Ketika berselancar di mesin pencari google dengan kata kunci “korupsi dana bansos” di tanggal 16 Juli 2022, muncul sebanyak 1.080.000 hasil. Kasusnya sendiri sudah berjalan selama 1,5 tahun lebih, sejak penangkapan tersangkanya 5 Desember 2020 lalu. Sementara ketika mencari dengan kata kunci “korupsi dana ACT”, yang kasusnya baru mencuat awal bulan Juli 2022 atau belum genap satu bulan, keluar sebanyak 3.780.000 hasil.
Pemberitaan di media tentang kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) terlihat lebih masif, bahkan kehidupan dan kegiatan pribadi yang terlibat kasus diungkap begitu detail, kemudian dikaitkan atau dianalisa dengan berbagai kemungkinan lain. Termasuk ikut turun tangannya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 untuk mendalami kemungkinan aliran dana ACT untuk aktivitas terlarang (baca: terorisme). Terhadap lembaganya langsung keluar keputusan pembekuan dana dan pencabutan ijin operasional. Hal ini menjadi bahan sindiran warganet “Waktu menterinya ketahuan korup, kenapa Kemensos ga dibubarkan? (makasarterkini.id).
Sementara itu, sebut saja kasus Harun Masiku, Kader PDIP yang terlibat suap DPR RI, sejak menjadi buron awal Januari 2020 hingga hari ini (2,5 tahun) belum diketahui keberadaannya. Atau kasus-kasus korupsi kelas kakap lainnya yang begitu besar merugikan negara sekaligus rakyat, terdapat diskriminasi dari segi kecepatan proses hukum dan framing pemberitaan di media. Bahkan para tersangkanya mendapatkan keistimewaan, mulai dari fasilitas penjara hingga potongan masa tahanan.
Atau ketika muncul kasus kekerasan atau pelecehan seksual pun perlakuannya tidak jauh berbeda. Dari siaran pers di website komnasperempuan.go.id tanggal 8 Maret 2022 disebutkan, Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 merekam isu-isu khusus mengenai kasus kekerasan ini, salah satunya dari segi pelaku, yang ternyata dilakukan oleh pejabat publik, ASN, tenaga medis, anggota TNI dan anggota Polri, semuanya sebesar 9% dari jumlah total pelaku.
Ketika pelaku adalah pejabat, penyebutan namanya menggunakan inisial. Mirisnya lagi, posisi atau jabatannya memungkinkan ada intimidasi atau intervensi terhadap kelanjutan kasus, demi mengamankan posisi dan nama baik pelaku. Bahkan ketika pelakunya adalah tokoh agama, namun bukan Islam, beritanya tidak semasif jika pelakunya adalah seorang Ustad atau tokoh muslim.
Seperti kasus seorang pendeta berinisial HL di Surabaya yang diduga memperkosa jemaat di bawah umur (bbc.com, 9/03/2020). Atau pendeta di Medan, Sumatera Utara yang dituntut 15 tahun penjara terkait dugaan kasus pelecehan seksual terhadap 6 murid SD. (cnnindonesia.com, 16/12/2021). Atau yang terbaru kasus Julianto Eka Putra (JE) motivator, pebisnis sekaligus pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia di Malang yang diduga melakukan kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap puluhan siswanya. Semuanya diproses selayaknya kasus pidana tanpa ada embel-embel framing agama yang diekpos terus menerus.
Di sisi lain, ketika pelakunya lekat atau kuat hubungan dengan Islam, seolah menjadi celah untuk memojokkan agamanya, bukan oknumnya. Seperti yang terjadi pada dugaan kasus pelecehan seksual beberapa santriwati Siddiqiyah, Jombang oleh Mas Bechi, anak dari pengasuh pondok pesantren tersebut. Bahkan Kementerian Agama bergerak cepat dengan mencabut ijin operasional pesantren, meskipun 3 hari kemudian pencabutan ijin ini dibatalkan. Ini tentunya mengundang tanda tanya, atas dasar apa pencabutan ijin tersebut dilakukan?
Ketika klaim sebagai negara hukum di negeri ini benar-benar dijalankan, tentu perlakuan diskriminatif di hadapan hukum tidak akan terjadi. Namun, fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Selain penegakkan hukum bak pisau yang tumpul ke atas tajam ke bawah, ada kesan mendeskreditkan Islam dan simbol-simbolnya.
Rangkaian kejadian ini nampak begitu sejalan dengan rekomendasi sebuah lembaga riset swasta Amerika, RAND Corporation, tentang bagaimana menahan gerak kebangkitan Islam yang kian menggeliat. Barat dengan ideologi kapitalismenya hari ini berhasil menguasai dan mengendalikan dunia, lebih tepatnya menancapkan hegemoninya atas negeri-negeri kecil, termasuk negeri kaum muslim. Bangkitnya kembali Islam adalah ancaman bagi hancurnya ideologi kapitalisme yang telah membawa mereka pada puncak kejayaan dengan menghalalkan segala cara.
Salah satu upaya mereka menghambat kebangkitan Islam adalah dengan mengotak-kotakkan umatnya ke dalam beberapa golongan, kemudian dibenturkan satu sama lain, hingga umat semakin jauh dari persatuan. Padahal persatuan adalah kunci kebangkitan, sebagaimana sejarah mencatat selama lebih dari 13 abad Islam dan kaum muslimin mempimpin peradaban dunia dengan begitu gemilang. Kaum muslimin seluruh dunia disatukan dalam perasaan, pikiran dan aturan yang sama yaitu Islam, di bawah naungan khilafah.
Sementara hari ini, menurut rekomendasi RAND Corp. umat muslim dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu; Islam Fundamentalis/Radikal yang dinilai ‘berbahaya’, Islam Tradisionalis yang diberi status ‘waspada’, Islam Moderat/Modernis dengan status ‘aman’ dan Islam Liberalis dengan label ‘sangat aman’.
Perlakuan diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran hukum ketika pelakunya muslim tertera dalam dokumen RAND Corp tersebut, khususnya kepada golongan Islam Fundamentalis/Radikal yang dianggap berbahaya. “Confront and oppose the fundamentalists. Fundamentalists claim to represent true and pure Islam – an assertion vulnerable to challenge on many levels. Their violence against innocent people, the manifest errors in their interpretation of religious doctrine, and their links to corrupt and hypocritical sponsors should be better publicized in order to diminish the heroic image they cultivate with some disenchanted populations”. (rand.org/news/press/2004/03/18.html) –
(Hadapi dan lawan kaum fundamentalis. Kaum fundamentalis mengklaim mewakili Islam yang sejati dan murni – sebuah pernyataan yang rentan terhadap tantangan di berbagai tingkatan. Kekerasan mereka terhadap orang yang tak bersalah, kesalahan yang tampak dalam interpretasi mereka tentang doktrin agama, dan keterkaitan mereka dengan para penyokong yang korup dan munafik harus dipublikasikan dengan lebih baik untuk mengurangi citra heroik yang mereka bangun dengan beberapa kelompok masyarakat yang kecewa)
Hal ini juga disampaikan Ustazah Iffah Ainur Rochmah dalam Live Discussion melalui zoom dan Fanpage MuslimahNewsCom, Jumat, 15 Juli 2022. Menurutnya, dari dokumen RAND Corporation tersebut jelas bahwa masifnya pemberitaan ACT dan kasus kekerasan seksual ini adalah bagian dari agenda barat dalam upayanya meruntuhkan kepercayaan kaum muslimin terhadap Islam dan simbol-simbolnya. Jika hal ini dibiarkan, akan membuat umat semakin jauh dan menjauh bahkan phobia dengan agamanya sendiri.
Padahal sesungguhnya, mengapa ada banyak oknum baik rakyat biasa maupun kalangan intelektual, pejabat bahkan tokoh agama yang kemudian melakukan tindakan menyimpang dan kasusnya pun terus berulang, tidak lain karena hukum yang ditegakkan hari ini adalah hukum buatan manusia. Sifatnya yang lemah dan terbatas mustahil akan melahirkan hukum yang mampu menciptakan keamanan dan keadilan bagi seluruh manusia. Allah berfirman dalam Alquran Surat Al Maidah ayat 50 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.
Maka, sebagai seorang muslim semua harus terus waspada dan bersikap obyektif. Selalu memandang segala sesuatu dari kacamata Islam. Jangan mudah terbawa dengan opini yang sengaja digiring untuk menstigma Islam. Islam telah paripurna diturunkan sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya ibadah ritual, namun juga pendidikan, ekonomi, sosial, politik, termasuk hukum. Di dalam Islam segala bentuk pelanggaran syariat akan diperlakukan sama, tanpa melihat keturunan, status sosial maupun agama. Wallahualam bissawab.
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar