Semenjak menjadi bagian dari wilayah Daulah Khilafah saat Sultan Selim 2 bin Sulaiman Al Qonuni (1566-1574) memerintah, kesultanan Aceh berkembang menjadi kesultanan yang sangat diperhitungkan di Asia Tenggara.
Negara-negara Eropa baik Belanda, Inggris, Prancis, Denmark dan Spanyol di abad ke 16 dan 17, mereka tidak berani mengambil langkah apapun pada kesultanan Aceh ini. Kesultanan Aceh berkembang menjadi kesultanan yang disegani kawan sekaligus ditakuti lawan.
Saat itu sudah sangat masyhur bahwa sisi militer kesultanan Aceh sangat maju. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan itu juga didorong karena eratnya hubungan dengan Daulah Khilafah Utsmaniyah.
Khilafah Utsmaniyah memberikan bukan hanya bantuan moril namun juga materiil pada kesultanan Aceh saat itu. Seperti pendidikan jihad yang gurunya langsung didatangkan dari Turki. Tak lupa juga memberikan bantuan teknologi pendukungnya seperti meriam dan sejenisnya.
Adalah 'Baital Maqdis' yang terletak di Gampong Bitay, Banda Aceh merupakan institusi akademi militer bantuan dari Utsmaniyah. Bukan hanya pendidikan secara militer namun juga dasar dari itu semua yaitu akidah juga diberikan oleh para guru tersebut.
Semua masyarakat dididik dengan pendidikan agama juga militer dan tanpa melihat siapa ataupun apa status sosialnya. Sehingga tidak heran dari pendidikan tersebut munculah benih unggul muslimah tangguh yang menjadi ajudan sultan Aceh, Malahayati.
Kesultanan Aceh menjadi maju dalam banyak aspek seperti militer, ekonomi, politik sampai ilmu pengetahuan dan budaya. Hal ini dikarenakan bersatunya para ulama, pedagang, orang kaya serta kaum muslimah dalam membangun kesultanan Aceh. Semua aspek tersebut tentunya didasari oleh bimbingan wahyu.
Kesultanan Aceh mencapai puncak kegemilangannya di era Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan yang mempunyai julukan Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat merupakan tokoh utama dalam pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke 17. Kekuasaan sang Sultan nampak pada surat balasan (1615) kepada Raja James I dari Inggris yang akan berdagang di wilayah kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam.
Namun, permohonan Raja Inggris tersebut ditolak dengan tegas oleh Sultan Iskandar Muda. Karena ia paham betul bahwa Inggris mempunyai misi untuk menguasai seluruh sumber daya alam yang ada di Aceh.
“Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang”, demikianlah isi mukadimah surat balasan kepada Raja James I (Detik.com 28/2/2007).
Surat balasan tersebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Hal ini dikarenakan panjang suratnya mencapai satu meter, bersampul sutra kuning asli, ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental. Tiga perempat dari isi suratnya melukiskan keagungan sang Sultan dan kekayaannya yang seakan mengatakan bahwa tidak berhubungan dengan Inggris pun Aceh tidak akan rugi.
Islam sendiri sudah mendarah daging di rakyat Aceh dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sehingga Islam pun tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan kesultanan Aceh, oleh karenanya sang Sultan juga menggunakan sistem peradilan Islam dalam memerintah.
Keadilan sang Sultan terlihat saat beliau mengadili anaknya sendiri, putra Mahkota, pewaris tunggal kesultanan Aceh, Meurah Pupok. Kisahnya akan dikenang sebagai simbol tegaknya syariat Islam di kesultanan Aceh.
Dikatakan bahwa pada suatu waktu Sultan Iskandar Muda didatangi oleh seorang perwira. Perwira yang tidak diketahui identitasnya ini melaporkan bahwa istrinya telah ditiduri oleh sang putra Mahkota, Meurah Pupok. Kemudian ia juga menceritakan bahwa ia telah membunuh istrinya yang bermain serong dengan putra mahkota.
Peristiwa ini tentu saja menggemparkan kesultanan Aceh Darussalam. Walaupun begitu hukum harus tetap ditegakkan. Konstitusi Kerajaan Aceh, Qonun Meukuta Alam yang bersumber pada Alquran dan Sunah tentunya mengatur bagaimana hukuman bagi pezina. Eksekusi mati pun dijalankan pada Meurah Pupok, sang putra Mahkota semata wayang Kesultanan.
Sultan Iskandar muda sangat paham bahwa aturan Islam harus ditegakkan agar rahmat bagi seluruh alam dapat teraih, termasuk hukum peradilan. Tidak ada pilih kasih dalam penetapan hukum. Saat ditanya mengapa ia tega untuk menghukum mati Meurah Pupok, Sultan Iskandar Muda berkata,”Mate aneuk nak jirat, mate adat ho tamita”, artinya, mati anak ada makamnya, tapi jika hukum yang mati hendak kemana akan dicari.
Wallahualam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar