Peranan wanita dalam Literasi dan Keamanan Digital



Peran ibu dan wanita secara umum kini mulai diperhitungkan dalam berbagai forum dan berbagai kalangan organisasi/lembaga sebagai madrasah pertama dan utama, pendidik pertama dan utama, khususnya dalam literasi dan keamanan digital. Hal ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri. (Gatra.com, 23/5/2022).

Dewasa ini mulai marak istilah literasi digital dan keamanan digital. Dua hal ini menjadi solusi atas dua permasalahan besar yang menimpa umat manusia. Pertama, penggunaan media digital itu sendiri sebagai sumber informasi yang memiliki banyak manfaat, namun di sisi lain boleh jadi mengandung banyak informasi tidak valid, pornografi, pornoaksi, banyaknya konten sampah, dan lain sebagainya. Kedua, maraknya hacker atau pembajakan situs-situs penting negara dan masyarakat.

Sebagai contoh, Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Pratama Persadha menerangkan bahwa ada ratusan situs pemerintah telah disusupi oleh judi online. (kompas.tv, 26/10/2022). Hal ini beliau sampaikan saat sedang viral-viralnya pembajakan situs resmi Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) sehingga tidak dapat diakses masyarakat umum. Pada 2017, Indonesia sendiri tak tanggung-tanggung, setiap harinya mendapat 1,225 miliar serangan siber. (kominfo.go.id, 12/12/2017)

Dunia digital memang dunia baru. Sebagai hasil dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, banyak kemudahan yang didapat manusia melalui media digital. Namun, banyaknya informasi yang bisa diakses serta konten negatif menjadi salah satu tantangan bagi pengguna media digital agar tidak disalahgunakan.

Kompas.com mengutip buku “Peran Literasi Digital di Masa Pandemi karya Devri Suherdi, bahwa yang dimaksud literasi digital berupa pengetahuan dan kecakapan pengguna dalam menggunakan media digital. Kecakapan tersebut meliputi kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat, serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat, serta tepat sesuai kegunaannya. Sementara yang disebut dengan keamanan digital adalah sebuah perlindungan pribadi dari digital (online), termasuk aset digital dan identitas digital.

Seperti dijelaskan dalam Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia (Semantik), Nani & Nola menjelaskan bahwa literasi digital dibutuhkan masyarakat terutama anak dan remaja untuk menyaring informasi yang disajikan di media sosial. Ketidakmampuan anak dan remaja dalam literasi digital akan berdampak kepada psikologi dan berpengaruh terhadap sikap dan kepribadian mereka.  Beberapa dampak buruk itu di antaranya sikap cenderung menghina, iri terhadap orang lain, depresi, terbawa arus suasana hati terhadap komentar negatif, serta terbiasa berbicara dengan bahasa yang kurang sopan.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang timbul dalam buruknya literasi digital sebenarnya bukan berasal dari pesatnya perkembangan teknologi itu sendiri. Sebab, sudah lumrah diketahui gap digital hanya terjadi pada usia baby boomers atau setingkat di atasnya. Sementara generasi milenials ke bawah, mereka adalah generasi penikmat sejati ponsel pintar dan sejenisnya. Permasalah muncul di luar teknologi. Lebih tepatnya kepada sikap manusianya sendiri.

Ibu sebagai madrasah pertama dan utama memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk generasi yang berliterasi digital secara baik. Dalam Islam, hal ini sangat diperhatikan. Islam begitu memperhatikan kepribadian khas seorang anak yang harus diwarnai dengan Islam. Tak lepas dari peran penting dan pendampingan penuh sang ayah, ibu diperintahkan mendidik anaknya agar mengenalkan siapa Tuhannya yang telah memberi segala kenikmatan hidup, dikenalkan siapa Nabinya yang telah memberikan petunjuk menuju jalan keselamatan, serta diajarkan membaca Alqur’an sebagai pedoman selama perjalanan. Rasulullah saw bersabda:

"Tanamkan kepada anak-anakmu tentang 3 hal, yaitu: mencintai Nabimu, mencintai keluarga Nabi, dan mencintai untuk membaca Al-Qur'an." (HR. Dailami, dari Ali ra.)
Selain itu, ibu juga diarahkan oleh Allah Swt untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkanNya, dan menjauhi apa yang dilarangNya. Rasulullah saw bersabda:

“Suruhlah anak-anakmu melaksanakan berbagai perintah dan menjauhi berbagai larangan, karena itu memelihara mereka dari neraka.” (HR Ibn Jarir)

Benteng iman saja yang mampu menjadikan manusia berliterasi digital dengan benar. Mengakses konten-konten pornografi, pornoaksi, menyebarkan berita-berita hoax atau tidak valid, serta menipu atau meretas situs lain, semuanya tidak akan dilakukan, kecuali datang dengan alasan yang dibenarkan oleh Tuhannya. Maka, di sinilah besarnya peran orang tua, terutama ibu yang senantiasa membersamai anak sejak dalam kandungan untuk meletakkan dasar-dasar iman kokoh yang berbuah ketaatan untuk terjun ke dunia digital. 

Lain halnya dengan perjuangan para pegiat gender. Bagi para pegiat gender seperti Indonesia Woman in Cyber Security (IWCS), wanita dianggap tidak berdaya, terkucilkan, dan terbelakang, sehingga harus bersaing dengan para pria. Sumber daya manusia (SDM) kaum pria dianggap mendominasi bidang digital dibanding wanita. Sehingga, dianggap sebagai suatu keadilan dan upaya tepat ketika kaum hawa dan anak perempuan dilibatkan dalam pekerjaan keamanan siber.

Terlebih, data cyber security ventures menunjukkan bahwa 3,5 juta lapangan pekerjaan diprediksi akan berdatangan pada beberapa tahun ke depan. Ini merupakan suatu kesempatan bagi IWCS untuk memberdayakan perempuan agar bisa meningkatkan literasi digital untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia. (nasional.sindonews.com, 23/4/2021). Lantas dengan batasan dan nilai-nilai apa seseorang dikatakan berliterasi dengan baik?

Sesungguhnya ada yang mampu berperan lebih efektif dalam menjaga keamanan digital, dan meningkatkan kualitas literasi digital sebuah negara, selain berfokus pada kemampuan individual. Ya, negara itu sendiri yang mampu mengondisikannya. Negara memiliki finansial, SDM, segala potensi dan kekuatan pendukung. Hanya saja, butuh political will yang kuat dan nilai-nilai yang tertanam kokoh dalam diri negara dan masyarakatnya. Negara seperti itu hanya ada dalam negara Islam.

Di negara Islam, setiap warganya diberikan motivasi untuk belajar sepanjang hayat. Sebab Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan demikian. Bukan karena uang, jabatan, atau pujian. Tak hanya itu, Rasulullah juga memberikan contoh dengan menggratiskan biaya untuk para penuntut ilmu. Karena itu, jiwa pembelajar telah melekat pada diri masyarakat muslim. Berbagai macam teknologi akan mudah diserap, dikembangkan, dan dimanfaatkan. Hal ini telah terbukti selama masa-masa khilafah Islam masih ada dengan munculnya berbagai teknologi canggih dan penemuan-penemuan.

Tak cukup itu, Islam memberikan bekal yang cukup untuk manusia menjalani hidupnya. Sebab, Islam dan hanya Islam yang wajib diberlakukan untuk seluruh alam, hingga manusia akhir zaman. Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam masih hidup, niscaya tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku.” (HR. Ahmad)

Sistem keamanan daulah juga akan diperketat secara digital sebagaimana dalam keadaan fisik di lapangan. Konten-konten yang berbau pelanggaran syara’ akan ditindak dengan tegas, serta pelakunya akan dijatuhi hukum yang adil.

Demikianlah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai negara dapat mencegah manusia dari rendahnya berliterasi digital.  Sebaliknya, dalam negara Islam, literasi digital akan semakit tinggi dan keamanannya akan sekain terjamin. Wallahu a’lam.


Penulis: Annisa Al Munawwarah

Posting Komentar

0 Komentar