Lembaga pendidikan pesantren kembali tercoreng. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu telah di warnai berbagai perilaku cabul yang dilakukan oleh tenaga pendidiknya kepada para santriwati selama bertahun-tahun. Memilukan sekali, mereka yang datang jauh-jauh dengan tujuan belajar dan harus meninggalkan keluarga mereka selama berbulan-bulan malah menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan.
Kasus terjadi di sebuah ponpes yang di asuh oleh Kiai Muchtar Mu’thi di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Kecamatan Ploso, Jombang. Pelaku adalah Bechi atau MSA (42 tahun) setelah terungkap sejak 2 tahum silam. Saat itu Bechi dilaporkan atas kasus pencabulan ke Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 oleh NA, salah seorang satriwati. (Liputan6, 5/7/22)
Menurut penuturan Karopenmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan jumlah korban pemerkosaan Bechi ada 4 santriwati Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah. Namun dari keterangan pendamping terdapat dugaan, korban lebih dari 4 orang. (DetikNews, 8/7/22)
Kasus kejahatan seksual menimpa santriwati di pondok pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyah bukanlah kasus satu-satunya yang menguap kepermukaan. Sebelum-sebelumnya, kasus 21 santriwati yang di cabuli guru di sebuah pondok pesantren di Bandung, pelaku pencabulan adalah Herry Wirawan. Kemudian kasus pencabulan 26 santri di Ogan Ilir, Sumatera Selatan dilakukan oleh Junaidi dan Imam Akbar berstatus sebagai pengajar dan pengawas asrama.
Maraknya kejahatan seksual di pondok-pondok pesantren membuat sebagian besar orang tua was-was menyekolahkan anaknya di pondok pesantren. Lembaga yang diberikan kepercayaan untuk memberikan pendidikan dan pelindung pada anak-anak mereka nyatanya malah merusak kehidupan dan masa depannya. Belum lagi segelintir orang yang antipesantren memberikan stigma negatif mengenai pondok pesantren.
Padahal kejahatan seksual ini tidak hanya terjadi di lingkungan pondok saja. Lantas bagaimana kejahatan seksual yang terjadi di luar pondok? Tidak pernah dipermasalahkan nama lembaganya. Problem kejahatan seksual tidak terjadi apakah karena korban dan pelaku hidup di lingkungan pondok atau tidak tetapi masalah ini muncul karena sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kurikulum pendidikan yang tidak berbasis aqidah Islam menjadikan agama sebatas formalitas belaka bukan sebagai aturan yang harus dipegang teguh oleh siapa pun itu.
Padahal sudah sejak lama pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan tertua di Nusantara telah banyak melahirkan kader-kader yang luar biasa kiprahnya, tidak hanya secara keilmuan Islam saja tapi menjadi garda terdepan dalam mengusir kolonialisme penjajahan Belanda di Indonesia. Pada 10 November 1945 misalnya, muncul perlawanan besar-besaran dari para santri dan ulama di Indonesia yang berkumpul di Surabaya mengusir penjajah yang di namakan 'Revolusi Jihad' dibawah pimpinan KH. Hasyim As'ary dan KH. Masykur.
Ada juga kyai Amin yang merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Turut serta dalam jihad 10 November di Surabaya sebagai pengatur strategi bagaimana caranya mereka menuju ke Surabaya bersama KH. Bisri Musthofa.
Dalam buku yang ditulis oleh Aiko Kurasawa, berjudul "Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945", mengisahkan perjuangan kyai haji Zaenal Mustafa bersama para santrinya melawan pemerintahan militer Jepang pada, Jumat, 25 Februari 1944. Peristiwa ini dikenal sebagai pertempuran Singaparna karena sehari sebelum meletus pertempuran 4 opsir Jepang datang ke pondok pesantren membawa kyai haji Zainal Mustafa untuk menghadap pemerintahan Jepang di Tasikmalaya. Keinginan pemerintahan Jepang ditolak mentah-mentah oleh para santri pada saat itu. (Nasional.Tempo, 9/3/15)
Kisah sejarah heroik dari para ulama dan santri-santrinya cukup menggambarkan bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan, pengajaran serta pembinaan yang bertujuan untuk membentuk santrinya agar berkepribadian Islam dan menjadi orang ‘alim dalam ilmu agama dan mubaligh Islam dalam masyarakat sekitarnya melalui ilmu dan amalnya. (Zidni Sa'adah, Mitra Rakyat, 13/12/19)
Salah besar jika menutup/membekukan pondok-pondok atau malah menjadikan pondok sebagai proyek-proyek moderasi Islam untuk semakin menjauhkan umat Islam dari ajarannya sebab ini merupakan bagian dari agenda barat di bawah Rand Corporation pada tahun 2007, Building Moderate Muslim Network demi menjajakan ide-ide kapitalis-sekulernya masuk hingga ke lembaga pendidikan. Dengan mendeskreditkan bahwa pondok tidak hanya sebagai sarang radikalisme tetapi sebagai tempat lahirnya kejahatan seksual seakan-akan Islamlah biang masalahnya. Dan menggiring umat semakin phobia terhadap pesantren.
Kaum muslimin harusnya bergegas untuk sadar jangan sampai kasus-kasus kejahatan seksual di lingkungan pondok malah di manfaatkan musuh-musuh Islam untuk semakin di goreng memojokan Islam. Bahwa permasalahan ini muncul karena tidak di terapkannya hukum Islam, pornografi pornoaksi bertebaran tanpa ampun tidak hanya di media tapi juga di kehidupan nyata. Tidak adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum dan tidak adanya hukuman yang membuat para pelaku jera ketika melakukan kejahatannya.
Mengembalikan citra pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis aqidah Islam adalah tugas bersama. Ketika merealisasikan dalam bingkai Khilafah sesuai manhaj kenabian. Wallahu'alam.
Penulis: Mia Annisa
0 Komentar