Wacana Penundaan Pemilu vs Kepemimpinan dalam Islam




Pemilu merupakan pesta demokrasi yang diadakan lima tahun sekali, pesta yang sangat ditunggu-tunggu oleh para elit politik. Pasalnya, pesta ini menjadi ajang tarung memperebutkan kursi kekuasaan yang banyak peminatnya, khususnya partai politik. Dengan menggunakan berbagai macam cara dalam menarik hati dan simpati rakyat, agar memberikan suaranya kepada calon dari partai tertentu.

Kalah dalam pemilu di lima tahun lalu, tak lantas menyurutkan langkah bagi partai politik berupaya sekuat tenaga untuk bisa merasakan duduk di kursi parlemen. Oleh karena itu, wacana penundaan pesta demokrasi menuai berbagai pro dan kontra. Dilansir Rmol.id, 28/02/2022, Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan, tidak ada alasan moral, etik dan demokrasi untuk tunda pemilu yang sudah ditetapkan yakni 14 Februari 2024. Akan banyak pelanggaran jika pemilu serentak 2024 ditunda, terutama hak rakyat dalam memilih pemimpin secara demokrasi. Hak tersebut telah tertuang secara rinci sebagai landasan konstitusi pada pasal 22E UUD 1945.

Begitu juga, Pengamat Politik Universitas Paramadina A Khoirul Umam menilai wacana menunda pemilihan umum 2024 sampai 1-2 tahun merupakan usulan yang sarat kepentingan politik dan tidak mencerminkan semangat demokrasi di Indonesia. Menurut Umam, pemulihan ekonomi akibat Covid-19 yang kerap dijadikan sebagai alasan penundaan tidak dapat diterima karena Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada tetap digelar meski masa pandemi tengah berlangsung (TV One News, 25/01/2022)

Di sisi lain, sejumlah petinggi partai politik yang menggulirkan wacana penundaan pemilu 2024 sebagai momentum perbaikan ekonomi yang porak-poranda akibat wabah pandemi. Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem) Iwan Sumule menanggapi wacana penundaan pemilu dikarenakan negara tidak memiliki uang. Dana yang dibutuhkan untuk menggelar pemilu 2024 mencapai Rp76 triliun. Sedangkan untuk pembangunan ibu kota negara (IKN) membutuhkan dana Rp466 triliun.

Tidak dipungkiri, wacana penundaan pemilu ini menimbulkan polemik yang terbagi dua kubu. Kubu pertama menginginkan penundaan pemilu dengan dalil kondisi perekonomian yang baru dan kondisi keuangan negara yang sedang merosot. Sedangkan kubu kedua berambisi tetap menginginkan melaksanakan pemilu, menjadikan hak rakyat sebagai dalihnya. 

Padahal jika dicermati fakta di atas, kepentingan politiklah yang bermain. Penundaan pemilu ini secara otomatis akan memperpanjang masa jabatan penguasa saat ini. Rumor menginginkan berkuasa tiga periode bukanlah isapan jempol semata, fakta ini membuktikan kebenaran rumor tersebut. 

Berharap Perubahan pada Pemilu?

Walaupun hasil survei mayoritas publik tolak masa Jokowi ditambah dan tetap setuju pemilu 2024 digelar meski dalam keadaan pandemi. Hal ini dibeberkan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam survei akhir 2021 menunjukkan 67,2% responden memilih pergantian kepemimpinan nasional melalui pemilu. Sementara 24,5% memilih ditunda hingga 2027 dan 8,3% sisanya tak menjawab (Law justice, 27/02/2022), selain itu wacana penundaan pemilu ini pun mendapat respons yang luar biasa dari kalangan mahasiswa yang menggelar demonstrasi besar besaran lewat BEM di seluruh Indonesia.

Sangatlah wajar jika masyarakat menginginkan pergantian pemimpin negeri ini, selama dua periode kepemimpinan kondisi rakyat semakin terpuruk. Utang negara meningkat, kemiskinan, pengangguran dan berbagai persoalan lainnya terus menghantui bangsa ini, permasalahan dari minyak goreng dan penyelesaian pandemi pun masih menjadi PR besar demokrasi dengan teori dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya kamuflase semata. Hanya sebatas teori tanpa ada wujud realitasnya bagi rakyat. Lagi-lagi rakyat hanyalah tumbal keserakahan dan kerakusan para elit politik.

Ditunda atau tetap digelarnya pemilu tidak akan membawa perubahan apa pun terhadap nasib rakyat. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin dan dari partai manapun, selama masih bernaung dalam sistem kapitalisme demokrasi tidak akan pernah membawa nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik. Karena sistem ini telah menjadikan negeri ini dikuasai oleh oligarki. Para oligarki para pejabat, elit politik bahkan aparat keamanan untuk menjadi payung dari bisnis yan dilakoninya. Mereka membeli biroraksi untuk mendapatkan zjin istimewa dalam bisnisnya, khususnya pengelolaan sumber daya alam seperti hutan dan barang tambang. 

Para pejabat negara dan para elit politik bisa meraih kursi kekuasaan pun karena keinginan oligarki dan mereka berkhidmat kepada oligarki untuk memuluskan setiap kepentingannya. Jadi yang mengatur negara ini adalah para oligarki. Bukan rakyat yang berdaulat seperti dalam teori demokrasi, melainkan kedaulatan sesungguhnya berada di tangan pemilik modal yaitu para oligarki. 

Sudah nyata di depan mata bahwa pemimpin yang lahir dari sistem kapitalis, hasil dari pesta demokrasi hanya melahirkan para pejabat yang haus akan kekuasaan, harta dan jabatan. Mereka rela menjadi robot untuk diperalat sesuai kepentingan tuannya. Pesta demokrasi yang menghabiskan dan menghamburkan uang rakyat, namun kehadirannya bukan untuk mengurusi apalagi melayani kepentingan dan kebutuhan rakyat. Inilah kerusakan dan kecacatan sistem kapitalis demokrasi yang berasal dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas.

Kepemimpinan dalam Islam dan Masa Jabatannya

Sistem Islam (khilafah) memiliki mekanisme memilih pemimpin yang bervisi akhirat. kepemimpinannya bukanlah sebagai ajang untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan seperti halnya dalam sistem demokrasi, melainkan sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dari Rabb-Nya. Para pemimpin (khalifah) dan para pejabat negaranya memahami tupoksinya dan kehadirannya di tengah masyarakat sebagai pelayan rakyat.


Metode pemilihan yang mudah, hemat biaya, serta semua rakyat memahami kewajiban dan hak mereka untuk memilih pemimpin untuk mengurusi kebutuhan mereka. Dalam Islam menjadi pemimpin bukanlah untuk ambisi kekuasaan, melainkan untuk menjalankan syariat Islam. Fungsi pemimpin sebagai junnah yang akan menjaga rakyatnya baik di depan maupun di belakang bahkan dari berbagai sisi.

Syariah mewajibkan umat Islam mengangkat seorang khalifah bagi mereka, syariah juga telah menentukan metode pengangkatan yang harus dilaksanakan untuk mengangkat khalifah, metode ini ditetapkan dalam al-kitab dan as-sunnah, dan ijma sahabat, metode itu adalah baiat. Oleh karenanya pengangkatan khalifah dilakukan dengan baiat kaum Muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan kitabullah dan sunah Rasulullah. Kaum Muslim di sini adalah kaum Muslim yang menjadi rakyat khalifah sebelumnya, jika khalifah sebelumnya itu ada, atau kaum Muslim penduduk suatu wilayah yang di situ hendak diangkat seorang khalifah, jika sebelumnya tidak ada khalifah.

Dalil mengenai baiat telah tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri ,tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka”(Mumtahanah:12).

Begitu juga ayat lain menyebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu hakikatnya adalah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (al-Fath (48):10).

Dalam hadist juga disebutkan, “Kami telah membaiat Rasulullah SAW agar senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi; agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq dimana saja kami berada tanpa takut karena Allah kepada celaan kepada orang orang yang suka mencela” (HR al-Bukhari).

Khalifah tidak mempunyai masa jabatan tertentu yang dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama khalifah masih teteap menjaga syariah, menerapkan hukum Islam serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Sebab, teks baiat yang terdapat dalam hadist yang ada bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu tertentu.  “Selama ia masih memimpin kalian dengan kitabullah” (HR Muslim).

Tapi, jika pada khalifah terjadi sesuatu yang mengakibatkannya dipecat atau yang mengharuskan dirinya dipecat, maka otomatis masa jabatanya berakhir dan ia dipecat. Pemecatan ini dilakukan ketika khalifah kehilangan 7 syarat in’iqad, (Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, medeka, mampu) dan pihak yang berwenang menetapkan pemecatannya hanya Mahkamah Mazhalim.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu” (HR Muslim).

Karakter seorang pemimpin telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para khulafaur rasyidin. Karakter pemimpin yang amanah dan peduli terhadap urusan rakyatnya akan terwujud dari sistem yang bersumber dari sang pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Sosok pemimpin yang sangat dirindukan dan diimpikan oleh umat saat ini, sejak 101 tahun telah sirna dari umat.

Oleh karenanya, dengan izin Allah fajar khilafah akan segera menyingsing menyinari dunia dengan cahaya Islam. Kehadiran sosok pemimpin yang amanah dan peduli terhadap urusan rakyatnya akan hadir kembali ditengah umat. Untuk menyudahi permasalahan yang dihadapi oleh umat dan mengembalikan posisi umat Islam sebagai umat terbaik. Oleh karenanya, kehancuran sistem kapitalis sekuler tinggal menunggu waktu dan akan diganti dengan tegaknya peradaban Islam dengan tegaknya khilafah. Allahu Akbar.[] 

Oleh: Nurlaela Asuro


Posting Komentar

0 Komentar