Setiap bulan Juni, kelompok L*sbian, G*y, Bis*ksual, dan Transg*nder (L98T) merayakan momen Pride Month atau bulan kebanggaan. Bagi mereka, momen ini dirayakan untuk mengingkatkan kesadaran masyarakat global mengenai kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi kelompok L98T.
Pada 2022 kali ini, Pride Month ke-52 yang dirayakan hampir di seluruh dunia.
Di tengah ramainya perayaan Pride Month di sejumlah negara, perjuangan kaum pelangi untuk kebebasan berekspresi bagi L98T di Indonesia kembali menemukan momentumnya.
L98T, (kini nge-tren dengan sebutan kaum pelangi), yang merupakan akronim dari “L*sbian, G*y, Bis*ksual, dan Transg*nder”. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas g*y” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman “budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”. Kadang-kadang istilah L98T digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili.
Bukan hal aneh, tampak pembelaan pada aspek humanis, untuk memperjuangkan pengakuan, nilai dan martabat dari kaum marginal tersebut. Sebagian kaum menuntut agar mereka mendapatkan penerimaan atas eksistensinya selama ini. Hanya saja, apakah toleransi pada kaum tersebut merupakan sikap yang tepat?
Berangkat dari asas kebebasan berekspresi dan penegakan HAM, seolah negara selama ini menjadi pahlawan untuk eksistensi mereka. Bahkan memudahkan mereka untuk mendapatkan hak fasilitas publik. Selain ratifikasi hukum, pemerintah pun gencar membangun opini publik agar masyarakat yang mayoritas masih tidak mendukung kaum pelangi ini pada akhirnya mau memaklumi kondisi mereka sehingga berujung pada penerimaan dari sisi legalitas hukum.
Kita dapat saksikan masifnya opini yang diaruskan di media terkait dukungan agar kaum ini bisa diterima oleh masyarakat. Adanya edukasi-edukasi ilmiah terkait orientasi ini sehingga kaum tersebut mendapatkan pembenaran dan dukungan, tidak lagi hanya pengakuan semata.
Maraknya pergerakan kaum pelangi sejatinya tidak terlepas dari strategi penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara penjajah di negeri muslim terbesar ini, yakni upaya liberalisme. Liberalisme bertujuan untuk melemahkan ketahanan negeri muslim terbesar ini dengan merusak SDM-nya. Liberalisasi terus menerus digencarkan pada bidang pemikiran, perilaku, dan lainnya. Strategi liberalisme dijalankan secara sistematis oleh para agen penjajah, baik yang duduk di pemerintahan, Non-Governmental Organization (NGO) atau yang di Indonesia sering disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun pihak-pihak yang lain.
Data menunjukkan, kaum pelangi tidak berdiri sendiri. Mereka adalah gerakan global dengan dukungan dana yang besar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus L98T dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Mereka menyebut perilaku tersebut normal bukan kelainan mental.
Indonesia mengakui bahwa negeri dengan mayoritas muslim ini ialah negeri yang religius, berketuhanan, berkeadaban dan berperikemanusiaan. Tetapi wajarkah apabila berangkat dari statement tersebut, justru membolehkan perilaku yang menyimpang dari sisi moral terlebih lagi agama ini?
Kaum ini akan mengerahkan berbagai cara mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Mereka akan berusaha agar tidak dikriminalisasi dengan cara mempertahankan konstruksi hukum yang ada. Seperti sistem hukum di Indonesia sekarang, yang mandul untuk memberikan sanksi apapun bagi kalangan ini. Secara filosofis, mereka pun menggunakan HAM sebagai senjata bagi mereka untuk berlindung dengan dalih orientasi ini adalah fitrah, bukan penyimpangan.
Sistem pemerintahan di negeri ini berdiri tegak di atas asas sekularisme. Sekularisme telah melepaskan kehidupan dari asuhan agama. Pada kasus ini, negara telah nyata meminggirkan syariat Islam yang telah mengharamkan aktivitas tersebut dengan eksistensi hukum yang baru bagi kaum pelangi ini atas nama HAM tadi.
Ketika Allah Swt. telah melaknat kaum Nabi Luth, penguasa dan sistem sekuler di negeri ini justru memberikan hak untuk mereka eksis dan mengaktualisasikan diri serta menolak memberikan sanksi pidana terhadapnya. Padahal, dalam hukum Islam sanksi pidana dari-Nya untuk pelaku penyimpangan ini sudah jelas termaktub dalam ayat Al-Qur'an.
Demokrasi telah meminggirkan peran agama, sehingga kondisi ini wajar terjadi. Maka kita memerlukan perubahan revolusioner yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi, dengan membuat perubahan nyata pada sistemnya secara komprehensif. Maka sudah saatnya, umat Islam bersatu dalam agenda besar perubahan umat menuju Islam kafah, dengan berjuang menegakkan negara Khilafah.
Hanya Khilafah yang memiliki sistem komprehensif untuk menghentikan promosi, inisiasi, hingga legalisasi kaum pelangi ini. Melalui integrasi di antara kebijakan hukumnya, sistem media serta aplikasi konten dan programnya, sistem pendidikan baik formal maupun nonformalnya, sistem sosial dalam masyarakatnya, sistem ekonomi, politik, dan penegakan sistem sanksinya yang bersifat antisipatif dengan berbagai macam upaya-upaya pencegahan sampai bersifat kuratif dan solutif. Wallahualam.
Penulis: Novita Sari Gunawan
0 Komentar