Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor meraih predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat atas Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2021. Ini adalah predikat opini WTP keenam yang didapat Kota Bogor secara berturut-turut sejak 2016. (antaranews.com, 24/05/2022)
Selama ini, Pemerintah Daerah (Pemda) berlomba-lomba untuk mendapatkan predikat opini WTP dari BPK. Pada semester I tahun 2021, 33 dari 34 (97%) pemerintah provinsi telah mendapatkan predikat WTP. Sedangkan dibawahnya, 365 dari 415 pemerintah kabupaten (88%) dan 88 dari 93 pemerintah kota (95%) berhasil memperoleh predikat WTP. (bpk.go.id, 16/12/2021)
Bahkan, sebegitu memikatnya predikat opini WTP, hingga Bupati Bogor Ade Yasin bersama stafnya diduga menyuap auditor BPK agar Pemkab Bogor kembali mendapat predikat ini. Dan ini bukan yang pertama. Pada 2017, KPK mengungkap penyuapan pejabat eselon I BPK oleh pejabat Kementrian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) demi meraih predikat yang memikat ini.
Seberapa Pentingkah Predikat Opini WTP?
Dihimpun dari laman bpk.go.id, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat empat jenis Opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah: Pertama, Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion. kedua, Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion. Ketiga, Opini Tidak Wajar atau adversed opinion. Keempat, Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP). (tribunnews.com, 28/04/2022)
Menurut Muhammad Nur, Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banda Aceh, Predikat WTP ibarat sebuah pencapaian tertinggi bagi suatu entitas akuntansi termasuk bagi Pemda dan kepala daerahnya. Apabila suatu entitas mendapatkan opini WTP, dapat dikatakan bahwa laporan keuangannya 'bersih' dan disajikan secara wajar sesuai kaidah akuntansi pemerintahan yang berlaku. (detik.com, 15/11/2021) Selain itu, Opini tersebut diburu supaya entitas yang mereka pimpin dinilai cakap dalam mengelola dan menyerap anggaran. Sedangkan bagi kepala daerah, predikat WTP penting supaya dianggap sebagai sosok yang 'bersih' dan tidak korupsi di mata masyarakatnya. (tribunnews, 28/04/2022) Sehingga mereka layak untuk dipilih kembali atau menerima jabatan yang lebih tinggi.
Pengaruh Predikat Opini WTP dengan Kasus Korupsi
Jika melihat pencapaian Pemda dalam meraih predikat opini WTP, maka seharusnya kasus korupsi sangat minim terjadi di Indonesia. Namun pada faktanya, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tidak pernah sepi dan terus bertambah setiap tahunnya. Data dari KPK menunjukkan bahwa Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi relatif banyak. Sejak tahun 2004 hingga 2019, setidaknya terdapat 126 kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah. Data tertinggi yaitu pada tahun 2018, dengan rerata per tahunnya terdapat 7 kasus korupsi Kepala Daerah. (katadata.co.id, 07/09/2021) Pada 2020, pandemi ternyata tidak menghalangi para Kepala Daerah untuk mengambil uang rakyat. Tercatat oleh KPK ada 6 orang Kepala Daerah yang terbukti melakukan korupsi. (tribunnewswiki.com, 16/12/2020) Tahun berikutnya, 7 Kepala Daerah yang terjerat korupsi. (suara.com, 25/12/2021)
Dari sini jelas bahwa kebijakan pengeluaran predikat opini WTP oleh BPK tidak mampu menghentikan kasus korupsi. Bahkan dapat menjadi pemicu lahirnya kasus korupsi seperti yang terjadi pada kasus Ade Yasin dan Kemendes PDTT.
Akar Masalah Korupsi
Berdasarkan pemaparan di atas, predikat opini WTP merupakan upaya negara yang bersistem kapitalis ini untuk meminimalisir terjadinya tindakan korupsi. Namun solusi tersebut tidak menyentuh akar permasalahan hadirnya korupsi. Sehingga justru predikat opini WTP ikut menjadi alasan munculnya tindakan korupsi.
Penyebab utama lahirnya para koruptor adalah sistem kapitalis itu sendiri. Dalam sistem kapitalis, pengelolaan keuangan diserahkan kepada seluruh Kepala Daerah dan Departemen. Hal ini memperlebar potensi tindakan korupsi. Ditambah lagi individu-individu yang menjadi Kepala Daerah adalah anak-anak hasil pendidikan sistem kapitalis sekuler yang minim pengajaran akhlak. Potensi korupsi juga didorong oleh sistem pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung yang membutuhkan biaya besar. Banyak Kepala Daerah yang tekor ketika kampanye. Sehingga saat menjabat, mereka berusaha untuk ‘balik modal’ dengan aksi korupsi.
Solusi Pemberantasan Korupsi
Jelas bahwa sistem kapitalis lah yang menjadi biang korupsi. Sistem kapitalis ini harus diganti dengan sistem hidup yang sempurna dan paripurna, yaitu sistem khilafah. Sistem khilafah adalah sistem yang menerapkan aturan Islam secara kafah. Sistem yang berasal dari pencipta yang tidak memiliki cacat dan cela. Solusi untuk menyelesaikan korupsinya tidak memunculkan masalah baru. Tuntas hingga di akhirat nanti.
Ada dua upaya pemberantasan korupsi, yaitu upaya pencegahan dan penanganan. Upaya pencegahan yang pertama adalah dengan membina seluruh masyarakat agar menjadi individu yang bertakwa. Pembinaan ini dilakukan oleh negara melalui kurikulum pendidikan di sekolah, kajian-kajian umum, atau melalui siaran televisi atau media sosial. Upaya pencegahan yang kedua adalah memusatkan pengelolaan keuangan negara di baitulmal. Baitulmal adalah departemen yang dipimpin oleh seorang mudir/direktur yang bertanggungjawab langsung kepada Khalifah. Baitulmal mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran negara. Anggaran departemen-departemen dan daerah dipenuhi oleh baitulmal sesuai dengan kebutuhannya. Adapun mengenai kampanye pilkada yang berpotensi mendorong Kepala Daerah korupsi, tidak akan terjadi di sistem khilafah. Karena Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah sesuai syariat Islam, bukan dengan pilkada yang memiliki batas masa jabatan.
Adapun upaya penanganan jika terjadi kasus korupsi adalah dengan menerapkan sanksi takzir (sanksi yang ditetapkan oleh Khalifah), yaitu berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi atau media sosial), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati tergantung kasus korupsinya. (muslimahnews.net, 12/03/2022) Dan karena hukuman ini berasal dari Allah Swt. pemilik dunia dan akhirat, maka dosa pelaku korupsi otomatis terhapus di pengadilan akhirat nanti.
Penutup
Demikianlah betapa sempurna dan paripurnanya syariat Islam dalam upaya memberantas korupsi. Syariat Islam ini tidak dapat kita terapkan tanpa adanya sistem khilafah. Oleh karena itu, penegakan khilafah saat ini menjadi sesuatu yang urgen untuk diwujudkan. Wallahua'lam []
Penulis: Vinci Pamungkas
0 Komentar