Ibu Bekerja Sejahtera Bersama RUU KIA?



RUU KIA diibaratkan oleh pengusungnya bak angin surga bagi ibu bekerja. Bagaimana tidak, ibu bekerja biasanya berada dalam dilema ketika melahirkan. Antara rasa tidak tega meninggalkan anak seharian bekerja dengan rasa tanggung jawab akan pekerjaan yang telah disanggupi.

RUU KIA hadir seakan menjawab dilema ini. Ketika ia ditetapkan sebagai UU, maka jatah cuti melahirkan ibu akan bertambah menjadi 6 bulan. Sebelumnya hak cuti ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Dalam UU tersebut cuti melahirkan diberikan selama 3 bulan saja.

Di lain pihak, ayah pun diberikan hak cuti juga. Jika istri melahirkan, maka ayah berhak cuti selama 40 hari guna menemani istri. Sedangkan ibu yang mengalami keguguran mendapatkan cuti 1,5 bulan untuk pemulihan. Selama cuti, ibu dan ayah juga akan tetap mendapatkan gaji. Sepertinya indah, bukan?

Fatamorgana

Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang akan mengatur cuti melahirkan enam bulan akan disahkan jadi inisiatif DPR pada sidang Paripurna, Kamis (30/6). Ketua DPR RI, Puan Maharani, berharap pembahasan RUU tersebut berjalan lancar sehingga bisa menjadi pedoman dalam mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak. Menurutnya, RUU KIA penting untuk mengatur percepatan kesejahteraan keluarga, terutama kesejahteraan ibu yang melahirkan. "Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memajukan SDM bangsanya lewat kesejahteraan keluarga tiap-tiap rakyatnya," katanya. (www.cnnindonesia.com)

Cuti melahirkan lebih lama dikatakan oleh Puan ditujukan agar ibu bisa beristirahat lebih lama pasca melahirkan serta bisa menyusui bayinya hingga lulus ASI eksklusif. Pada dasarnya, perubahan itu menjadi wacana lantaran memperhatikan kondisi fisik dan psikis ibu pasca-melahirkan, serta untuk meningkatkan hubungan antara orang tua dan buah hati.

Hal ini bisa saja kita pahami sebagai usaha Indonesia untuk menekan AKI (Angka Kematian Ibu), AKB (Angka Kematian Bayi), serta angka stunting pada balita yang cukup tinggi. Dekan FK Unair Prof. Dr. Dr. Budi Santoso Sp.OG (K) mengatakan bahwa sebelum tahun 2021, rata-rata kematian ibu di Indonesia angkanya 4.000-4.900an. Rupanya, hingga 27 Desember 2021 angkanya sudah menginjak 6.800an di Indonesia.  (www.detik.com).

Sedangkan nilai AKI sendiri pada 2020 sebesar 230 per 100 ribu melahirkan, yang angkanya masih jauh dari target millennium development goals (MDGs) yaitu sebesar 102 per 100 ribu peristiwa melahirkan. Apalagi jika harus mengejar target yang dicanangkan oleh SDGs yaitu 70/100ribu kelahiran hidup yang harus direalisasikan pada tahun 2030.

Sementara itu, penurunan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih berlangsung lambat. Meskipun AKB pada 2020 telah mencapai 21 kematian per 100 ribu kelahiran, tren penurunannya masih lambat. (www.cnnindonesia.com) Di lain pihak, Indonesia masih harus mengejar target SDGs 2030 untuk AKB sebesar 12 per 1000 kelahiran hidup.

Angka stunting pada balita juga masih cukup tinggi walau berangsur-angsur mengalami penurunan. berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4% (5,33 juta balita). Wapres RI, K.H. Maruf Amin, menyatakan bahwa pada tahun 2024 angka prevalensi stunting harus berada pada posisi 14%. (www.stunting.go.id)

Angka-angka di atas cukup menggambarkan bahwa PR bangsa ini masih cukup berat. Lalu, efektifkah penambahan cuti selama 6 bulan bagi ibu bekerja untuk menyusutkan bahkan menolkan semua angka tersebut? Apakah benar juga ibu dan anak serta suami akan sejahtera pasca pengesahannya? Ataukah itu hanya sekedar fatamorgana?

Alih-alih jadi solusi, wacana RUU KIA malah menuai pro-kontra. Serikat Pekerja berada kubu yang pro. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan usulan itu merupakan inisiatif riil untuk melindungi pekerja perempuan dan bayi yang dikandung agar lahir sehat dan mendapatkan perawatan pada saat kelahiran hingga proses menyusui.

Sementara para pengusaha berada pada kubu kontra. Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan DPN Apindo Myra Hanartani menyatakan keberatannya. Menurutnya, RUU KIA akan menjadi pukulan bagi para pengusaha yang baru merangkak bangkit dari hantaman pandemi.

Cuti 6 bulan bagi ibu melahirkan disebut akan membuat perusahaan tidak hanya kesulitan membayar gaji mereka selama tidak bekerja, tetapi juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperkerjakan orang lain yang mengisi posisi pekerja yang cuti untuk sementara waktu. Demikian juga cuti 40 hari untuk ayah akan membebani pengusaha. (http://www.cnnindonesia.com)

Jika RUU ini disahkan, Myra menilai justru akan terjadi diskriminasi bagi perempuan. Pengusaha menjadi enggan menerima pekerja wanita dan lebih memilih pekerja laki-laki. Padahal saat ini banyak wanita yang jadi tulang punggung keluarga. Kalaupun tidak, ia tetap harus menanggung kebutuhannya sendiri.

Di sisi yang lain, RUU KIA ini pun terlihat setengah hati untuk menangani permasalahan ibu dan anak. Untuk masalah stunting saja, idealnya anak didampingi ibu selama 1000 hari pertama
kehidupannya bukan hanya sekedar 6 bulan atau 180 hari. Apalagi untuk penuntasan stunting, AKI, AKB ini urusannya bukan hanya sekedar hadirnya seorang ibu di sisi anaknya. Tapi perlu ada penjaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar individu yaitu sandang, pangan, papan serta kebutuhan komunal berupa pelayanan kesehatan, keamanan, dan pendidikan.

Selain itu, RUU KIA yang mengatur cuti ibu bekerja saja tidak menyentuh akar permasalahan. Yaitu, kenapa kaum ibu harus bekerja hingga meninggalkan peran utamanya sebagai ibu pendidik dan manajer dalam rumah tangganya? Hingga muncul dampak-dampak ikutan seperti anak tak terurus, keretakan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Kalau kita mau jujur melihat, kaum ibu melakukan hal yang sejatinya tidak sesuai fitrahnya itu karena tidak adanya penjaminan nafkah bagi perempuan, tertutup peluang kerja untuk laki-laki, serta adanya kemiskinan alias tidak sejahtera. Semua ini terjadi, karena kita menyerahkan pengaturan hidup ini kepada ideologi kapitalisme.

Ide dasar kapitalisme yang dikembangkan oleh Adam Smith adalah membiarkan sikap rakus dan individualistis manusia. Kerakusan dianggap baik karena akan menimbulkan pertumbuhan. Sikap rakus ini perlu dibebaskan, tak perlu dikekang. Sehingga aturan main dalam kehidupan berekonomi haruslah dibuat mengikuti mekanisme pasar bebas. Siapa yang kuat dia yang menang. Yang lemah siap jadi pecundang dan jadi budak bagi pemenang. Tidak ada mekanisme mendapatkan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan selain mekanisme ini. Semua harus terjun ke dalam gelanggang pasar bebas jika masih ingin bertahan (hidup), termasuk perempuan.

Agar sistem sadis ini tetap terlihat humanis, maka dimunculkanlah program-program ala politik etis seperti program SDGs atau RUU KIA ini. Program yang sepertinya berpihak pada rakyat, padahal sejatinya kedok agar sistem kapitalisme tetap dapat tempat di hati rakyat. Setelah itu, mereka memanfaatkan program itu untuk kepentingannya dan tetap menjalankan aksi rakusnya.

Dari sini terlihat, bahwa angin surga sejahtera RUU KIA itu hanya fatamorgana. Karena tidak bisa menyentuh akar masalah dan justru mempertahankan biang masalah yaitu penerapan ideologi kapitalisme.

Hakiki

Kesejahteraan hakiki hanya akan diraih jika Islam yang mengayomi manusia di bumi ini. Islam dengan politik ekonominya mengatur urusan kesejahteraan manusia dengan sangat baik. Dalam politik ekonomi Islam dijelaskan jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang dengan pemenuhan secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya.

Dalam mekanisme pemenuhannya, ada hukum-hukum yang menyeru individu untuk melakukan kegiatan yang bisa mendatangkan harta guna membeli berbagai kebutuhannya, seperti bekerja atau berbisnis. Dan, seruan wajib bekerja mencari nafkah ditujukan kepada kaum lelaki, untuk wanita status hukumnya mubah/boleh saja. Jadi wanita boleh bekerja atau pun tidak. Sementara nafkahnya ditanggung oleh laki-laki yang menjadi suami atau walinya.
Allah SWT berfirman:

…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …

Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Selain itu, masih ada lapisan penyangga jika pilar pemberi nafkah utama yaitu suami atau ayah tiada. Lapisan itu adalah wali dari kaum kerabat. Jika lapisan itu pun tak ada maka negaralah yang akan menanggung nafkah dari kaum wanita. Jika hukum ini diberlakukan, tidak ada kondisi yang mewajibkan wanita untuk keluar bekerja demi nafkah diri dan keluarga. Tak akan ada juga problematik yang dialami anak-anak dan keluarga akibat pengabaian peran utama wanita.

Agar semua ini terlaksana, maka wajib ada mekanisme penjaminan dari negara dengan menciptakan iklim kondusif bagi laki-laki dan wanita agar bisa melaksanakan perannya dengan sempurna. Negara juga harus mengelola kekayaan milik umat dan negara dengan sistem ekonomi Islam agar bisa menyelenggarakan penjaminan pemenuhan kebutuhan individu dan komunal.

Inilah sekilas gambaran jaminan kesejahteraan hakiki bagi wanita dan seluruh umat manusia. Bukan kaleng-kaleng, apalagi tipu-tipu.


Penulis: Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar