Peserta haji dari Indonesia selalu mendapat kloter terbanyak dari pemerintah Saudi untuk memasuki negaranya. Tahun ini saja dari satu juta kuota haji dari seluruh dunia, negeri ini mendapatkan 100.051 orang jamaah untuk menginjakkan kaki di baitul haram. Belum lagi jumlah jamaah sebelum pandemi tentu lebih banyak dua kali lipat dari jumlah tahun ini.
Membludaknya jamah haji Indonesia saat ini pada tiap tahunnya, sesungguhnya peminatnya tak berbeda saat Belanda menduduki kawasan Nusantara. Mengingat sebelum Belanda datang, Islam telah menyebar dan berurat berakar di masyarakat. Sehingga mereka memahami bahwa haji merupakan kewajiban.
Perjalanan Haji Pada Masa Lalu
Terdapat sebuah catatan bahwa pada tahun 1630, pangeran Abdul Dohhar, putra Sultan Ageng pergi melaksanakan haji. Pada tahun-tahun berikutnya makin banyak orang pergi ke tanah suci. Sebelum ada kapal uap, para jamaah haji berangkat menggunakan perahu layar menuju Aceh kemudian dengan menggunakan kapal dagang menuju India.
Karena saat itu tidak ada kapal yang langsung menuju Makkah. Dari India kemudian menuju Yaman dan jika beruntung bisa langsung menuju Jeddah. Tak jarang dalam perjalanannya, kapal yang mereka tumpangi karam sehingga penumpangnya tenggelam ataupun terdampar di pulau. Ada pula yang harta benda mereka dirampok oleh bajak laut ataupun dirampok oleh awak kapal itu sendiri.
Dalam perjalanan yang panjang ini, tentu tidak sedikit yang wafat, jenazah mereka biasanya langsung dilarung ke laut. Sehingga tradisi pelepasan jamaah dari tanah air tentu disertai linangan ait mata. Pun hampir semua jamaah sudah memberikan wasiat pada keluarga, seolah mereka tak akan pernah pulang. Tradisi ini beberapa tahun lalu terlihat masih dilakukan hingga sekarang.
Saat terusan suez dibangun pada 1869, perjalanan haji menjadi lebih mudah. Perjalanan menuju Jeddah dari Hindia Belanda makin ramai. Bukan hanya diramaikan oleh mereka yang akan berhaji namun juga mereka yang bermukim di Makkah bermaksud pulang ke tanah air. Akibatnya justru lebih banyak jumlah jamaah yang pulang dari pada yang menuju tanah suci.
Seiring dengan membludaknya calon jamaah ataupun yang pulang menuju tanah air, kapal uap pemerintah Hindia Belanda sudah tidak mampu lagi mengangkut jamaah. Kemudian keputusan selanjutnya pemerintah berkolaborasi dengan pihak swasta untuk menangani perjalanan haji ini. Namun justru kesempatan ini digunakan oleh pihak swasta untuk mengeruk keuntungan dari jamaah.
Islamophobia Belanda
Tujuan para jamaah dari wilayah Hindia Belanda kemudian bukan hanya beribadah haji namun berkembang untuk mencari ilmu. Mereka mempelajari tsaqofah Islam dari sumbernya, kemudian saat mereka pulang ke tanah air mereka pun mengajarkan kembali ilmu-ilmu tersebut kepada masyarakat nusantara.
Di saat yang sama, Pan Islamisme sedang berkembang di Timur Tengah dan tentunya para jamaah haji yang juga mencari ilmu di sana bertemu dengan kaum muslimin lain dari lintas benua. Mereka juga saling memberi masukan terhadap kondisi di Nusantara yang sedang terjadi pendudukan Belanda termasuk bagaimana mengusirnya.
Mereka yang pulang dari tanah suci dengan bekal ilmu yang didapat kemudian mendakwahkan Islam pada masyarakat Hindia Belanda saat itu. Sehingga lambat laun timbullah perlawanan terhadap Belanda yang dipimpin oleh para Haji atau pemuka agama ini. Perlawanan tersebut terjadi di sepanjang paruh abad ke 19.
Pemerintah kolonial Belanda saat itu mulai panik, dan mereka juga melihat bahwa aktivitas haji bukan hanya persoalan ibadah, namun juga ancaman pendudukan Belanda saat itu. Kemudian Deandels (1801-1811), Gubernur Jenderal Belanda yang berkuasa saat itu membuat berbagai macam aturan untuk manghambat perjalanan para jamaah haji saat itu.
Dalam sejarah perjalanan haji di Indonesia, Deandels lah yang membuat aturan pertama untuk menggunakan paspor jalan dengan alasan keamanan dan ketertiban. Aturan tersebut dibuat karena mereka khawatir bahwa pada kenyataannya para haji dan ulama tersebut merupakan golongan yang dihormati oleh masyarakat dan pengikutnya pun banyak.
Kemudian pada tahun 1859 dibuatlah peraturan yang tercantum dalam Staatsblad, 6 Juli 1859 No 42 yang mengatur 3 poin tentang perjalanan haji. Selain harus menggunakan paspor jalan, calon jamaah haji harus membuktikan kepada kepala daerah bahwa mereka mempunyai uang yang cukup untuk perjalanannya pulang dan pergi serta untuk membiayai keluarga yang ditinggalkan.
Terakhir peraturan tersebut adalah setelah para jamaah haji tersebut pulang dari Makkah, mereka harus diuji dahulu oleh bupati/kepala daerah masing-masing ataupun petugas khusus yang ditunjuk. Bila mereka dinyatakan lulus dari ujian maka mereka diperkenankan mendapat gelar haji dan memakai pakaian haji (gamis).
Sehingga gamis pun langgeng menjadi budaya berpakaian baru di kalangan masyarakat bumiputera. Hal ini pun dikarenakan sejak terjadi pendudukan Belanda, masyarakat tidak diperbolehkan mengenakan pakaian ala Eropa. Sehingga ketika gamis masuk, maka tren ini pun makin menyebar ke seluruh pelosok penjuru negeri.
Tradisi pemakaian gamis yang dibawa oleh para jamaah haji ini menyebar cepat bukan hanya pemuka agama, gamis juga terlihat sering digunakan oleh para pejabat dalam kesehariannya. Seperti bupati Bandung, Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema V (1920-1931) yang tiap kesempatan berjumpa dengan rakyatnya selalu menggunakan gamis.
Islamophobia memang bukan barang yang baru, dari zaman Rasulullah hidup pun, hal ini sudah ada. Karena para kafir penjajah akan selalu berusaha menjauhkan kaum muslimin dari Islamnya. Untuk itu kaum muslimin butuh akan adanya institusi negara yang menaungi juga melindungi manusia agar tidak ada penindasan di muka bumi. Wallahu’alam.
Penulis: Ruruh Hapsari
0 Komentar