1 Juli 2022 merupakan momentum baru bagi kalangan hartawan untuk sekali lagi merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati layanan listrik PLN. Sebabnya, databox.katadata.co.id pada 14/6/2022 dari Surat Menteri ESDM No. T-162/TL.04/MEM.l/2022 tanggal 2 Juni tentang Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (Periode Juli-September 2022), menyebutkan pembayaran listrik golongan nonsubsidi yakni rumah tangga menengah pada tegangan rendah dengan daya listrik R2/3500 VA, dan golongan rumah tangga besar pada tegangan rendah dengan daya R3/6600 VA dinaikkan tarifnya menjadi 1.699,53 Rp/kWh dari tarif sebelumnya 1.444,7 Rp/kWh.
Tidak hanya itu, tarif listrik golongan pemerintahan pun dinaikkan. Tarif listrik untuk keperluan pemerintahan pada tingkatan sedang dengan tegangan rendah berdaya P1/6600 VA – 200 kVA yang biasanya dipakai pada kantor-kantor selevel Bupati dan Camat naik dari 1.444,7 Rp/kWh menjadi 1.699,53 Rp/kWh. Kenaikan juga terjadi pada tarif pemerintahan dengan keperluan besar pada tegangan menengah dengan daya di atas 200 kVA secara drastis, yakni dari dari 1.114,74 Rp/kWh menjadi 1.522,88 Rp/kWh. Terakhir, tarif listrik untuk keperluan penerangan jalan pun tidak luput dari kenaikan hingga mencapai 1.699,53 Rp/kWh dari tarif sebelumnya 1.444,7 Rp/kWh. Satu hal yang ironis, karena ketiganya adalah golongan yang dibayari oleh pemerintah.
Dengan alasan ability to pay alias gotong royong, dimana yang mampu bayar lebih besar, kebijakan-kebijakan di atas diberlakukan pemerintah. Lantas, dengan alasan apa pemerintah berbagi beban terkait listrik ini dengan masyarakat yang kaya? Apakah tepat pernyataan bahwa kenaikan tarif listrik ini mewujudkan tarif listrik berkeadilan yang artinya, masyarakat yang mampu tidak lagi menerima bantuan dari pemerintah seperti yang dikatakan sebagian orang di pemerintahan?
Kenaikan tarif listrik ini, dengan alasan apapun, tetap menjadi batu besar yang menghadang masyarakat untuk hidup tenang dengan kekayaan yang dimilikinya. Karena penerapan sistem ekonomi yang salah konsep sumber pemasukan dan pengeluarannya, mengakibatkan Indonesia jatuh dalam lubang utang yang begitu dalam, hingga mencapai US$ 409,5 miliar pada April 2022. (cnbcindonesia.com, 22 Juni 2022). Karena itu, segala kebijakan yang memangkas pemasukan atau pengeluaran APBN sering ditemukan.
Sebagai contoh, selain listrik, para hartawan Indonesia juga dibebani pajak penghasilan orang pribadi (bracket) yang lumayan. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan Sri Mulyani bersama dengan Komisi XI DPR, orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas Rp60 juta per tahun wajib membayar pajak sebanyak 5%. Dan paling tinggi, orang yang berpenghasilan Rp5 Milyar per tahun dikenai Pajak Penghasilan (PPh) hingga tarif tertinggi 35%. Kebijakan ini sudah mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2022. (pajakku.com, 7/7/2021). Kebijakan pajak semacam ini secara konkret menambah APBN.
Di sisi lain, berbagai program subsidi dicabut pemerintah, seperti subsidi pupuk dan subsidi minyak goreng curah. Bagi para petani, 1 Juli 2022 menjadi tanggal yang sangat berpengaruh. Sebab, subsidi empat jenis pupuk akan dicabut, yakni pupuk ZA, SP-36, organik cair dan organik padat. Hal ini dibenarkan oleh Perwakilan Pupuk Indonesia Jawa Timur Jeff. (radarbojonegoro.jawapos.com, 8/6/2022). Meski kebijakan ini ditolak berbagai perkumpulan petani di berbagai daerah, nampaknya masih akan terus dilakukan.
Untuk program subsidi minyak goreng curah, pemerintah melalui Kementrian Perindustrian telah resmi menghentikannya melalui Permendag Nomor 30 Tahun 2022 yang mengatur tentang ekspor CPO Permendag nomor 22 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Minyak Goreng Curah Sistem DMO-DPO. Dengan demikian, pencabutan minyak goreng bersubsidi mulai berlaku pada Selasa (31/5/2022) (moneykompas.com, 31/5/2022).
Kebijakan pengurangan subsidi di atas diberlakukan atas dasar menjaga APBN agar tidak terus membengkak di sana sini. Walhasil, orang-orang kaya dan orang miskin di Indonesia sama-sama diperas, hanya dengan cara yang berbeda. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang-orang kaya menyimpan hartanya di bawah bantal atau di brankasnya sendiri, atau bahkan dibawa ke luar negeri akibat ketidaknyamanan di Indonesia. Pengampunan pajak sejak 2016 tidak digubris, bahkan diduga sebagai jebakan untuk memeras hartawan.
Demikianlah kehidupan orang kaya dalam dunia kapitalisme. Menciptakan keberadilan di tengah masyarakat dengan menaikkan tarif berbagai kebutuhan sehari-hari orang-orang kaya menjadi beban tersendiri bagi orang-orang kaya. Ditambah dengan sikap individualis dan kapital oriented, tampak jauh panggang dari api, sehingga ia bukan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan APBN negara.
Beda halnya dengan Islam, para hartawan justru menjadi sahabat pemerintahan, dalam hal ini daulah Islam untuk menyejahterakan masyarakatnya. Islam dibangun berdasarkan keyakinan kuat dan mengakar bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya dengan segala apa yang dimiliki, termasuk harta. Islam juga memberikan aturan main yang benar di dalam sistem pemungutan harta oleh negara, dengan dorongan beramal shalih, sehingga tidak ada ketidakadilan kepada orang-orang kaya.
Pada dasarnya, daulah Islam dilarang mengambil harta rakyat tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Di antara pungutan yang dibenarkan syara’ dari orang-orang kaya adalah zakat maal, serta kharaj atas penggunaan tanah kharaj dan zakat dari produk nyata penggunaan tanah usyriyah.
Adapun pajak, hanya diberlakukan atas suatu kondisi krisis, dan negara tidak dapat memenuhi kebutuhan vital seperti memenuhi biaya fakir, miskin, ibnu sabil, pelaksanaan kewajiban jihad, menggaji para pegawai, gaji tentara, dan santunan para penguasa. Selain itu, pajak juga bisa digunakan untuk membangun sarana-sarana vital seperti sekolah, rumah sakit, masjid, dan jalan raya. Biaya pajak juga dapat alokasikan untuk bencana alam yang tak terduga.
Negara hanya berhak mengambil pajak untuk keperluan yang menjadi kewajiban umat. Sehingga, pajak hanya diambil dari orang-orang yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya, setelah pemilik harta memenuhi kebutuhan orang-orang yang ditanggungnya secara lazim. Pajak tidak diambil jika tidak ada kondisi yang dijelaskan sebelumnya, tidak juga dirutinkan sebagaimana hari-hari sekarang ini.
Bagi warga nonmuslim laki-laki yang mampu, dipungut harta jizyah setiap tahunnya. Sementara wanita dan anak-anak tidak dikenai jizyah. Untuk balasannya, negara memberikan jaminan keamanan, pendidikan, dan kesehatan, serta pekerjaan bagi warga nonmuslim tersebut. Masya Allah, begitulah daulah Islam meriayah mereka.
Dalam hal pengeluaran harta di luar kewajiban di atas, Rasulullah saw telah mencontohkan bagaimana sistem pemberdayaan umat dibangun dengan baik pada saat hijrah beliau ke Madinah. Rasulullah mempersaudarakan sahabat yang berasal dari Madinah yang memiliki pekerjaan, tempat tinggal dan kehidupan baik dengan sahabat dari Mekah yang tidak punya harta benda akibat hijrah di jalan Allah. Rasul juga mempersaudarakan sesama orang Mekkah agar saling membantu satu sama lain.
Dalam hal infaq, para sahabat dimotivasi sedemikian rupa hingga Utsaman bin Affan mampu berinfaq hingga 1.000 dinar untuk persiapan perang. Abdurrahman bin Auf pernah menginfakkan setengah dari hartanya pada zaman Rasulullah saw, lalu menambahinya lagi dengan 40 ribu dinar, lalu ditambah lagi 500 ekor kuda dan 500 ekor unta.
Dalam Islam, orang juga boleh kaya, selama diusahakan dengan jalan yang dibenarkan syariah, serta dikeluarkan sesuai syariah Islam. Mereka tenang dengan sistem syariah yang diterapkan secara komprehensif, sebab tidak ada pungutan di luar syariah Islam. So, jika saat ini masih bertahan dengan sistem kapitalisme, akankah tetap bertahan? Ataukah bersiap menyongsong Khilafah yang Allah Ridhoi dan dijanjikan ada kembali? Wallahu A’lam bishawab.
Penulis: Annisa Al Munawwarah (Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)
0 Komentar