Masifnya serangan moderasi telah mengakibatkan kekacauan pemikiran di kalangan kaum muslim, salah satunya dalam hal pernikahan beda agama. Fenomena yang sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama, namun akhir-akhir ini kian massif bahkan mendapat dukungan, baik oleh pejabat maupun pejuang feminisme. Penentangan terhadap pernikahan beda agama akan dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dikutip dari news.detik.com, DPR menyatakan dengan tegas bahwa larangan nikah beda agama di UU Perkawinan tidak melanggar HAM. Hal itu disampaikan dalam keterangan resmi untuk judicial review UU Nomor 1 Tahun 1974 di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang judicial review itu diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege, yang mengaku gagal menikahi kekasihnya yang muslim karena terhambat UU Perkawinan. (news.detik.com, 05/07/2022).
Dikutip dari jpnn.com, Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP) mencatat sejak 2005 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia, sebagaimana disampaikan Direktur Program ICRP Ahmad Nurcholish. (JPNN.com, 10/3/22).
Pernikahan beda agama bukanlah hal baru, termasuk oleh para publik figur dan atau para artis, yang sangat mungkin dicontoh oleh masyarakat. Modus pernikahan beda agama sejatinya merupakan bagian dari agenda Barat dalam mempromosikan liberalisme. Atas nama kebebasan, hak asasi, dan lain-lain Barat terus mengalihkan umat hingga begitu mudah menggadaikan akidahnya atas nama cinta.
Prinsip semua agama sama menjadi racun yang merasuki pemikiran kaum muslim, hingga akhirnya umat berpendapat menikah berbeda agama bukanlah sebuah masalah. Liberalisme mempengaruhi pemahaman umat bahwa siapapun berhak dan bebas mengekspresikan kasih sayang kepada siapapun, tanpa peduli bagaimana seharusnya aturannya di dalam agama.
Liberaslisme sendiri lahir dari sebuah sistem yang memang sengaja memisahkan agama dari kehidupan, yaitu sekulerisme. Dari sini lahirlah pemikiran atau pemahaman yang menjemuruskan umat dari ajaran Islam yang benar. Hak invidivu dijamin oleh negara, dalam hal ini negara demokrasi, termasuk dalam bergaul. Dampaknya, marak pergaulan bebas, perzinaan hingga aborsi. Program-program yang lahir dari sistem ini salah satunya adalah program moderasi beragama, yang sejatinya hanya akan melahirkan kebebasan yang tanpa batas.
Wajar jika kemudian pernikahan beda agama ini subur bak jamur di musim hujan. Akan terus bermunculan manakala negara mendukungnya dengan menggunakan payung HAM atau beragam dalih lainnya. Mungkinkan pernikahan seperti ini akan membawa ketenangan apatah lagi keberkahan?
Pandangan Islam Terkait Nikah Beda Agama
Bagi umat Islam menikah bukanlah sekadar menyalurkan nafsu biologis semata, melainkan salah satu bentuk ibadah, demi meraih keridaan sang pemilik raga. Menikah bukan hanya atas dasar cinta, namun Islam menganjurkan memilih pasangan hidup salah satunya karena agamanya. Landasan akidah yang kuat adalah bekal utama keluarga dalam mengarungi kehidupan demi meraih keberkahan.
Menikah dengan yang berbeda agama akan dapat menjerumuskan ke dalam jurang kemusyrikan. Bagaimana tidak, satu atap tapi berlainan akidah. Tentu akan sulit untuk bisa mewujudkan kebahagiaan hakiki, yakni rida Allah Swt. Rida Allah didapatkan ketika suami istri sama-sama bertaqwa dan taat kepada Allah. Menjalankan biduk rumah tangga pun akan mudah manakala satu akidah, termasuk dalam hal mendidik anak. Bahkan ketika meninggal dunia pun, tidak akan ada anak-anak yang mendoakan karena satu keluarga bermacam-macam agama atau keyakinan.
Islam sangat menjaga akidah umat melalui syariat-syariatnya. Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 221, "Janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak hitam yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”. Ayat ini dengan tegas mununjukan keharaman menikah dengan orang musyrik.
Sementara itu, terdapat perbedaan hukum antara pria muslim dan wanita muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. “Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang mukmin dan perempuan yang menjaga kehormatan nya dari Ahlul Kitab sebelum kalian.” (QS al-Maidah (5) :5).
Namun hal yang patut dicatat, hukum mubah (kebolehan menikahi ahlul kitab) bukan berarti harus dikerjakan. Sebab dalam memilih istri, Rasulullah Saw. mendorong pria muslim untuk lebih memperhatikan aspek agamanya. Beliau bersabda: "Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu beruntung.” (HR al Bukhari).
Sebaliknya, haram wanita muslimah menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Allah SWT berfirman dalam QS al Mumtahanah (60) :10); “Jika kalian mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka”.
Islam begitu sempurna mengatur syariat pernikahan, tak lain demi kebaikan dan keselamatan umat, dunia dan akhirat. Namun hari ini di bawah sistem Sekulerisme-liberalisme, manusia berani membuat aturan sendiri, mengotak-atik ketetapan terbaik yang Allah turunkan. Melegalkan pernikahan beda agama jelas bukan solusi, melainkan membuka masalah baru, yaitu rusaknya tatanan keluarga muslim, bahkan sama saja melegalkan perzinaan seumur hidup, zina hakiki. Na'udzubillah.
Wallahualam bissawab.
Oleh Heni Ummu faiz
Ibu Pemerhati Umat
0 Komentar