Istilah Ngerum, Rum ataupun Ruum merupakan istilah yang sering muncul saat mendengar ataupun membaca kisah tanah Jawa ratusan tahun lalu. Bahkan istilah ini muncul di daerah sekitaran Nusantara bukan hanya Jawa. Beberapa bukti kisah dan jejak peninggalannya masih dapat ditemukan hingga hari ini.
Pertama, peninggalan sebuah gentong besar (enceh) yang terdapat di makam para raja Mataram, Imogiri, Yogyakarta. Salah satu enceh yang bernama Kyai Mendung juga berasal dari Ngerum.
Di Imogiri terdapat empat buah enceh yang semuanya merupakan pemberian kepada Sultan Agung dari empat kesultanan yang berbeda. Enceh Kyai Danumaya merupakan gentong yang berasal dari Kerajaan Palembang. Enceh Kyai Danumurti berasal dari Kerajaan Aceh. Enceh Kyai Mendung berasal dari Kerajaan Ngerum. Terakhir, Enceh Nyai Siyem berasal dari Kerajaan Siam atau Thailand.
Untuk menghormati kesemua sultan yang memberikan enceh tersebut, sampai saat ini keempat enceh itu masih terpelihara dengan baik. Setiap tanggal 1 suro atau 1 Muharam, semua gentong besar itu dikuras. Konon, keempat enceh ini digunakan untuk berwudu oleh Sultan Agung.
Kedua, bukan hanya di Imogiri saja sebutan Ngerum muncul, ada beberapa tulisan atau lebih tepatnya sastra Jawa karya para pujangga terdahulu juga menyebutkan kata tersebut. Seperti Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga paling otoritatif dari Keraton Surakarta.
Dalam karya itu diceritakan bahwa tokoh Ajisaka, seorang dari India yang berumur panjang diperintahkan oleh Sultan Algabah dari Ngerum untuk membina pulau Jawa (JejakIslam.net). Walaupun keberadaan Sultan Algabah dan sosok Ajisaka sendiri merupakan hal yang masih dalam perdebatan, namun kata Ngerum disebutkan dengan gamblang pada karya tersebut.
Ketiga, selain serat Paramayoga, terdapat serat Jangka Jayabaya "Musarar" yang juga muncul kata Rum. Dalam kitab yang tidak diketahui pengaranganya ini menyatakan bahwa, Prabu Jayabaya merupakan raja Hindu titisan Dewa Wisnu yang memiliki guru dari Rum yang bernama Sultan Maulana Ngali Samsujen.
Dalam Musarar juga dinyatakan bahwa sang Prabu Jayabaya merupakan pengikut Rasulullah Muhammad Saw. Hal ini terungkap dalam pupuh I Dandhanggula bait 15 "Yen Islama kadi Nabi ri Sang Aji Jayabaya …” (Jika Islamnya seperti Nabi beliau Sang Raja Jayabaya).
Oleh karenanya, Prabu Jayabaya yang terkenal dengan ramalannya hingga saat ini, menurut Pak Fajarudin, sejarawan Islam, ramalan Jayabaya tersebut bukan sebuah ramalan mistis belaka. Namun ramalan Jayabaya lebih merupakan analisis politik jangka panjang seorang penguasa dan pemikir cerdas.
Dari naskah Musarar, bisa ditangkap bahwa kedatangan Islam ke tanah Jawa membawa suasana baru. Kepercayaan yang dianut sebelumnya pun tidak mempunyai kekuatan dibandingkan dengan Islam yang dibawa oleh ulama dari Ngerum. Tersirat bahwa pasca era Hindu, tanah Jawa menjadi jauh lebih beradab.
Keempat, terdapat karya sastra lain berjudul Jangka Jayabaya Syekh Subakir. Dalam serat ini dikisahkan bahwa seorang Sultan Ngerum memiliki gagasan untuk mengisi kekosongan pulau Jawa dari manusia. Kemudian diutuslah Syekh Subakir untuk mengisi pulau Jawa dan mengusir kekuatan gaib yang dipercaya tengah melingkupi tanah Jawa saat itu.
Dari peninggalan-peninggalan tersebut di atas, maka apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah Rum ataupun Ngerum ini? Karena dari penggambarannya terlihat begitu apik dan menunjukkan keagungan Islam dan erat hubungannya dengan tanah Jawa.
Ternyata disebut sebagai Rum, Ngerum ataupun Ruum karena menunjuk pada sebuah negeri yang terletak di Romawi Timur. Istilah ini banyak muncul di masa Mataram Islam.
Namun kata Rum yang dimaksud bukan Romawi Timur ataupun Byzantium, melainkan Romawi Timur (Konstantinopel) sehubungan telah dikuasai atau tepatnya ditaklukkannya wilayah itu oleh Sultan dari Turki Utsmani.
Ialah Mehmed II atau yang lebih dikenal dengan Muhammad Al Fatih melakukan futuhat pada tahun 1453 M. Sehingga yang dimaksud Rum di sini konteksnya adalah Kesultanan Turki Utsmani.
Pada masa Sultan Mehmed II, Turki Utsmani mendapat mandat dari umat untuk menjalankan sistem pemerintahan khilafah. Daulah Khilafah Utsmaniyah menjalankan mandatnya dari umat dimulai saat Sultan Selim I yang dibaiat menjadi khalifah kemudian terus berganti dan tetap dalam naungan khilafah hingga 1924.
Oleh karenanya yang dimaksud istilah Ngerum di dalam banyak peninggalan berupa tulisan ataupun benda-benda bersejarah adalah Khilafah Utsmaniyah yang berada di Turki. Dengan kekuatan iman, mereka mendakwahkan Islam hingga Nusantara, negeri yang sangat jauh dari Kekhilafahan Utsmani saat itu.
Di bawah komando negara, utusan Turki Utsmani hadir ke Nusantara untuk mencerahkan pemikiran, menyampaikan wahyu, memperdengarkan Alquran, mengajak pada Alhaq. Banyak kalangan bangsawan yang tertarik dengan ajaran Islam kemudian mereka berhijrah sekaligus dengan rakyat dan sistem pemerintahannya.
Perlu diketahui bahwa dakwah ke tanah Jawa dilakukan tanpa jihad. Ini menjadi bukti, bahwa orang-orang Jawa ataupun Nusantara kala itu terbuka dari segala pemikiran yang berkembang.
Bila saat ini banyak yang menyangsikan akan keterbukaan pemikiran masyarakat Jawa dahulu, sastra Jawa tersebut telah menjawabnya. Ketika hari ini semakin marak Islamophobia, tidak lain karena memang ada agenda besar dari musuh-musuh Islam yang ingin menghambat kebangkitan Islam, dengan mengaruskan opini negatif tentang Islam, hingga kaum muslimin merasa asing bahkan takut dengan agamanya sendiri.
Wallahualam.
Penulis Ruruh Hapsari
0 Komentar