Menyoal Polemik Penghapusan Tenaga Honorer

 




Polemik penghapusan tenaga honorer terus berlangsung hingga kini. Kebijakan pemerintah dengan penghapusan tenaga honorer seakan menjadi solusi. Namun hal itu justru menimbulkan permasalahan baru, yaitu semakin meningkatnya jumlah pengangguran di negeri ini. Tenaga honorer sebagai pihak yang sangat dirugikan harus memperjuangkan haknya demi kelanjutan ekonomi keluarga mereka.

Dilansir Republika.co.id Bogor, 15/06/2022, Ketua Asosiasi Pemimpin Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto, berharap penghapusan tenaga honorer bagi instansi pemerintah hingga Oktober 2023 dilonggarkan. Sebab, jika seluruh tenaga honorer di instansi dihapus, akan banyak dampak yang terjadi.

Bima Arya mengaku, sudah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri dan mengusulkan untuk melakukan tahapan rekonsiliasi data berapa kebutuhan tenaga teknis dan dipetakan yang bisa diangkat menjadi ASN, PPPK dan alih daya serta dari mana anggarannya, dianggarkan oleh pusat atau dari anggaran APBD.

Pemerintah resmi menghapus status tenaga kerja honorer mulai 28 November 2023 dengan terbitnya Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  (Menpan RB) perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah yang ditandatangani pada 31 Mei 2022. Presiden Jokowi mengambil keputusan penghapusan tenaga honorer ini dan memberi kesempatan untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau beralih ke outsourching.

Menurut Menpan RB Tjahjo Kumolo, keputusan penghapusan ini memiliki tujuan yang mulia yaitu agar tenaga honorer bisa menjadi PNS dan memiliki standar penghasilan dan kompensasi sendiri. Sedangkan status honorer tidak jelas standar pengupahan yang mereka peroleh. (CNBC Indonesia,16/02/2022)

Selintas kebijakan pemerintah menghapus tenaga honorer dengan mengikuti seleksi menjadi PNS sebagai solusi untuk memberikan kesejahteraan kepada tenaga honorer dengan mendapatkan upah yang jelas. Padahal, seleksi untuk mengikuti tes PNS tidaklah mudah dan harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan tenaga honorer yang ingin menjadi PNS. Selain itu, tidak semua yang mengikuti tes tersebut bisa lolos seleksi. Sehingga kemungkinan besar yang tidak lulus seleksi akan menambah daftar panjang pengangguran di tengah masyarakat.

Penghapusan tenaga honorer bukan hanya berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, melainkan juga menimbulkan kelumpuhan sejumlah pelayanan publik secara massal di berbagai kota di Indonesia. Munculnya tenaga honorer diakibatkan pola perekrutan antara kebutuhan daerah dengan pemerintah pusat tidak sinkron. Alih-alih mensinkronkan pusat dan daerah dengan pola perekrutan yang sama, pusat malah mengeluarkan kebijakan untuk mengangkat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Status PPPK ini berbeda dengan ASN (Aparatur Sipil Negara). PPPK adalah pegawai kontrak dengan masa kerja dalam jangka waktu tertentu tanpa ada jaminan pensiun. Di Indonesia ASN dibedakan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK. Walaupun keduanya sama-sama bekerja untuk mengabdi di instansi pemerintahan, keduanya memiliki sejumlah perbedaan dan perlakuan. Dari gaji dan tunjangan, proses rekrutmen, pemberhentian hubungan kerja, kedudukan hukum, usia pensiun dan status hubungan kerja.

Perbedaan perlakuan antara PNS dan PPPK, inilah yang kemudian memunculkan berbagai polemik dan persoalan. Pasalnya, secara kewajiban keduanya memiliki tugas yang sama untuk mengabdi kepada negara namun mengapa PNS dijadikan anak emas, sedangkan PPPK dijadikan anak tiri. Berbagai dalih telah banyak diungkapkan oleh pemerintah terkait adanya perbedaan perlakuan keduanya, salah satunya standar kelayakan dari segi akademik.

Selain itu, kebijakan penghapusan tenaga honorer ini dikarenakan negara tidak sanggup untuk membayar gaji mereka dan menjadi beban bagi negara. Dan apabila dibebankan kepada daerah, tidak semua pemerintah daerah mampu untuk menanggung anggaran gaji tenaga honorer tersebut. Padahal keberadaan pegawai honorer ini sangat urgen dalam pelayanan publik dan menduduki berbagai posisi strategis seperti guru, tenaga kesehatan dan pemadam kebakaran. 

Seharusnya dalam hal ini pemerintah pusat menyediakan anggaran untuk menggaji tenaga honorer. Karena keberadaan mereka sangat dibutuhkan dalam membantu pelayanan publik. Pemerintah pusat berdalih tidak memiliki dana untuk menggaji tenaga honorer, namun faktanya para menteri dan jajarannya mendapatkan gaji dan tunjangan yang sangat fantastis. 

Persoalan tenaga honorer tentu akan mudah terselesaikan, apabila pemerintah pusat mampu mengelola anggaran negara dengan sebaik mungkin. Para pegawai negara mendapat gaji sesuai dengan kapabilitas mereka dalam akad kerja. Sehingga tidak perlu ada perbedaan perlakuan antara PNS dan PPPK ataupun tenaga honorer, karena posisi mereka adalah sama-sama pegawai pemerintah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Namun, hal ini tentu berbeda dalam sebuah sistem pemerintahan yang merujuk pada sistem kapitalis sekuler. Sistem ini menjadikan solusi tambal sulam untuk menuntaskan persoalan yang terjadi, yang justru sering kali menyisakan berbagai persoalan baru. Inilah bukti kegagalan total sistem buatan manusia, apapun solusi yang merujuk dari sistem tersebut takkan mampu menuntaskan permasalahan yang ada. Alih-alih memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, justru keberadaan sistem yang menafikan peran agama dalam kehidupan ini, menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat.

Sehingga harus ada upaya untuk beralih dari sistem rusak nan batil kepada sistem yang mampu memberikan solusi komprehensif terhadap urusan umat manusia, yaitu sistem Islam (khilafah). Sistem yang berasal dari sang pemilik manusia, bumi dan seisinya, telah terbukti mampu menyejahterakan umat manusia selama ratusan tahun lamanya.

Terkait pegawai yang bekerja di instansi pemerintah, Islam memiliki mekanisme yang komprehensif mulai dari pola perekrutan, kontrak kerja dan upah (gaji). Dalam buku Sistem Ekonomi Islam karangan Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, dijelaskan bahwa Islam membolehkan untuk mengontrak tenaga/jasa pekerja, baik dilakukan oleh individu maupun negara. 

Harus ada akad kerja diawal untuk menentukan jenis pekerjaannya, waktu kerja dan upah/gaji yang akan diperolehnya. Dalam hal ini sang pemberi kerja (musta’jir) akan mendapatkan manfaat/jasa dari pekerja (ajir), sedangkan ajir akan mendapatkan upah dari majikannya sebagai kompensasi atas manfaat/jasa yang telah diberikannya kepada majikannya.

Jenis pekerjaan harus dijelaskan sehingga tidak memunculkan kekaburan, karena jika demikian maka akad ijarah tersebut hukumnya fasad/rusak. Dan waktu kerja pun harus ditentukan apakah harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Begitupun dengan upah kerja harus ditetapkan dan berdasarkan kesepakatan dan keridaan kedua belah pihak antara musta’jir dan ajir. Nabi saw bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya ia memberitahukan kepadanya upahnya” (HR Ad-Daruquthni).

Hadis tersebut sudah sangat jelas menunjukkan bahwa seorang pekerja mendapatkan gaji sesuai akad kerja. Besarnya nilai gaji yang diperoleh dilihat dari kemampuan/keahlian yang dimiliki oleh seorang pekerja (ajir). Akan halnya menjadi pegawai pemerintah/negara khilafah semua tunduk pada aturan hukum kontrak kerja. Khilafah boleh memperkerjakan pekerja baik muslim maupun kafir dan dengan perlakuan yang sama sesuai dengan syariat. 

Terkait pola perekrutan, dalam sistem khilafah tidak dikenal tenaga honorer, karena pegawai negara direkrut utuk membantu menjalankan semua pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan publik maupun yang bersifat administratif sesuai kebutuhan negara. Serta mendapatkan gaji sesuai dengan kompensasi manfaat/jasa yang diberikan pegawai tersebut. Dengan kata lain, setiap pegawai negara mendapatkan gaji yang layak sesuai dengan jenis pekerjaan yang ia lakukan.

Untuk menggaji para pegawai negara, khalifah mengambil dari kas baitulmal yang menyediakan pos khusus untuk gaji pegawai. Apabila kas baitulmal kosong atau tidak mencukupi maka negara akan berhutang kepada rakyat yang memiliki harta berlebih atau dengan menarik pajak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saja, dan hal ini bersifat insidental/sementara.

Jaminan dan tunjangan menjadi fasilitas istimewa bagi PNS dalam sistem kapitalis. Sedangkan dalam Islam jaminan terhadap semua kebutuhan rakyat menjadi tugas negara. Sehingga rakyat bisa merasakan hidup sejahtera dan makmur karena negara menjalankan tupoksinya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap setiap urusan rakyatnya.

Khilafah bukan hanya membuka lapangan pekerjaan sebagai pegawai negara, namun juga memfasilitasi setiap individu rakyat untuk bisa memperoleh harta dengan cara memberikan sebidang lahan untuk diolah atau memberikan ternak agar setiap kepala keluarga mampu menafkahi keluarganya dengan layak.

Inilah urgensi keberadaan khilafah di tengah-tengah umat. Khalifah menganggap rakyat adalah pihak yang harus dilayani dengan sepenuh hati, karena penguasa kaum muslim sangat memahami begitu berat pertanggungjawabannya apabila ia abai terhadap rakyatnya. Pemimpin bervisi akhirat inilah yang dirindukan kehadirannya oleh umat.

Sudah sangat jelas bahwa sistem kapitalis hanya akan menebar berbagai macam kerusakan dan kesengsaraan bagi umat. Segera bangkit dan mengambil bagian dalam perjuangan penegakan khilafah Islamiyyah, yang dengan izin-Nya akan segera hadir menyinari dunia dengan cahaya Islam kafah. Wallahua’alam.


Oleh : Siti Rima Sarinah




Posting Komentar

0 Komentar