Kawasan SCBD akhir-akhir ini telah menyita perhatian. Kedatangan gen Z di Kawasan Dukuh Atas di sekitar Sudirman untuk sekedar membuat konten dan pamer outfit benar-benar menggambarkan kondisi mereka yang kental dengan slogan “no gadget no life”. Hingga muncullah nama-nama seperti Roy, Jeje, Bonge dan sebagainya.
Bahkan sejak berlangsung Citayam Fashion Week, wilayah SCBD kian ramai hingga diplesetkan dengan istilah Sudirman Citayam Bojong Gede dan Depok. Muncul pula istilah-istilah gaul ala gen Z. Fenomena unik ini ada pula yang membandingkannya dengan Harajuku di Jepang.
Salah satunya adalah Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Sandiaga mengemukakan keinginannya untuk menyediakan ruang ekspresi fesyen bagi kaum remaja. “Saya justru ingin memberikan ruang dan peluang bagi mereka ini, bukan hanya menjadi hit atau tren saat liburan sekolah, tetapi bisa seperti Harajuku di Jepang,” demikian kata Sandiaga seperti yang dikutip Antara.(17/07/2022)
Gubernur Anies Baswedan pun angkat suara tentang kehadiran bocah SCBD. Menurutnya Dukuh Atas, adalah ruang bersama untuk berinteraksi. "Singkatnya, kami membangun ruang ketiga memang sebagai tempat menyetarakan dan mempersatukan. Ruang ketiga adalah ruang kita bersama di antara ruang pertama (rumah) dan ruang kedua (tempat kerja/belajar). Silakan semua boleh datang menikmati ruang-ruang publik di Jakarta dengan cara dan ekspresinya masing-masing. Yang penting, jaga kebersihan dan ketertiban. Selamat menikmati ruang ketiga di Jakarta!" pungkasnya.
Namun tentunya fenomena ini perlu disikapi dengan tepat, terutama bagi remaja muslim. Yang jelas ini adalah sebuah fenomena unik yang cukup mengusik. Pertama, fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa remaja kita yang sedang mengalami krisis. Serbuan pemikiran tentang kebebasan di media sosial telah mengubah mindset mereka akan kehidupan. Mereka begitu mendewakan kebebasan dan tak lagi berpikir jernih untuk masa depannya.
Aktivitas yang sekedar main, nongkrong dan membuat konten disebut sebagai aktivitas kreatif menurut sudut pandang orang-orang mendewakan kebebasan. Tapi tentu tidak bagi seorang remaja muslim. Sebab itu terkategori menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Tentu akan lebih baik waktu yang dimilikinya digunakan untuk mencari bekal untuk kehidupan akhiratnya kelak.
Kedua, campur baur dan ikhtilath yang terjadi di kawasan tersebut dalam pandangan remaja muslin jelas bukan hal yang baik dan biasa saja untuk dilakukan. Di dalamnya ada banyak hal yang justru mengantarkan pada kemaksiyatan. Khalwat, penggunaan istilah-istilah yang tak pantas, riya (rasa ingin dipuji) karena outfit yang dikenakannya, serta obrolan yang mungkin mengarah pada ghibah atau aktivitas yang lainnya jelas tak membawa manfaat dunia dan akhirat.
Semua ini hanya mungkin terjadi jika ide kebebasan sudah mandarah daging dan mendapat dukungan baik berupa fasilitas maupun dukungan sistem yang ada. Aktivitas yang jelas kurang bermanfaat dalam pandangan Islam ini lantas dianggap sebagai fenomena biasa dan lumrah saja. Bahkan diapresiasi dengan berbagai pelatihan, bea siswa, pelakunya diundang pada podcast sebagai narasumber dan sebagainya.
Ketiga, aktualisasi diri yang dilakukan para remaja ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa ada persoalan krisis identitas pada diri mereka. Institusi keluarga tak lagi mampu mengarahkan para remaja ini ke arah yang seharusnya. Demikian pula dengan kontrol sosial di tengah masyarakat. Jelas ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Jabodetabek, sedang mengalami problematika yang serius yang menimpa generasi penerus mereka. Dalam kondisi semacam ini seharusnya negara hadir untuk mengembalikan jati diri mereka. Bukan malah sebaliknya, didukung hingga semakin kehilangan arah.
Pembangunan infrastruktur di Jakarta memang harus diimbangi dengan pembangunan mental spiritual, agar jangan sampai sarana dan prasarana yang ada justru dimanfaatkan untuk berbagai kemaksiyatan yang merusak generasi muda yang pada akhirnya kelak akan merusak negara. Wallahua’lam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar