Rendang dan Politik Identitas



Rendang, makanan khas Padang ini, kian nendang. Pasalnya, belakangan ini, makanan yang satu ini dipertanyakan agamanya. Meski ini bukan pertanyaan yang sesungguhnya tapi realita yang terjadi sedang mengarahkan masyarakat masuk dalam perbincangan terkait politik identitas. Bukan hanya rendang, wayang pun pernah mengalami hal serupa meski dengan kasus yang sedikit berbeda.

Ya, politik identitas memang kian merebak mendekati tahun politik. Hampir semua perbincangan baik di media mainstream maupun di media sosial tak lepas dari pencermatan dan pengkaitan berbagai peristiwa menuju 2024. Mulai isu kenaikan harga hingga reshuffle kabinet, bahkan balap motor pun tak lepas dari isu ini. Begitulah, pesta demokrasi ini sangat menyita perhatian.

Wajar jika ini terjadi. Sebab watak demokrasi memang demikian. Masyarakat diarahkan untuk ikut memeriahkan pesta demokrasi saja. Sekali lagi, hanya sekedar memeriahkan saja. Tak lebih. Sebab pada dasarnya yang berpesta dan menangguk keuntungan besar adalah para pemilik modal. Melalui besar dan meriahnya pesta demokrasi itulah sebuah negara kemudian dinilai sebagai negara yang demokratis. Tentu saja pujian akan demokratisnya sebuah negara membuat masyarakat sudah cukup merasa tersanjung, dihargai dan diakui eksistensinya di dunia internasional.

Padahal sejatinya, setelah pesta demokrasi bubar, kehidupan masyarakat tak kunjung membaik. Harga kebutuhan pokok tetap naik, bahkan tambah naik dan tak bisa turun. Kemiskinan terus mencekik, meski berbagai perusahaan besar sudah menjalankan program CSR-nya (Corporate Social Responsibility). Pendidikan kian tak terjangkau biayanya dan faktanya tak mampu menghasilkan output yang siap pakai.

Kerusakan sosial kian menggila. L69T merajalela, angka ODHA meningkat, hingga muncul fenomena tak lazim seperti jatah mantan, FWB (friend with benefits) hingga ONS (one night stand). Belum lagi banyaknya generasi muda yang hanya sibuk mencari konten hingga tak lagi  punya malu dan rela bertaruh nyawa. Generasi muda hampir-hampir tak lagi bisa diharapkan untuk menjadi penerus estafet pembangunan. Miris!

Artinya pujian demokratis yang membuat masyarakat merasa dihargai dan diakui eksistensinya di dunia internasional ternyata tak membawa perubahan apapun bagi kehidupan mereka. Pesta demokrasi yang mereka meriahkan sama sekali tak mampu membuat mereka keluar dari problematika kehidupan yang menderanya. Lantas dimana peran demokrasi dalam kehidupan mereka?

Inilah tipuan demokrasi. Sebuah sistem kehidupan yang konon katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, realitanya adalah dari pengusaha, oleh pengusaha dan untuk pengusaha. Rakyat sama sekali tak dipertimbangkan keberadaannya. Hanya dijadikan tambang suara menjelang pemilu yang diistilahkan dengan pesta demokrasi. Istilah ini jelas sangat menipu. Sebab rakyat mati-matian berjuang di pesta demokrasi, mengorbankan semua yang dimiliki, hingga tenaganya habis untuk “perjuangan” tersebut, padahal mereka sama sekali tidak dipertimbangkan. Energi yang sangat besar dihabiskan untuk sebuah agenda yang tak memberikan efek apapun pada kehidupan mereka. Sungguh ini adalah sebuah tipuan kehidupan yang sangat nyata.

Andai masyarakat menyadarinya, tentu mereka akan membuang jauh-jauh sistem demokrasi ini. Sayangnya demokrasi ini memiliki para penjaga yang teramat kuat. Yakni para penguasa dan seluruh kaki tangannya, termasuk media massa. Agar demokrasi ini tetap terjaga, politik identitas harus dimunculkan. Karena pada faktanya mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Untuk apa dimunculkan? Tentu sekadar untuk memantik kemarahan di tengah masyarakat dan meriuhkan opini di ruang publik. Sehingga masyarakat lupa pada kegagalan sistem demokrasi dalam mensejahterakannya dan lupa pula bahwa sistem demokrasilah biang dari berbagai problematikan kehidupan mereka.

Karenanya edukasi akan bobroknya sistem demokrasi ini harus terus dilakukan sembari menyadarkan akan pentingnya memegang teguh Islam kaffah sebagai pedoman hidup mereka agar tak mudah terpancing dengan berbagai kegaduhan semacam rendang, wayang dan sebagainya. Dengan memahami Islam secara benar, masyarakat akan mampu memahami duduk perkara berbagai permasalahan yang ada. Sehingga tidak muncul sikap reaksioner dan gegabah.  Itulah sebabnya gerakan dakwah untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya memahami Islam kaffah dengan benar harus terus digencarkan dan tak boleh terhenti. Wallahua’lam


Penulis: Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar