku “Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang diterbitkan LIPI Press disebutkan Indonesia merupakan salah satu surga biodiversitas di dunia yang memiliki 17 persen total spesies dunia. Keanekaragaman jenis tercatat ada 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora (seperti Kriptogam) berupa jamur, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan serta 30.000–40.000 jenis flora tumbuhan berbiji (15,5 persen dari total jumlah flora di dunia). Sementara itu, terdapat 8.157 jenis fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan) dan 1.900 jenis kupu-kupu (10 persen dari jenis dunia). Adapun jenis fauna endemik Indonesia berjumlah masing-masing 270 jenis mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil, 204 jenis amphibia, dan 280 jenis ikan. (kompas.id, 22/02/2022)
Kepunahan Hantui Keanekaragaman Hayati Indonesia
Namun di sisi lain, tingkat kepunahan satwa dan tanaman di Indonesia menempati peringkat 2 dunia. Masuk ke dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (ICUN). (tempo.co, 28/05/2019) Indonesia memiliki daftar panjang spesies yang terancam punah, antara lain: 147 spesies mamalia, 114 spesies burung, 28 spesies reptil, 91 spesies ikan, dan 28 spesies invertebrata. (kompas.id, 22/02/2022)
Hilangnya satu spesies dapat berdampak buruk pada keseluruhan rantai yang mengarah pada penurunan keseluruhan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang berkurang juga mengarah pada penurunan manfaat ekosistem dan pada akhirnya menimbulkan bahaya langsung bagi ketahanan pangan, yang berdampak bagi umat manusia. (wikipedia.org)
Pakar keanekaragaman hayati, Dolly Priatna mengatakan kepunahan keanekaragaman hayati akibat menurunnya luas dan kualitas hutan di Indonesia. (greeners.co, 24/05/2022) Bahkan penelitian dari University of Hawai'i di Mānoa dan Muséum National d'Histoire Naturelle di Paris menekankan bahwa ancaman kepunahan ini dimotori oleh aksi manusia dan bukan bencana alam. (detik.com, 04/02/2022) Aksi manusia tersebut antara lain melakukan perubahan tata guna lahan karena pembangunan infrastruktur untuk berbagai keperluan, seperti pembangunan fasilitas gedung perkantoran dan perumahan, jalan, pembukaan kawasan industri, serta keperluan lahan perkebunan, terutama untuk kebun kelapa sawit dan pertanian baru. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), deforestasi tahunan Indonesia mencapai 0,44 juta hektar. (kompas.id, 22/02/2022) Dapat kita lihat bahwa kepunahan ini akibat dari kerakusan manusia yang dilegalkan oleh sistem negara itu sendiri, yaitu kapitalis liberal.
Regulasi Pemerintah untuk Lindungi Keanekaragaman Hayati
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia. Setidaknya terdapat 10 regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati.
Kesepuluh regulasi atau undang-undang itu adalah: (1) UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati); (3) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) UU 4/2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).
Kemudian, (5) UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; (6) UU 26/2007 tentang Penataan Ruang; (7) UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (8) UU 31/2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap UU 31/2004 tentang Perikanan; (9) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah menjadi UU 23/2014 sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 dan diganti kembali dengan UU 9/2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan (10) UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Seabreg kebijakan itu ternyata tidak mampu menyelesaikan problema kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia. Karena dalam sistem kapitalis yang dianut negeri ini, pemerintah hanya sebagai regulator (pembuat regulasi/kebijakan). Sedangkan yang melaksanakannya adalah pihak swasta, yang kita ketahui bahwa mereka berorientasi pada keuntungan materi. Maka dapat kita saksikan banyak regulasi yang ditabrak oleh pihak swasta demi cuan. Saat ini 4 Kebun Raya di Indonesia, yaitu Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bali telah berpindah pengelolaan kepada swasta. Petisi tentang Kebun Raya Bogor yang muncul akhir 2021 menjadi bukti nyata bahwa swasta menjadikan Kebun Raya hanya sebagai tempat wisata, tepatnya sebagai mesin pencetak uang. (idntimes.com, 09/10/2021) Tidak sesuai dengan tupoksi dan marwahnya sebagai tempat konservasi dan riset keanekaragaman hayati. Harapan BRIN menjadikan Kebun Raya sebagai solusi kepunahan keanekaragaman hayati, hanya akan menjadi angan-angan. Dari sini jelaslah bahwa prinsip sistem kapitalisme yang menyerahkan seluruh pengelolaan kebutuhan publik kepada swasta menjadi biang permasalahannya.
Solusi Tuntas Kepunahan Keanekaragaman Hayati
Setelah kita meneliti akar masalahnya, ternyata kepunahan keanekaragaman hayati berasal dari penerapan sistem kapitalis liberal yang dianut oleh Indonesia. Maka seharusnya tidak ada lagi alasan untuk mempertahankannya. Indonesia bahkan dunia butuh sistem yang mampu mengendalikan kerakusan manusia pada harta dan kekuasaan. Sistem yang tepat adalah sistem khilafah yang menerapkan aturan Islam secara kafah. Aturan yang dibuat oleh pencipta manusia yang sangat mengetahui cara untuk mengendalikan kerakusan ciptaan-Nya.
Mengutip dari laman muslimahnews.net, dari buku Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam karya Muhammad Husain Abdullah. Islam telah memberikan aturan berkenaan dengan penjagaan terhadap lingkungan, di antaranya adalah:
1. Tidak boleh melakukan kerusakan terhadap segala sesuatu sesudah ada perbaikan.
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf [7]: 56)
2. Tidak boleh melakukan pencemaran lingkungan dengan kotoran manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Berhati-hatilah kepada dua orang terlaknat (al-la’inayn).” Sahabat bertanya, “Siapakah dua orang terlaknat itu?” Rasul menjawab, “Yakni orang-orang yang membuang kotoran di jalan yang dilalui orang dan menzalimi mereka.”
Dalam hal ini Rasul menyebut mereka sebagai la’inayn karena perbuatan mereka menyebabkan orang yang melakukannya mendapat laknat (kecaman).
Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah siapa pun kencing di dalam air yang tidak mengalir (al-maud daim) kemudian ia berwudu dengannya.” (HR Bukhari)
3. Islam melarang penebangan pohon secara sia-sia.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang memotong pohon bidara (lotus jujube-inggris, penerj.) yang ada di atas tanah lapang—yang sering digunakan sebagai tempat bernaung bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) ataupun binatang-binatang—secara sia-sia dan penuh kezaliman tanpa alasan yang benar, maka Allah akan menaruh api neraka di atas kepalanya.” (HR Bukhari)
4. Islam mendorong untuk menyuburkan tanah dengan cara ditanami, atau menyitanya (tanah pertanian tersebut) dari siapa saja yang tidak menanaminya.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ia menanaminya atau diberikan kepada saudaranya.”
Sabda beliau ﷺ lagi, “Tidaklah seorang muslim menanam sesuatu lantas tanaman itu dimakan orang lain, burung, ataupun binatang-binatang lain kecuali hal itu menjadi sedekah baginya.”
5. Islam mendorong untuk menyayangi binatang. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya seseorang telah melihat seekor anjing yang sedang kehausan, kemudian ia melepaskan sepatunya untuk menciduk air untuk diminumkan ke anjing itu. Allah memuji orang itu dan memasukkannya ke dalam surga.”
Berkenaan dengan orang yang mengambil anak burung, beliau bersabda, “Siapa yang membuat cemas (induk) yang melahirkan anak burung ini? Kembalikanlah ia kepada induknya!”
Beliau pun bersabda, “Seorang wanita dapat masuk neraka hanya karena soal kucing yang dipeliharanya, tetapi tidak diberinya makan dan juga tidak mencegahnya tatkala kucing itu memakan tanah yang kotor.”
6. Islam memerintahkan untuk menyingkirkan hal-hal yang mengganggu dari tempat-tempat umum seperti jalan dan tanah lapang.
Beliau bersabda, “Ketika seseorang berjalan di sebuah jalan, lantas ia menjumpai ranting pohon berduri, kemudian ia mengambilnya, maka niscaya Allah akan memujinya dan mengampuninya.”
Sabda beliau pula, “Singkirkanlah gangguan dari jalanan.”
Kaum muslim di era kekhilafahan Islam sesungguhnya telah komitmen dengan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka dan menjaga kebersihan suasana kota dan jalanan. Mereka juga pernah membangun tempat-tempat pemandian dan memperhatikan kebersihannya.
Seorang Muhtasib, yakni kadi yang ada di pasar, senantiasa mengawasi makanan (yang diperdagangkan, penerj.) dan menguji sejauh mana kelayakannya untuk tetap dijual. Demikian juga halnya dengan toko roti, tempat penjualan daging, dan warung-warung makan.
Kaum muslimin juga telah membangun kebun-kebun untuk hewan-hewan darat. Harun al-Rasyid pernah menghadiahkan gajah dan kera yang diambil dari kebun binatang di Baghdad pada saat itu kepada Raja Charleman, Raja Prancis.
Yaqut al-Hamawiy berkata, “Adalah Kaisar Ja’fari menyukai tempat-tempat Khalifah al Ma’mun karena di sana terdapat kebun binatang untuk binatang-binatang liar.”
Khalifah Al-Mutawakkil membangun kebun yang luas di Kota Samura sebagai tempat perlindungan bagi hewan-hewan seperti singa, kijang, burung, dan lain-lain.
Seluruh aturan ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna jika sistem khilafah belum ditegakkan. Oleh karena itu, penegakkan sistem khilafah adalah hal yang urgen untuk menyelamatkan kepunahan keanekargaman hayati.
Penulis: Vinci Pamungkas
0 Komentar