Legalisasi Ganja Untuk Keperluan Medis, Manfaat atau Mudarat?


Dilansir CNN Indonesia, Minggu 26/06/2022, aksi seorang ibu bernama Santi asal Sleman, Yogyakarta beserta anaknya Pika yang mengidap kelainan otak, melakukan aksi damai di kawasan Bundaran HI Jakarta saat Car Free Day. Santi membawa surat yang ditujukan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memberikan putusan atas permohonannya terkait UU Narkotika. Santi meminta agar ganja yang masuk dalam golongan 1 UU Narkotika bisa digunakan untuk keperluan medis.

Di Kawasan Bundaran HI tersebut, Santi memegang papan putih yang bertuliskan”Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” sembari berdiri disamping anaknya yang duduk di kereta dorong dengan kepala yang disangga bantal dan kain. Aksi ini beredar di sosial media dan mengundang banyak orang datang untuk memberi dukungan.

Pembahasan legalisasi ganja untuk keperluan medis pernah disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Proses legalisasi ganja membutuhkan penelitian ilmiah yang jelas, ilmu pengetahuan yang pasti dan juga waktu. Karakteristik beberapa negara tidak bisa disamaratakan dengan Indonesia dalam memutuskan legalisasi minyak ganja untuk pelayanan kesehatan.

Disisi lain, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia. Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan minyak ganja maupun ganja untuk pengobatan di Indonesia (mkri.id, 10/08/2021)

Ganja adalah jenis narkotika yang menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya, dapat menghilangkan akal sehat dan jumhur ulama mengharamkannya. Di dalam Islam mengkomsumsi barang-barang yang zatnya haram maka hukumnya haram. Namun, ada pengecualian jika untuk keperluan medis yang sifatnya darurat, yaitu bila tidak dilakukan akan menghantarkan pada kematian, maka boleh hukumnya berobat dengan zat yang haram. Kebolehan menggunakan zat yang haram ini harus benar-benar dipastikan untuk hal-hal yang bersifat darurat saja.

Disisi lain, UU narkotika terus dilakukan revisi oleh pemerintah. Revisi ini harus jelas maksud dan tujuannya, bukan hanya melihat manfaat yang terkandung didalam ganja, tanpa memperhatikan ada unsur kedaruratan atau tidak.
Persoalan narkotika di negeri ini bak gunung es yang hingga kini belum ditemukan solusi tuntas untuk mengantisipasi dan membasminya. Bahkan narkotika menjadi bisnis kelas kakap yang menghasilkan uang atau keuntungan dalam waktu singkat. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan UU narkotika dengan menjerat pelaku yang mengkomsumsi, mengedarkan dan menjualnya, tak lantas membuat para pelakunya jera. Belum lagi adanya fakta lain bahwa hukum di negeri ini bisa dibeli dengan uang.

Inilah yang mengkhawatirkan, di bawah sistem kapitalis sekuler, langkah apapun bisa dilakukan demi meraih keuntungan yang sebesar-besanya. Potensi bisnis narkotika yang begitu menggiurkan, akan mendorong pengusaha yang berada dibalik layar berupaya sekuat tenaga agar narkotika tetap ada dengan dalih bermanfaat bagi kesehatan. Di beberapa negara barat, menanam ganja menjadi sesuatu yang biasa, bahkan berpotensi mendatangkan devisa.

Kekhawatiran berikutnya adalah pangsa pasar yang disasar dari bisnis ini. Tidak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak. Bahkan beberapa kali ditemukan jajanan anak-anak yang mengandung narkoba, hingga menimbulkan kecanduan.

Inilah potret sistem yang meminggirkan peran agama ke tepi kehidupan. Menjadikan asas manfaat diatas segalanya, tak peduli meskipun cara yang ditempuh melibas habis rambu-rambu agama. Agama dianggap sebagai racun sehingga tidak boleh turut campur dalam mengatur kehidupan.

Islam lengkap dan jelas dalam mengatur segala aspek kehidupan termasuk bidang kesehatan. Islam membolehkan berobat dengan zat yang haram hanya ketika kondisi darurat. Selain itu, maka Islam mengharamkannya secara mutlak. Dalam hal ini negara (khilafah) akan memastikan agar barang haram tidak beredar luas (tidak bebas) dan hanya bisa diakses oleh yang berkepentingan  (seperti dokter atau tenaga medis lainnya) dengan kontrol yang sangat ketat.

Untuk pengontrolan ini, khalifah sebagai pemimpin akan menunjuk qadhi hisbah yang tugasnya mengawal dan mengontrol setiap saat, sehingga tidak ada celah bagi siapapun menggunakan barang haram ini untuk hal-hal yang lain. Negara juga tegas menerapkan sanksi bagi para pelanggarnya, misalnya pada orang yang memakai narkoba hanya untuk kesenangan bukan untuk pengobatan.

Berbagai terobosan akan terus dilakukan oleh negara untuk menyediakan obat-obatan yang halal. Mulai dari melakukan penelitian dengan melibatkan para ahli, eksplorasi bahan baku, pabrikasi, pendanaan, SDM hingga distribusi secara merata kepada seluruh rakyatnya dengan murah bahkan gratis. Hal ini sangat mudah karena di bawah sistem pemerintahan Islam, kas negara memiliki pos-pos khusus untuk mendanai semua itu.

Rasulullah saw bersabda,”Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah” (HR Muslim).

Oleh karen itu, negara di bawah sistem Islam, yaitu khilafah bertanggungjawab penuh dalam mewujudkan kesehatan rakyatnya, karena dorongan iman. Termasuk melindunginya dari hal-hal yang dapat merusak akal seperti narkotika. Syariatnya yang sempurna telah terbukti menjadi problem solving bagi seluruh umat manusia. Bukan semata demi meraih manfaat ala sistem kapitalis sekuler melainkan menjadikan kemaslahatan rakyat dan rida Allah Swt. sebagai tujuannya. Wallahua’lam.


Penulis: Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar