Jati Diri Remaja, Kemana Harus Dicari?


Problematika remaja seolah identik dengan persoalan pencarian jati diri. Fenomena Citayam Fashion Week yang sedang viral akhir-akhir ini, seolah membenarkan asumsi ini. Padahal pertanyaan mendasar yang seharusnya disodorkan terlebih dahulu adalah sejak kapan sebenarnya kaum remaja ini mulai kehilangan jati dirinya? Sebab realita menunjukkan justru para remaja di masa kejayaan Islam tumbuh, berkembang dan sangat berdaya tanpa pernah mengalami krisis identitas dan tanpa harus melewati drama pencarian jati diri sebagaimana yang terjadi pada remaja hari ini.

Tengoklah para sahabat remaja di sekitar Rasulullah saw. Yang paling muda saat itu adalah Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam (8 tahun). Ada pula Thalhah bin Ubaidillah (11 tahun), Al-Arqaam bin Abil Arqaam (12 tahun), Abdullah bin Mazh’un (17 tahun), Ja’far bin Abi Thalib (18 tahun), Qudaamah bin Abi Mazh’un (19 tahun), Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi (dibawah 20 tahun). Usia-usia mereka tak jauh beda dengan para remaja yang nongkrong di SCBD, bukan?

Namun, sejarah mencatat nama-nama para sahabat Rasul yang masih belia itu dengan prestasi yang luar biasa. Tak ada kisah mereka kehilangan tujuan hidupnya sehingga melakukan hal-hal yang nyentrik di masanya.

Sistem Sekuler Menghilangkan Jati Diri Remaja

Ketika peradaban Islam mulai meredup pasca keruntuhan Daulah Islamiyah tahun 1924 dan penetrasi pemikiran Barat mulai menemukan wujudnya, kondisi para remaja ini mengalami degradasi. Bagaimana tidak, penetrasi pemikiran Barat yang menjajakan kebebasan dan memberikan ruang yang begitu luas bagi siapa saja untuk mengekspresikan apapun yang ada dalam benaknya membuat para remaja mulai kehilangan orientasi hidupnya. Maka mereka mulai melakukan apapun yang menurutnya baik, menyenangkan dan keren, tanpa berpikir lebih jauh apakah tindakannya itu benar atau salah, berdampak negatif atau tidak, merugikan orang lain atau tidak. Mereka benar-benar menjadi generasi yang cuek dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Penetrasi pemikiran seputar kebebasan ini didukung dengan sistem nilai yang diterapkan oleh Barat. Pelaksanaan demokrasi yang tegak pada 4 pilar kebebasan merupakan realitas yang tak terelakkan dalam mendukung penetrasi pemikiran ini. Ditambah lagi dengan slogan HAM yang dianggap sebagai sistem nilai universal dan terus dijajakan ke hampir seluruh negeri di dunia ini. Walhasil standar nilai baik-buruk dan benar-salah dari sebuah aktivitas menjadi kian kabur.

Tak hanya itu, dunia remaja digambarkan sebagai dunia peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Maka dianggap wajar jika di masa-masa itu para remaja sedang sibuk mencari aktualisasi diri. Opini ini membuat semua aktivitas remaja yang nyeleneh dianggap sebagai sebuah kewajaran yang harus dimaklumi oleh setiap orang.

Karenanya tak heran jika saat ini, masa remaja dianggap sebagai masa main-main, masa yang harus dinikmati dengan bersenang-senang, bahkan kesalahan tindak tanduk di masa remaja juga dianggap sebagai hal yang lucu, keren dan harus diapresiasi. Inilah kesalahan dan dosa terbesar sistem sekuler terhadap kehidupan remaja. Sistem ini membiarkan remaja bergelimang dengan berbagai aktivitas yang tidak jelas, termasuk aktivitas yang mengantarkan pada dosa besar. Bahkan sistem ini telah menjerumuskan remaja pada jurang kehancuran yang pada akhirnya tak memiliki harapan di masa depannya.

Bisa disimpulkan penerapan sistem sekuler inilah yang menjadi biang keladi munculnya berbagai fenomena unik dan nyentrik, bahkan tak logis di kalangan remaja. Sistem ini pulalah yang membuat remaja kehilangan kendali dalam mengarahkan kehidupannya. Karenanya sudah sepatutnya jika sistem sekuler ini dijauhkan, bahkan dihilangkan dari kehidupan remaja.

Mengembalikan Jati Diri Remaja
Berbeda dengan sistem sekuler, sistem Islam justru akan menuntun para remaja ke arah yang positif. Sebab sistem Islam mengajarkan sistem nilai kepada pemeluknya, termasuk remaja. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan harus dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Aturan Islam yang begitu lengkap dan sempurna membuat pemeluknya memiliki panduan yang sangat jelas saat menjalani kehidupan.

Penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari ini memiliki motif tersendiri bagi siapapun pemeluknya termasuk para remaja. Mengapa? Karena Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Semua amal perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Dalam sebuah hadits diungkapkan:
فعن عبد الله بن مسعود – رضي الله تعالى عنه – قال: نَامَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى حَصِيرٍ، فَقَامَ وَقَدْ أثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ! لَوْ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: “ما لي وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسَتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا. (رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما، وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح)

Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Nabi tidur di atas tikar. Lalu bangun. Tampak di punggungnya bekas tikar itu.’ Aku menawarkan: ‘bolehkah aku ambilkan kasur, wahai Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Apalah aku ini. Aku dalam kehidupan di dunia ini bagaikan seorang pengendara yang berhenti sejenak untuk istirahat, bernaung di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu’. (HR, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Karenanya setiap muslim seharusnya senantiasa memperhatikan setiap amalnya. Sebagaimana firman Allah Swt:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan berjaga-jagalah (bersiap-siaplah) kalian akan datangnya suatu hari yang pada saat itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Albaqarah [2]: 281).

Motif inilah yang akan mendorong setiap muslim untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Allah Swt. Bukan sekadar baik atau keren menurut pandangan manusia. Begitu pula saat meninggalkan perbuatan yang dianggap tidak bermanfaat, maka dorongannya bukan sekadar rasa malas atau tidak keren. Tapi karena memang Islam memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang sia-sia dan unfaedah.

Demikianlah ajaran Islam telah mampu menuntun setiap pemeluknya untuk meniti jalan yang benar. Agar kelak mampu membawa amal soleh yang akan mengantarkannya ke surga-Nya. Dengan begitu para remaja takkan kehilangan orientasi hidupnya. Sebab dimensi ukhrawi ini telah tertanam dan menancap dalam jiwanya.

Apalagi Rasul saw telah mengingatkan untuk senantiasa menjaga lima perkara sebelum datangnya lima perkara yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw bersabda:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim)

Karenanya kehidupan remaja akan kembali menemukan jati dirinya, ketika akidah Islam ditanamkan sedini mungkin dan pembiasaan untuk terikat pada syariat Islam dimulai sejak dini. Dengan bekal akidah Islam dan pembiasaan syariat Islam, secara individual remaja telah memiliki benteng dalam dirinya untuk menangkis serangan pemikiran dari luar.

Namun, ketika serangan pemikiran ini begitu massif maka peran keluarga dan lingkungan sekitar sangat diperlukan. Jika keluarga dan lingkungan sekitarnya pun tak mendukung maka remaja ini pun tentu akan goyah. Karenanya peran negara sangatlah sentral dalam melindungi remaja dari serangan pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Sebab negara dengan semua kekuasaan dan perangkat yang dimilikinya akan mampu melindungi keberlangsungan kehidupan remaja.

Kehadiran negara bukan sekedar dalam membangun sarana dan prasarana atau menyediakan fasilitas atau bea siswa dan sebagainya, tapi negara sangat dibutuhkan kehadirannya dalam meluruskan pemahaman dan pemikiran yang salah mengenai orientasi kehidupan remaja. Melalui pembinaan remaja, kontrol yang ketat terhadap kurikulum pendidikan, bahkan negara harus mampu menghentikan penyebaran konten-konten yang merusak di media sosial. Dengan begitu kehidupan remaja akan menjadi sehat dan remaja akan kembali menemukan jati dirinya.


Penulis: Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar