Gunting Pita Hasil Kerja Penguasa ala Demokrasi: Klaim atau Prestasi?



Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan akhirnya melaksanakan grand launching Jakarta International Stadium (JIS) pada 24/7/2022. Dengan bangga, dia mengklaim Stadion JIS adalah bukti salah satu janjinya yang sudah dituntaskan ketika awal-awal menjabat Gubernur DKI pada 2017 lalu. Menurutnya, stadion berkapasitas 82 ribu penonton itu bukan hanya sebuah bangunan mahakarya, tapi merupakan wujud sebuah mimpi. Anies menyebut mimpi tersebut kini dapat diraih dengan kerja keras, meski berbagai pihak mulanya mengolok dan pesimis JIS bisa berdiri (liputan6.com, 24/7/2022).

Namun faktanya, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi Gerindra, Mohamad Taufik menjelaskan bahwa sejarah singkat didirikannya JIS sudah direncanakan sejak era Gubernur DKI Sutiyoso. Taufik yang saat itu juga menjadi petinggi klub sepak bola Persitara Jakarta Utara mengusulkan ke Sutiyoso untuk membangun stadion (tirto.id, 2/2/2022).

Sedangkan, berdasarkan berita di laman kompas.com, 22/11/2019, sebenarnya Stadion bertaraf internasional tersebut pertama kali direncanakan pembangunannya saat Jakarta masih di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo (Foke). Pada tahun 2008, Foke berencana membangun stadion di atas taman Bersih Manusiawi Berwibawa (BMW) di Jakarta Utara. Taman BMW adalah aset pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta dari utang pendanaan fasilitas sosial dan umum dari tujuh perusahaan swasta, yakni PT Astra International Tbk, Grup Agung Podomoro, PT Prospect Motor, PT Indofica Housing, PT Subur Brothers, REAM PD Pembangunan Jaya, dan PT Yakin Gloria Inc. Namun, pembangunan stadion tidak pernah dimulai sebab terjadi sengketa lahan. Intinya, JIS bukan program kerja murni gagasan Anies Baswedan. Tetapi, merupakan program jangka panjang pembangunan DKI.

Anies juga menyebut pendanaan JIS tidak berasal dari perusahaan tertentu, melainkan dari pajak warga Jakarta. Karenanya, seluruh warga DKI Jakarta boleh berbangga sekaligus bersyukur atas pembangunan JIS. Tetapi, ternyata JIS dibangun tidak sepenuhnya menggunakan dana APBD pemprov DKI Jakarta. Sekitar 80 persen anggaran pembangunan JIS justru menggunakan pinjaman dari pemerintah pusat. Dana dikucurkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari Pemerintah Pusat.

Euforia peresmiannya beberapa waktu lalu mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi PDIP, Gilbert Simanjuntak menilai ungkapan mahakarya oleh Anies terkesan bernuansa politis untuk kampanye di Pemilu tahun 2024. Senada dengan itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad menilai berdirinya stadion JIS bisa menjadi kendaraan politik Gubernur Jakarta Anies Baswedan menuju gelaran Pilpres 2024 mendatang.

Peresmian JIS sepertinya menjadi icon politik bagi Anies Baswedan. Berdirinya bangunan megah itu seolah menjadi prestasi tersendiri selama dia menjabat gubernur DKI Jakarta. Padahal jika kita lihat kondisi wilayah Jakarta maupun warganya, masih banyak sekali program dan kebijakan yang perlu dibenahi.

Tidak jauh dari JIS, wilayah pesisir Jakarta Utara masih dikelilingi daerah kumuh. Bahkan, CNNIndonesia.com, 28/5/2019, mewartakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut sebanyak 39 persen dari 50 persen Kawasan kumuh di Jakarta, terdapat di Jakarta Utara. Selain itu, hanya dengan menempuh perjalanan selama 49 menit dari JIS, tiga wilayah di Muara Angke, yakni Blok Eceng, Blok Limbah dan Blok Empang hingga kini mengalami krisis air. Padahal, JIS konon telah mengantongi predikat Greenship Platinum Level.

Sesungguhnya, lokasi JIS bertahta juga tidak luput dari sorotan pakar lingkungan. Berdasarkan lokasinya, JIS berdiri di atas lahan kritis berpasir dan berlumpur yang seharusnya tidak boleh berdiri bangunan besar. Begitupun dengan gedung-gedung pencakar langit yang tersebar di wilayah Jakarta yang ternyata berdampak buruk terhadap lingkungan.

Belum lagi banjir yang kerap menggenangi sebagian besar wilayah Jakarta. Masalah kemacetan, pengangguran, polemik besaran UMP, PPDB yang rumit, mafia tanah, kenakalan remaja, L98T, pungli, polisi, sampah, korupsi di berbagai proyek pemerintahan di pemprov DKI, proyek mangkrak, dll.

Namun, begitulah kelucuan yang terjadi di panggung politik demokrasi. Jangankan masyarakatnya, para penguasa sendiri antara sadar dan tidak bahwa mereka sesungguhnya tidak benar-benar berkuasa. Mengapa? Karena serentetan program dan kebijakan yang mereka jalankan di bawah pengaruh "invisible hand". Penguasa di alam Demokrasi tidak bisa benar-benar menciptakan karya yang bermanfaat bagi rakyat dunia-akhirat.

Bahkan tidak jarang mereka terjebak jargon-jargon yang mereka buat sendiri. Seperti slogan "Jakarta Kota Kolaborasi". Alih-alih memberi ruang kepada masyarakat luas untuk turut serta dalam pembangunan Jakarta, pemprov justru banyak melibatkan para pengusaha dalam membangunan kota Jakarta. Kran investasi semakin deras. Maksud hati membantu terlaksananya program pemerintah, pemimpin asuhan sistem demokrasi sekuler kapitalisme justru menciptakan jurang yang lebar antara pemodal dan rakyat. Alhasil, harga-harga menjadi mahal.

Selain itu slogan Jakarta Rumah Bersama yang baru-baru ini dicetuskan Anies. Dilansir dari akun Instagram Anies Baswedan, dia menulis "Rumah untuk Semua". Dalam captionnya yang dikutip SINDOnews pada Senin (6/12/2021), Anies menyatakan bahwa kemajuan harus memanusiakan. "Memberikan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi semua warganya. Tanpa itu semua, solidaritas dan persatuan warga akan mustahil terwujud", tulisnya.

Pada akhirnya, jargon tersebut membuat pemprov kesulitan menagani para waria dan menjamurnya kaum L98T, juga fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang mengganggu kenyamanan warga sekitar. Meski kabarnya mulai ditutup, tapi pemprov berjanji mencarikan lokasi lain untuk kegiatan semisal CFW (kompas.com, 25/7/2022). Bukannya ditertibkan dan diarahkan, jajaran pemangku kebijakan malah tidak mau kalah adu outfit di sana.

Begitulah secuil gambaran penguasa yang dilahirkan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Hanya fokus pada pembangunan fisik tanpa peduli pembangunan manusia. Kalaupun ada, tidak lebih dari perannya sebagai penggerak perekonomian negeri.

Mereka sibuk menggagas proyek-proyek pemanis yang terkesan asal jalan. Parahnya, setiap kegiatannya juga sarat nuansa bagi-bagi kue kekuasaan. "Lips servis" menjadi jurus ampuh mendukang suara. Mereka sibuk pencitraan, namun minim prestasi. Mereka tidak independen dan tidak bisa menunjukkan jati diri mereka seutuhnya. Tidak heran jika kepentingan rakyat diabaikan.

Sangat amat berbeda dengan pemimpin yang dilahirkan dari sistem shahih, yakni sistem Islam. Para pemimpin Islam sangat menginspirasi dan layak menjadi teladan umat sepanjang zaman. Kisah kepemimpinan mereka tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam. Kepribadiannya mencerminkan ketakwaan kepada Allah SWT. Alih-alih sibuk pencitraan dan obral janji, mereka justru tenggelam dalam rasa takut yang amat dalam pada syariat Allah.

Kebijakan yang mereka terapkan tidak akan keluar dari koridor syariat Islam dan dipastikan tidak menzalimi rakyatnya. Mereka melayani kepentingan rakyat seperti seorang penggembala. Mereka memiliki integritas tinggi sehingga tidak akan sudi diatur oleh siapapun selain aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sehingga, program dan kebijakan yang dibuat pun jelas sangat dirasakan manfaatnya oleh umat, bukan sekadar klaim.

Contohnya adalah Masjid Cordoba yang saat ini berubah menjadi gereja atau katedral. Masjid ini pertama kali dibangun oleh Khalifah Muslim Abdurahman I pada 787 Masehi. Pembangunannya terus dilakukan oleh para khalifah penerusnya. Selain itu, ada Istana Al Hambra dibangun oleh Sultan Muhammad bin Ahmar, raja bangsa Moor yang berasal dari Afrika Utara, pada abad ke-12, dll.

Namun sayang seribu sayang, pemimpin dambaan seperti itu tidak akan ditemui di sistem hari ini yang rusak dan merusak. Pemimpin yang cinta rakyat sepenuh hati hanya bisa ditemui jika suatu negeri menetapkan aturan Allah secara sempurna. Oleh karenanya, tidak tergerakkah hati kita untuk hijrah dari sistem bobrok demokrasi kapitalisme ke sistem Islam yang benar buatan Allah SWT Sang Pencipta? Wallahualam bishawab.


Penulis: Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar