Kian hari gaya hidup masyarakat makin konsumtif. Oleh karena itu segala sesuatu dituntut untuk serba praktis. Pengaruh peradaban Barat telah menyasar pada masyarakat hingga pada konsep food, fun and fashion-nya. Apalagi ditambah dengan kemajuan teknologi yang sejalan dengan paradigma kapitalisme. Pemilik modal berlomba-lomba menjadikan teknologi sebagai wasilah mengeruk pundi-pundi kekayaan. Berbagai macam produk disulap semenarik mungkin untuk membangkitkan animo masyarakat. Segala sesuatu disuguhkan dalam genggaman masyarakat dan berbagai kemudahakan ditawarkan.
Sifat ketergantungan yang menuntut segala sesuatu serba praktis ini akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah, salah satu di antaranya adalah sampah. Terutama di kota-kota besar semisal Kota Bekasi, sampah saat ini telah menjadi musuh bersama. Meski telah memiliki TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Sumur Batu, Bantar Gebang, ternyata masih ditemukan TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa wilayah. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan baru ketika dibiarkan saja tanpa solusi. Kesehatan masyarakat menjadi taruhannya.
Menanggapi kondisi ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, Yayan Yuliana mengakui bahwa mengatasi sampah di wilayahnya memang tak mudah. Ia menjelaskan bahwa ada sekitar 30 persen dari jumlah sampah yang diangkat ke TPA Sumur Batu, Bantar Gebang yakni sebanyak 1.800 ton per hari. Hampir kurang lebih 540 ton yang tak mampu diangkut sebab kondisi TPA yang overload. Beberapa armada pengangkut sampah yang dimiliki wilayahnya juga pada kondisi tak layak pakai. Gerobagnya banyak yang sudah mengalami keropos.
Untuk itulah, Ia meminta agar masyarakat juga bisa mengelola sampahnya secara mandiri. "Makanya kita dorong kepada masyarakat untuk pengurangan sampah seperti memilah sampah, kemudian memisahkan barang-barang bernilai ekonomis, kita berharap yang 30 persen itu bisa dikurangin ya di hulu gitu bukan di hilir di TPA, pengurangan hulu ini yang kita dorong ke masyarakat," ujarnya. Begitu pun kepada pihak komplek perkantoran, mall, komplek bisnis, mereka pun didorong supaya mampu menerapkan pengelolaan sampah secara mandiri, sehingga tidak dibuang ke TPA. (Dakta.com, 25/05/2022)
Namun sayangnya, kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan pada TPS (Tempat Pembuangan Sementara) ini agaknya sulit diatasi. Belum lama ini, viral di sosial media video seorang bapak kedapatan membuang sekarung sampah di sebuah lahan di Bekasi, Jawa Barat. Pria paruh baya itu kemudian ditegur oleh warga yang melintas. Tak terima mendapat teguran, pria tersebut lantas terlibat adu mulut dengan si penegur.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Bekasi Yayan Yuliana pun tak tinggal diam mengetahui adanya video viral tersebut. Pihaknya menyatakan akan mencari tahu identitas pria pembuang sampah. Dia berharap akan ada edukasi yang dilakukan dari petugas kebersihan Pemkot Bekasi tentang perilaku si bapak pembuang sampah. Yayan juga memberikan apresiasi kepada pihak penegur. Ia justru berterimakasih atas viralnya kasus ini, semoga menumbuhkan kesadaran di masyarakat untuk bisa menjaga lingkungan dengan lebih baik lagi terutama untuk membuang sampah pada tempatnya. (Detiknews.com, 22/05/2022)
Berbagai macam solusi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan sampah tak kan pernah berbuah hasil jika semuanya masih benapaskan pada ideologi sekuler kapitalisme. Seprti yang terjadi di Bekasi tersebut, Pemkot sampai nyerah mengatasi sampah. Sebab sesungguhnya persoalan sampah ini adalah problematika sistemik yang lahir dari cara pandang hidup yang salah. Ideologi yang diterapkan di negeri ini menjadikan para penguasa tak memahami kewajiban utama mereka sebagai periayah. Bagaimana mungkin persoalan sampah diserahkan kepada individu masyarakat atau bahkan swasta?
Lagi-lagi hal ini justru akan menjadi peluang bagi pemilik modal untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai lahan untuk memperluas privatisasi kepengurusan kemaslahatan umat. Dari sini akan muncul berbagai macam perusahaan pengelolaan sampah dan juga berbagai macam produk pendamping. Alih-alih sampah teratasi, justru biaya hidup masyarakat makin sulit dengan berbagai macam tambahan biaya untuk mengatasi sampah yang mereka hasilkan. Kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya dirugikan? Siapa pula yang harusnya mempertanggungjawabkan?
Persoalan sampah tak akan pernah selesai jika penyelesaiannya bersifat parsial. Menambah lahan tempat pembuangan, memperbaiki teknologi pengelolaan, atau menyerahkannya pada individu masyarakat tak kan pernah membuahkan hasil jika hulu dari persoalan ini tak diperhatikan. Persoalan sampah timbul ketika sistem kehidupan yang diterapkan hari ini tak lain adalah sistem sekularisme. Sistem yang lebih dikenal dengan sistem kapitalismenya inilah biang segala persoalan hidup umat manusia modern. Bagaimana tidak? Sifat konsumtif ini hanya muncul dari gaya hidup negara Barat yang memuja kenikmatan materi.
Pergeseran gaya makanan sehat dengan bungkus daun serba hemat kemudian beralih pada fast food dengan balutan plastik cantik berwarna warni yang kini menumpuk menjadi sampah tanpa solusi. Sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi mangsa pasar dari berbagai macam produk global buatan negara para kapitalis. Produk pemikiran mereka pun telah diadopsi oleh masyarakat dunia bahkan umat muslim yang ada di Indonesia khususnya Bekasi. Sifat rakus dan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan akhirnya menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah terselesaikan.
Untuk itu, harus ada perubahan sistemik, sinergi antara sistem tata kelola kota dengan sistem perekonomian, pemerintahan dan lain sebagainya agar sampah segera bisa di atasi. Sinergisitas ini tidak akan kita temukan ketika kita masih mengamini sistem sekuler. Hanya sistem Islam yang akan mampu membangun kota-kota dengan landasan yang shahih, yakni ketakwaan pada Allah. Kota-kota Islam tak dibangun hanya untuk menunjukkan kemegahannya atau sekedar demi memutar roda perekonomian. Penguasa memahami bagaimana konsep membangun kota yang layak untuk dihuni masyarakat. Pengelolaan sampah tak akan diserahkan pada individu apalagi swasta, sebab itu adalah persoalan umat yang tanggungjawabnya ada pada pundak penguasa. Untuk itulah akan diupayakan berbagai macam teknologi mutakhir untuk mengatasi persoalan sampah.
Oleh karena itu, pembangunan kota semacam itu tak bisa diwujudkan dalam sistem serakah hari ini. Islam yang mewujudkan karena ditopang dengan sistem ekonominya yang kokoh. Tak kan bisa disamakan dengan sistem ekonomi ribawi pengundang azab Ilahi. Justru sistem ekonomi ini akan melahirkan berbagai kebaikan bagi para penduduknya sebab rida Allah pada hamba-Nya. Begitu pun sistem pendidikannya, akan melahirkan masyarakat yang memiliki kesadaran akan tugasnya sebagai hamba untuk mengelola bumi ini. Mereka tak kan membiarkan bumi rusak akibat ulah tangan mereka. Semua atas dorongan akidah.
Begitu pun sistem sanksi yang diberlakukan. Negara memastikan masyarakat tak melakukan aktivitas maksiat, jika pun ada maka ada saknsi tegas yang diberikan sehingga membuat efek jera. Negara paham betul posisinya sebagai periayah akan dimintai pertanggungjawaban, maka ia akan menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya, tak ada kompromi pada kepentingan para pemilik modal sebab itu merupakan penghianatan yang akan ada hisabnya. Dengan begitu, kota layak huni bebas sampah di Bekasi akan mampu diwujudkan hanya ketika sistem Islam diterapkn di tengah-tengah kehidupan. Tak boleh ada kata menyerah, perubahan peradaban yang Allah janjikan penuh berkah harus kita upayakan. Dengan apalagi kalau bukan jalan dakwah.
Penulis: Ummu Zhafira (Ibu Pembelajar)
0 Komentar