Industrialisasi Miras Tumbuh Subur di Alam Kapitalis Liberal



Persoalan miras terus bergejolak di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ironis memang, miras yang merupakan minuman memabukkan dan diharamkan serta menjadi induk segala macam kejahatan, beredar bebas di negeri ini. Kita dengan mudah melihat miras diperjualbelikan di supermarket bahkan minimarket yang sangat dekat dengan pemukiman masyarakat.


Kafe Elvis yang sebelumnya bernama Holywings dicabut izin operasionalnya oleh pemerintah kota (Pemkot) Bogor. Kafe yang berada di jalan Pajajaran ini terbukti kuat melakukan pelanggaran berat yaitu menjual alkohol di atas 5 persen dan juga dianggap pergantian Holywings menjadi Elvis tidak melalui prosedur yang baik, serta tidak membangun situasi yang kondusif. (detiknews, 01/07/2022)


Pencabutan izin operasional eks-Holywings memang banyak menuai pro dan kontra. Kalangan yang kontra menganggap bahwa pencabutan izin ini mengakibatkan pekerja di kafe tersebut akan kehilangan sumber mata penghasilan mereka. Untuk mengatasi pekerja yang terdampak penutupan Kafe Elvis ini, pemkot Bogor akan melakukan komunikasi agar Dinas Ketenagakerjaan Kota Bogor bisa menfasilitasi pekerja kafe tersebut.


Polemik penutupan Kafe Elvis ini seharusnya tak perlu terjadi apabila bisa bersikap tegas terhadap peredaran minuman beralkohol (miras), yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Namun sayangnya, ketidaksinkronan antara aturan pemerintah pusat dan daerah yang rentan mengakibatkan peraturan bisa berubah-rubah dan tumpang tindih. Sehingga pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan menjadi sesuatu yang biasa.


Apalagi Kota Bogor dikenal sebagai kota wisata yang banyak menyerap wisatawan asing untuk berkunjung di kota hujan ini. Sebagai kota wisata tentu menyajikan berbagai macam pelayanan yang membuat 'nyaman' para wisatawan terutama yang berasal dari mancanegara. Miras pun menjadi salah satu pelengkap pelayanan yang 'harus' ada. Sehingga hal ini tentu menjadi peluang besar bagi pengusaha untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah yang melimpah.


Keberadaan kota wisata dalam balutan sistem kapitalis yang bertahta saat ini, telah menjadikan miras bak saudara kembar dengan industri wisata. Wisata dalam pandangan sistem yang menuhankan materi sebagai asasnya, bukan sekedar menikmati keindahan alam semata, melainkan miras menjadi teman pendamping dalam berwisata.


Selain itu, miras menjadi minuman yang sering dikonsumsi oleh wisatawan asing. Mau tidak mau, suka tidak suka, miras pun 'harus' tersedia untuk menambah kenyamanan berwisata. Sehingga sangat sulit rasanya memberangus peredaran miras selama masih ada yang mengonsumsinya. Inilah yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis yang dikenal dengan teori supply and demand (permintaan dan penawaran).


Hal inilah yang menjadikan industrialisasi miras semakin merajalela. Walaupun berbagai aturan dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi keberadaannya, tak lantas peredaran miras kehilangan ruang gerak untuk menemukan pangsa pasarnya. Para pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis haram ini berjuang keras agar miras bisa dikonsumsi dengan dalih kearifan lokal dan dalih-dalih lain yang mengandung asas manfaat ala mereka.


Produk hukum dalam sistem kapitalis rentan untuk dimanipulasi dalam rangka memuluskan kepentingan para pengusaha yang berada di balik bisnis miras. Demi “meraih kemanfaatan”, mereka menghalalkan segala cara agar bisnis miras ini bisa berjalan sesuai keinginan mereka. Dengan menggandeng penguasa kapitalis, mereka berkolaborasi dalam jalinan hubungan simbiosis mutualisme.


Tanpa mengindahkan dampak dari adanya industri miras, mereka pun menutup mata dari berbagai macam kejahatan yang semakin merajalela akibat miras yang dapat menghilangkan akal sehat manusia. Masa depan generasi pun dipertaruhkan. Potret kerusakan generasi semakin nyata di depan mata. Hal ini menunjukkan bahwa selama sistem kapitalis liberal masih bercokol di negeri ini, maka industri miras akan semakin tumbuh subur bak jamur di musim hujan. 


Negara pun seakan bertekuk lutut dan tidak berdaya melawan kekuasaan sistem kapitalis yang memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk mendapatkan keuntungan. Peran negara sebagai pelindung dan penjaga rakyat --dari marabahaya yang ditimbulkan dari keberadaan miras-- tak nampak wujudnya dalam sistem ini. Karena pada hakikatnya, negara hanya berperan sebagai pelayan dan pelindung bagi kepentingan para kapital/korporasi.


Penjagaan sepenuh hati kepada rakyat yang menjadi tanggung jawabnya hanya dapat terwujud dalam sistem Islam (khilafah). Khilafah berperan secara langsung dalam menjaga akal dan jiwa rakyatnya. Kesempurnaan seperangkat hukumnya saling terkait untuk melakukan penjagaan ini. Karena akal adalah wasilah bagi seorang muslim untuk melaksanakan taklif hukum yang dibebankan kepadanya.


Miras (khamr) adalah minuman memabukkan yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran/akal sehatnya. Dalam kamus Al-Muhith disebutkan, ”Khamr adalah sesuatu yang memabukkan dan diproduksi dari perasan anggur atau yang selainnya. Keharaman khamr secara mutlak dan tidak ada perbedaan dikalangan ulama terkait hal ini. Banyak nas al-Qur’an dan al-Hadis yang menunjukkan keharamannya. Allah swt. berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman! Sungguh minuman keras, berjudi (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kalian beruntung” (QS Al-Maidah : 90)


Selain itu, Allah swt. juga menyebutkan dampak negatif dari khamr dan judi bagi manusia, yaitu dapat menimbulkan kerusakan sosial dan melalaikan dari mengingat Allah, seperti melalaikan salat. Keharaman khamr bersifat mutlak, bukan hanya dikonsumsi banyak atau sedikit, ataukah memabukkan atau tidak. Rasulullah saw. bersabda, ”Setiap yang memabukkan adalah haram. Apa saja yang banyaknya membuat mabuk, maka sedikitnya pun adalah haram” (HR Ahmad).


Bukan hanya yang mengonsumsi miras, syariat Islam juga mengharamkan aktivitas yang berkaitan dengannya. Dalam suatu riwayat dinyatakan, "Rasulullah saw. telah melaknat tentang khamr sepuluh golongan: 1 pemerasnya, 2 yang minta diperaskan, 3 peminumnya, 4 pengantarnya, 5 yang minta diantarkan khamr, 6 penuangnya, 7 penjualnya, 8 yang menikmati harganya, 9 pembelinya dan 10 yang minta dibelikan” (HR At Tirmidzi).


Begitu banyak fakta kemudaratan yang ditimbulkan miras bagi manusia. Oleh karena itu, Islam mencegah hal ini sebagai bagian dari kemuliaan syariat Allah dalam memberikan perlindungan pada akal manusia. Dalam sistem khilafah tidak ada tempat bagi barang yang haram. Sesuatu yang haram, wajib dimusnahkan. Pelanggaran atas hal ini akan membawa konsekuensi berupa sanksi yang berat bagi para pelakunya.


Dalam buku sistem pidana dalam Islam (Nidzam al Uqubat), peminum khamr dijatuhi sanksi pidana berupa hudud yaitu dicambuk 40 kali atau 80 kali cambukan. Khilafah akan memastikan tak ada satupun pihak yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan khamr. Oleh sebab itu, industri miras tidak pernah ada dalam sistem khilafah, begitu juga dengan bisnis jual beli miras, jasa pengangkutan, kafe dan hal-hal lainnya yang berkaitan.


Demikianlah bentuk penjagaan khilafah agar tak ada yang melanggar hukum Allah swt. Umat senantiasa diarahkan dan didorong untuk selalu taat dan beribadah hanya kepada Allah swt. sebagai sang penciptanya. Dorongan akidah ini mampu memahamkan umat bahwa tujuan penciptaannya di dunia ini adalah untuk beribadah.


Syariat Islam dengan segala kebaikan yang terkandung didalamnya, diterapkan secara kafah dalam bingkai khilafah. Penerapannya secara kafah akan menghantarkan umat manusia pada jalan kebahagiaan. Sistem Islam sangat layak dijadikan solusi satu-satunya untuk mengatasi problematika kehidupan manusia, menggantikan penerapan sistem batil produk lemahnya akal manusia. 


Penulis : Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar