Jakarta Kota Global, Grand Desain Kapitalis Internasional


Jakarta dinobatkan sebagai kota global oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Julukan tersebut diungkap Anies pada puncak perayaan HUT ke-495 DKI Jakarta di Jakarta International Stadium (JIS). Anies menjadikan sarana yang berstandar internasional sebagai salah satu indikator yang membuat Jakarta layak sebagai kota global (mediaindonesia.com, 25/6/2022).

Masih menurut laman berita yang sama, fasilitas yang dimaksud antara lain, stadion berstandar internasional, trotoar, pusat seni dan keseniannya, hingga transportasi publik. Pemanfaatan teknologi digital sebagai penunjang pelayanan juga dikatakan Anies sebagai parameter, yakni aplikasi Jakarta Kini (JaKi). Aplikasi ini konon mendapatkan penghargaan di tingkat Asia Tenggara. Selain itu, sebagai tuan rumah penyelenggaraan acara internasional seperti Formula E menjadi alasan Anies mendeklarasikan Jakarta sebagai kota global.

Sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta memang memiliki sejuta pesona. Selain massif-nya pembangunan infrastruktur yang megah, geliat perekonomian dan gaya hidup hedonisme menjadi magnet bagi masyarakat untuk berkunjung atau mengadu nasib. Maka tidak heran, Jakarta dikatakan sebagai "Mini Indonesia".

Namun di balik kemewahan yang tampak, sungguh ada kepiluan yang masih dirasakan warganya. Salah satunya, warga kampung bayam yang terdampak pembangunan JIS. Berdasarkan berita di laman medcom.id, 25/2/2022, walaupun warga Kampung Bayam kerap dijanjikan wacana tentang relokasi dan pembangunan Kampung Susun Bayam. Namun kenyataannya, para warga masih banyak yang tinggal di bedeng dan bangunan di lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Masih belum layak rasanya jika dikatakan sarananya sudah berstandar internasional. Karena kawasan kumuh yang berdekatan dengan stadion megah JIS bukan hanya di Kampung Bayam. Banyak permukiman kumuh lain seperti di Kali Baru, Muara Baru, dan Kampung Dao Pademangan yang lokasinya tidak jauh dari JIS. Bahkan laman CNNIndonesia.com, 28/5/2019, memberitakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut 50 persen wilayah ibu kota adalah area kumuh. Setidaknya sebanyak 39 persen Kawasan kumuh di Jakarta, terdapat di Jakarta Utara.

Perhelatan akbar Formula E yang diselenggarakan di Ancol sejatinya tidak membuat Jakarta menjadi istimewa. Fakta yang belum banyak diketahui warga Jakarta adalah gelaran tersebut sesungguhnya tidak lebih dari ajang promosi mobil listrik yang akan dipasarkan di Indonesia. Halaman media tirto.id, 2/8/2017 menulis bahwa, konsep Formula E yang diprakarsai oleh Jean Todt yakni Presiden Federasi Otomotif Internasional (FIA) adalah sarana untuk mendemonstrasikan potensi mobil listrik sebagai alat mobilitas yang berkelanjutan.

Selain itu, menurut laman fiaformulae.com, 22/4/2021, menulis, sejak pertama kali digagas oleh Jean Todt pada tahun 2011, Formula E masuk dalam enam tujuan pembangunan berkelanjutan PBB atau Sustainable Development Goals (SDGs). Maksudnya, regulasi pelaksanaan Formula E bukan rancangan Pemprov semata. Tetapi, merupakan bagian dari program ekonomi global.

Bangunan seperti trotoar, transportasi publik dan tersedianya berbagai moda transportasi publik menjadi parameter kesejahteraan rakyat Jakarta. Meski Eden Strategy Institute pada 2018, menobatkan Jakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang masuk dalam Top 50 Smart City dari 140 kota dunia, faktanya tidak berpengaruh pada tingginya angka pengangguran, tingkat kriminalitas dan kualitas pendidikan serta kesehatan di Jakarta. Lagi-lagi konsep Smart City merupakan bagian dari program kerja sama dan pintu masuk investor asing ke Indonesia yang didahului Sister City.

Tentu masuknya berbagai program investasi pada pembangunan infrastruktur ke Indonesia tidak lain karena negeri Zamrud Khatulistiwa ini merupakan bagian dari negara-negara di dunia yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Maka, Untuk mencapai SDGs tersebut, perlu adanya sinergi antara swasta dan pemerintah.

Apalagi, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro Jakarta akan menjadi pusat perekonomian, bisnis, dan keuangan bahkan di wilayah ASEAN (asiatoday.id, 29/8/2019). Tentu penyematan Jakarta sebagai Kota Global disiapkan untuk mewujudkan wacana tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejatinya pembangunan dan gelaran akbar di negeri ini tidak lepas dari agenda internasional. Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui program Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memiliki tujuan membangun infrastruktur kuat, mempromosikan industrialisasi berkelanjutan dan mendorong inovasi. SDGs merupakan pengganti program MDGs dan keduanya adalah kepanjangan tangan para kapitalis global menerapkan grand desain untuk negara pengikutnya Hal tersebut tentu sangat berpengaruh pada kebijakan yang dilahirkan penguasa.

Dengan memperhatikan kebijakan tersebut, sangat terlihat keberpihakan pemerintah yang lebih condong pada korporasi. Pemulihan ekonomi yang digadang-gadang bisa terwujud dari banyaknya investasi dan pembangunan tata kota yang modern nyatanya tidak membuat warga sejahtera. Lagipula, banyak fasilitas yang katanya berkelas internasional justru tidak bisa dinikmati secara langsung oleh warga.

Sungguh bagai buah simalakama jika pembangunan tidak berdasarkan wahyu, tapi berkiblat pada aturan demokrasi kapitalisme sekuler buatan manusia. DKI Jakarta yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia sejatinya memiliki banyak potensi sumber daya alam. Sayangnya, pembangunannya tidak dimaksimalkan untuk rakyat. Sehingga bangunan fisik yang terlihat gagah dan modern tidak bisa menutupi derita yang dialami warga ibu kota.

Pembangunan infrastruktur terus digalakkan meski dananya didapat dari utang ribawi. Namun, pembangunan manusia sangat minim dilakukan. Sehingga, walaupun infrastruktur terlihat maju, tapi warganya mengalami kemunduran berpikir. Hasilnya, banyak kita temui fasilitas yang dibangun tidak bertahan lama karena tidak terawat dan terpelihara.

Sangat berbeda dengan infrastruktur kota yang dibuat berdasarkan sistem Islam, sistem shahih buatan Allah SWT. Pesatnya perkembangan Islam, pada abad ke-8 sampai 13 Masehi mampu menguasai berbagai peradaban yang ada sebelumnya. Tidak heran jika peradaban Islam dianggap sebagai salah satu peradaban yang paling maju dan berpengaruh di dunia.

Aturan Islam mewajibkan pemimpinnya mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Asas pembangunannya berdasarkan aturan Al Quran dan assunnah, sehingga prioritasnya jelas. Pembiayaan infrastrukturnya bukan berasal dari investasi asing atau utang, tetapi dari Baitulmal. Sehingga, program yang dibuat penguasa benar-benar untuk kamaslahatan umat, bukan konsekuensi kerja sama dengan pihak swasta maupun asing yang membuat negara kehilangan integritas.

Oleh karena itu, seharusnya pemimpin negeri ini sadar bahwa asas mereka berpijak dalam memimpin negeri ini, ibu kota khususnya merupakan sumber masalah. Sehingga, sekeras apapun mereka ingin mewujudkan kesejahteraan warga hanyalah sia-sia. Maka mencari sistem alternatif wajib diupayakan agar kesejahteraan rakyat benar-benar terwujud.

Karena kita adalah seorang muslim yang wajib berhukum pada Al Quran dan assunnah, sudah sepatutnya para penguasa kembali pada sistem Islam yang akan membawa keberkahan. Dengan menerapkan aturan Islam, bukan hanya Jakarta yang akan menjadi kota global, kota-kota lain di Indonesia akan mendunia tanpa kehilangan integritas, wallahualam bishawab.


Penulis: Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar