Kerja Sama Indonesia-Australia, Siapa yang Diuntungkan?


Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese dijadwalkan akan melawat ke Indonesia pada 5-7 Juni. Kunjungan selama 3 hari tersebut menjadi lawatan resmi pertama kepala pemerintah negara kanguru ke-31 itu ke luar negeri setelah terpilih pada Senin, 23 Mei 2022. Albanese mengatakan dalam akun Twitternya, dia telah berbicara dengan Jokowi di telepon dan berharap untuk melanjutkan diskusi tentang kemitraan yang sedang berlangsung antara kedua negara, termasuk merevitalisasi hubungan perdagangan.

Keduanya diperkirakan akan membahas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang ditandatangani pada 2020. IA-CEPA adalah perjanjian komprehensif berdasarkan empat pilar kepentingan termasuk ekonomi, kemanusiaan, keamanan dan kerja sama maritim. Sebagaimana yang kita ketahui perjanjian tersebut merupakan sebuah perjanjian bilateral yang sudah ditandatanani sejak Maret 2019 lalu, yakni perjanjian yang mencakup perdagangan bebas antara Indonesia-Australia dengan menghapuskan bea masuk dihampir semua produk-produk yang diperdagangkan kedua belah pihak, serta mempermudah negara Australia berinvestasi di Indonesia, serta memberi kekeluasaan untuk WNI untuk pergi ke Autralia untuk melakukan pelatihan vokasi.

Lebih daripada itu ternyata pertemuan tersebut memberikan keleluasaan bagi Australia untuk memegang saham perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor telekomunikasi, transfortasi, kesehatan dan energi, serta membolehkan mendirikan universitas di Indonesia.

Bisa disimpulkan hasilnya untuk membangun kemitraan strategis komprehensif antara Indonesia dan Australia dengan banyak membahas isu-isu terkait keamanan, kerja sama demokrasi, dan sebagainya. Itu merupakan tradisi bagi setiap perdana menteri baru Australia untuk melakukan kunjungan luar pertamanya ke Indonesia.

Pertemuan tersebut sudah dinanti-nanti pihak asing ke-Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki potensi SDA yang melimpah menjadi daya tarik tersendiri bagi asing untuk mempertahankan Indonesia sebagai mitra kerja sama strategisnya. Oleh karenanya kerja sama Indonesia-Australia, siapa yang diuntungkan?

Kalau kita amati secara lebih intensif, kerja sama komprensif ini tidak terlepas dari sistem ekonomi yang menopang negara saat ini, yakni ekonomi kapitalisme, yang tentu sangat berbahaya bagi negara-negara jajahannya yang secara perlahan-lahan akan kena biusnya.

Kebebasan bersaing dalam sistem kapitalisme ini akan mebuat yang kuat yang akan mampu tegak berdiri sedangkan yang lemah tersungkur ke bawah tanpa bisa bangkin kecuali atas kehendak mereka-mereka yang di atas, itu pun tentu dengan segudang persyaratan yang pada akhirnya menjadi babu bagi tuannya.
Sebenarnya, Indonesia adalah negara yang kaya akan SDAnya, namun karena bercokolnya pihak asing di setiap cakupan potensi tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang rapuh di semua lini. Karena sistem kapitalisme lebih mendominasi termasuk ekonominya yang tentu menunjang industri-industri besar milik mereka.

Padahal, dalam sistem Islam yakni khilafah, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang untuk melakukan hubungan dengan negara mana pun. Meskipun demikian, mereka berhak berdiskusi, mengkritik negara, dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam hubungannya dengan negara luar.

Rasulullah SAW, misalnya, secara langsung pernah membuat ikatan perjanjian, perdamaian, pernyataan perang, dan melakukan korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan para khalifah sesudahnya. Namun, dalam hubungannya dengan lembaga internasional, khilafah tidak boleh ikut bekerja sama, baik secara internasional maupun regional dengan negara yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, seperti kita ketahui, lembaga-lembaga tersebut merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat, Israel dan sekutunya. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka.

Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar‘î, hal ini tidak diperbolehkan. Untuk itulah politik luar negeri dalam Daulah Khilafah bertujuan untuk penyebarluasan Islam ke seluruh dunia dengan menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (tharîqah) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah SAW mendirikan negara di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Islam 1924. Wallahu a’lam.[]


Penulis: Devi, Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar