#Wacana- Menyusul konsolidasi yang melahirkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) kini partai-partai politik mulai mengumumkan nama-nama calon presiden yang diusung. Nama-nama seperti Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, Cak Imin, Prabowo Subianto dan AHY adalah yang paling sering disebut-sebut. Sementara itu muncul pula nama Anies Baswedan dan Andika Perkasa di bursa calon presiden (capres) tahun 2024. Di sisi lain, Joko Widodo bukan tidak berkeinginan untuk menjabat kembali menjadi presiden dengan mengopinikan wacana presiden tiga periode.
Partai yang telah mengantongi presidential threshold (PT) 20 persen seperti PDIP tentu bisa berkacak pinggang karena dengan mulus bisa mengusung capres dan cawapres. Namun, bagaimana dengan partai-partai yang tidak mencapai PT 20 persen di Pemilu 2019? Tentu partai-partai tersebut tidak bisa mengajukan calon capres dan cawapres dari partainya. Karenanya PSI, PKP, PBB, Partai Hanura, Perindo dan Partai Garuda kemudian berupaya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar prosentase PT 20 persen diturunkan atau dihapus sama sekali, kompas.com (19/12/2021).
Misi Partai-Partai Politik di Sistem Demokrasi
Dinilai merugikan partai-partai, ketentuan PT 20 persen ini banyak menuai kritik saat bursa capres dan cawapres mulai digelar saat ini. Contohnya adalah pernyataan Fakhri Hamzah, Waketum DPN Partai Gelora yang menganggap ketentuan PT 20 persen dapat mempersempit kesempatan memunculkan capres dan cawapres alternatif. Namun, ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 24 Februari 2022 menyatakan bahwa permohonan gugatan ketentuan PT 20 persen untuk pencalonan presiden tidak dapat diterima.
MK berpendapat bahwa pasal 222 UU 7/2017 yang digugat sesungguhnya sama sekali tidak membatasi jumlah capres dan cawapres yang berhak mengikuti pemilu. Jadi gugatan yang diajukan dinilai tidak beralasan menurut hukum. Inilah yang melatarbelakangi munculnya upaya dari partai-partai yang PT-nya tidak memenuhi ambang batas minimal 20 persen untuk berkoalisi. Contohnya KIB yang merupakan koalisi antara partai Golkar, PAN dan PPP. Upaya ini tentulah tidak terlepas dari tujuan partai-partai politik, yaitu mendudukkan kader-kader partainya, ataupun sosok lain yang dianggap kompeten untuk menjadi presiden dan wakil presiden berikutnya.
Bagaimana dengan posisi rakyat terhadap elektabilitas capres dan cawapres di sistem Demokrasi ini? Tentu rakyat sangat penting bagi mendulang suara di setiap pemilu. Karenanya Partai Nasdem memilih Anies Baswedan untuk diusung menjadi capres 2024. Ini semata karena Anies pada faktanya disukai gaya kepemimpinanya oleh rakyat. Adapun capres-capres yang lain berusaha dipoles sedemikian rupa oleh partai dan koalisi partai agar tampak cemerlang di mata rakyat.
Tujuannya? Tentu memperoleh kursi! Baik kursi di tampuk kekuasaan tertinggi ataupun di tingkat menteri. Ada semacam pembagian jatah jabatan yang menjadi utang presiden terpilih pada partainya atau koalisi partainya. Ini rahasia umum. Tidak tampak, tetapi telah lama dapat dibaca oleh rakyat. Inilah fungsi partai-partai di sistem Demokrasi. Tidak peduli apakah partai sekuler ataupun partai berbasis massa Islam, sama saja. Apalagi saat ini hampir semua partai Islam di negeri ini telah berubah warnanya menjadi partai sekuler.
Visi, Misi dan Fungsi Partai-Partai Politik dalam Sistem Islam
Islam memandang bahwa partai politik memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi partai politik di sistem Demokrasi. Dalam Demokrasi partai politik adalah kendaraan bagi capres, cawapres dan jajaran pejabatnya untuk bisa berjalan menuju tampuk kekuasaan. Sementara menurut Islam, partai politik tidak berfungsi untuk meraih kursi jabatan apapun. Bahkan sepanjang lintasan sejarah, tidak pernah terjadi bahwa partai politik dijadikan tunggangan untuk elektabilitas seorang Khalifah dalam pemilu.
Menurut Islam, partai politik harus berfungsi sebagai pengoreksi dan pemberi nasihat bagi pemimpin (Khalifah) dan pejabat-pejabatnya. Koreksinya adalah terhadap kebijakan penerapan syariat Islam di dalam negara dan di luar negeri. Jika Khalifah membuat kebijakan ataupun melakukan tindak menyimpang terhadap syariat Islam, maka partai politik adalah salah satu elemen dari rakyat yang wajib mengoreksinya. Kemudian partai politik wajib mengajukan muhasabah (kritik) kepada Khalifah atau pejabat-pejabat negara supaya mereka kembali berpegang pada kebenaran menurut syariat Islam. Karena fungsinya itulah partai politik di dalam Daulah Islam harus didirikan dengan berasaskan akidah Islam.
Sedangkan soal pencalonan Khalifah, partai politik tidak ikut berperan. Karenanya, partai politik di dalam Daulah Islam tidak berposisi sebagai pendukung maupun oposisi Khalifah. Partai politik tetap harus berpegang pada syariat Islam ketika diterapkan dalam kebijakan negara. Jika Khalifah atau pejabatnya menyimpang, maka partai politik wajib mengoreksinya. Sebaliknya, jika Khalifah dan pejabatnya baik dalam penerapan Islam di dalam negara, maka partai politik wajib mendukungnya.
Menurut Islam, Khalifah wajib ditaati selama ia menegakkan hukum-hukum Islam. Hal ini karena rakyat telah berbaiat untuk taat kepada Khalifah sepanjang ia menerapkan syariat Islam di dalam kebijakan negara. Dalam satu hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shamit ra, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami untuk berbai’at, lalu kami berbai’at kepadanya. Bai’at tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu taat kepada pemimpin dalam keadaan senang atau benci, sulit atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah’.” (HR Muslim no. 1709).
Sedangkan jika Khalifah melakukan kesalahan, maka ia wajib dinasihati sebagaimana Muslim yang lain. Ini karena seorang Khalifah juga manusia yang bisa saja melakukan kesalahan sebagaimana manusia yang lain. Dari Tamim ad-Dariy ra, Rasulullah SAW bersabda, “Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”. Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin dan umat Muslim seluruhnya,” (HR. Muslim).
Jadi baik Khalifah menegakkan kebenaran ataupun melakukan kesalahan, partai politik harus melakukan aktifitas yang didasari kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar saja. Sedangkan semuanya tujuannya hanyalah untuk kebaikan dan keberkahan bagi negara dan penduduknya. Konsep pecah belah yaitu kawan atau lawan (pendukung atau opisisi) hanya dikenal dalam sistem Demokrasi, tidak di dalam sistem kenegaraan menurut Islam. Konsep bahwa partai politik adalah kendaraan supaya pemimpin berhasil naik ke tampuk kepemimpinan juga tidak ada dalam sistem Islam. Fungsi hakiki partai politik menurut Islam adalah untuk memberi muhasabah kepada Khalifah dan pejabatnya dalam rangka menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. []
Oleh Dewi Purnasari
0 Komentar