Perempuan Mendorong PDB : Perempuan Bukan Komoditi Ekonomi


Dilansir dari Kompas.com, Chair of B20 Women in Business Action Council (WiBAC), Ira Noviarti mengatakan bahwa dunia perlu membuat kebijakan untuk lebih banyak melibatkan perempuan dalam sektor ekonomi (13/6/2022).

Pernyataan tersebut didasari bahwa perempuan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 28 trilyun dollar AS. Namun pada kenyataannya masih banyak perempuan yang dirumah maupun dirumahkan saat pandemi melanda.

Selain itu menurut Ira, di lapangan terdapat kesenjangan yang dirasakan oleh para pekerja perempuan. Misalnya keberadaan perempuan di posisi manajerial masih kurang dibanding dengan laki-laki. Kesenjangan besaran penghasilan ataupun minimnya peraturan terkait kekerasan terhadap perempuan.Sehingga menurutnya butuh aksi nyata dari pemangku kepentingan dalam waktu cepat agar peluang tersebut tidak terlewatkan.

Perlu diketahui bahwa B20 merupakan kelompok yang mewakili komunitas bisnis di negara G20. Delegasi yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang menempati posisi eksekutif atau mempunyai jabatan tinggi di perusahaan multinasional dari negara-negara G20. Ira Noviarti sendiri juga merupakan Presiden Direktur PT Unilever Indonesia, Tbk.

Gelombang opini agar perempuan ikut menopang perekonomian, sudah sejak lama disuarakan. Apalagi sejak deklarasi Beijing ditandatangani oleh 189 negara, para feminis terus berusaha merealisasikan hak-hak perempuan. 

Dalam deklarasi yang diinisiasi oleh PBB tersebut, terdapat enam tujuan strategis yang disepakati bersama. Diantaranya adalah mempromosikan kemandirian dan hak ekonomi perempuan, termasuk kesetaran akses pada pekerjaan, kelayakan lingkungan kerja, serta mempromosikan harmonisasi tanggung jawab antara pekerjaan dan keluarga bagi perempuan dan laki-laki.

Namun 27 tahun setelah penandatanganan deklarasi tersebut, kenyataannya nasib perempuan tidak banyak berbeda. Bahkan saat pandemi melanda justru banyak beban yang ditimpakan pada perempuan termasuk beban keluarga.

Nasib Perempuan Pekerja

Nasib perempuan pekerja di Indonesia pun tak banyak mengalami peningkatan kesejahteraan, salah satunya seperti pekerja migran. Pada Januari 2022 lalu, M Saravanan, Menteri Ketenagakerjaan Malaysia,  menyatakan bahwa negaranya akan menerima sekitar 5000 hingga 10.000 tenaga kerja Indonesia di bulan yang sama.

Menurutnya, para tenaga kerja tersebut akan menerima gaji sekitar 4,1 juta-5,1 juta rupiah dan akan ditempatkan pada sektor konstruksi, manufaktur juga pekerja domestik. Saravanan pun mengakui bahwa memang terdapat para pemberi kerja yang tidak memenuhi kesejehteraan pekerjanya. Tentunya hal ini mengkibatkan para pahlawan devisa mendapatakan kesejahteraan yang tak pasti.  

Devisa yang diberikan oleh TKI ini dalam bentuk remitansi yang secara tidak langsung menguntungkan negara. Menurut data Bank Indonesia, selama tahun 2021, remitansi TKI pada kuartal I sebesar 2.260 juta dolar AS. Kuartal II sebesar 2.277 juta dolar AS dan kuartal III sebesar 2.303 juta dolar AS. Sehingga pada tahun 2021 saja jumlah remitansi TKI diterima negara sebesar 4.537 juta dolar AS atau setara dengan 65 miliar rupiah (Kompas.com 29/1/2022).

Dengan jumlah pemasukan dana yang sangat fatastis sedang dilain pihak negara juga sedang membutuhkan dana, maka tentunya dengan senang hati para ekerja migran terus akan dioptimalkan.

Contoh lain adalah bahwa para pelaku UMKM yang didominasi oleh perempuan, dengan persentase sekitar 64,5%. Sampai saat ini pun pada faktanya bahwa UMKM di Indonesia masih mendominasi struktur perekonomian nasional, yaitu sekitar 99,9 persen sedangkan usaha besar hanya 0,01 persen.

Oleh karenanya di Indonesia terdapat sekitar 64 juta UMKM yang berkontribusi melebihi 61 persen terhadap PDB Nasional. Juga menyerap 97 persen tenaga kerja dan berkontribusi terhadap ekspor sebesar 14 persen.

Dilain pihak bahwa kenyataan angka Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Indonesia juga tinggi. Salah satunya karena tingkat kematian laki-laki saat pandemi tinggi, sehingga otomatis sang istri menggantikannya sebagai kepala keluarga.

Menurut data survei Sosial Ekonomi Nasional BPS pada 2020 lalu mencatat bahwa terdapat 11,44 juta perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, 95 persennya bekerja pada sektor informal yang salah satunya adalah UMKM.

Dari semua fakta perempuan pekerja di atas terdapat kenyataan lain, bahwa tingkat kemiskinan yang menimpa perempuan masih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan catatan Global Gender Gap Report menyatakan bahwa posisi Indonesia di angka 83 dari 153 negara.

Walaupun secara kasat mata di kota-kota besar banyak perempuan pekerja yang menempati gedung-gedung megah. Seperti yang belum lama ini viral di Twitter dan Tiktok mengenai ‘mbak-mbak SCBD' (Sudirman Central Business District), ternyata hanya kehaluan semata. Barang yang mereka kenakan yang bila ditaksir sebesar jutaan rupiah, namun penghasilan mereka jauh lebih kecil dari outfit yang mereka kenakan.

Kapitalis Menyengsarakan Perempuan

Sehingga sangat terlihat bahwa suara agar perempuan aktif di dunia kerja (sector ekonomi) adalah untuk mempertahankan sistem ekonomi kapitalis yang telah bangkrut. Kapitalisme sudah diambang kehancuran, oleh karenanya mereka mencari seribu macam cara untuk terus mempertahankannya.

Pandangan ini sangat kontras dengan Islam yang melihat bahwa perempuan bukanlah sebagai komoditi ekonomi. Perempuan merupakan manusia yang harus dilindungi dan selalu difasilitasi bahkan dari sisi finansial dari keluarga maupun negara.

Walaupun dalam Islam perempuan bekerja merupakan suatu kebolehan, namun harus dipastikan bahwa tanggung jawab mereka dalam menjadi ibu dan pengurus rumah tangga tidak terganggu. Karena di tangan merekalah ujung tombak peradaban, sebagai pendidik generasi sholih.

Hal itu pernah terjadi saat berdirinya institusi negara Islam. Saat itu seluruh masyarakat bukan hanya perempuan, mereka terjaga kehormatan, darah, harta dan jiwanya. Sistem ekonomi ataupun sistem sosial yang diberlakukan justru mensejahterakan karena berasarkan wahyu. Terbukti bahwa ratusan tahun saat diterapkannya Islam dalam negara, perempuan tidak perah diperbudak.

Sehingga sudah saatnya sistem kapitalis yang merusak dalam segala sisi ini diganti dengan sistem baru yang mensejahterakan yang tidak menggunakan akal manusia dalam menetapkan hukum. Wallahu’alam.


Penulis: Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar