Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka membangun kedekatan emosional antara orangtua dan anak atau dengan anggota keluarga yang lain. Hal ini karena komunikasi yang buruk dapat memicu munculnya konflik yang membuat hubungan menjadi renggang. Termasuk dalam hal mengkomunikasikan visi misi keluarga agar diketahui dan dipahami seluruh anggota keluarga, untuk bisa dicapai bersama-sama.
Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pengasuhan dan pendidikan anak. Orangtua harus paham bahwa berkomunikasi dengan anak yang masih kecil tidak sama ketika berkomunikasi dengan anak yang sudah beranjak dewasa atau sudah baligh. Bahkan terkadang anak yang sudah baligh, agak sulit diatur atau tidak mau patuh dengan orangtuanya. Hal ini terjadi karena cara pandang yang berbeda atau komunikasi yang tidak terjalin dengan baik. Akibatnya, mereka “lebih nyaman” berkomunikasi atau curhat dengan teman sebaya dibanding dengan orangtuanya. Anak menganggap orangtua tidak memahami dirinya, dan merasa terlalu mengekangnya dalam beraktifitas atau bergaul.
Perkara ini tidak boleh dianggap sepele karena akan berakibat fatal jika dibiarkan. Orangtua harus senantiasa intropeksi diri dan belajar cara berkomunikasi dengan anak usia baligh untuk memberikan “rasa nyaman” yang akan membuatnya terbuka dan mau mengungkapkan perasaannya, baik sedih maupun bahagia.
Orangtua harus belajar memahami mereka dan memposisikannya sebagai teman atau sahabat. Anak usia baligh ini tidak bisa diperintah atau dilarang tanpa prolog atau penjelasan di awal mengenai filosofi mengapa mereka harus melakukan dan atau meninggalkan sesuatu. Apalagi terkait aktifitas yang bisa jadi sedang digandrungi atau yang sedang tren di kalangan mereka. Misalnya nonton film korea dan mengidolakan para aktornya, maka perlu disampaikan bagaimana pandangannya di dalam Islam, dengan bahasa yang bisa diterima.
Orangtua bisa mengambil ibrah dari kisah Nabi Ibrahim saat berkomunikasi dengan Nabi Ismail anaknya, terkait mimpinya. Kisah ini diabadikan di dalam Alquran surat Ash-Saffat ayat 102 yang artinya, ”Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab,”Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dari komunikasi antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut adalah, orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk berpikir dan menyampaikan pendapat. Sikap yang ditunjukkan Nabi Ismail adalah bukti bahwa potensi hidup (fisik dan naluri) serta akalnya sudah berkembang secara sempurna. Hingga memiliki kemandirian berpikir dan berpendapat denngan penuh keimanan dan sikap pasrah seorang hamba.
Potensi keyakinan yang kuat membuat Nabi Ismail memahami bahwa permintaan sang ayah merupakan perintah dari Allah, hingga tanpa berat hati menerimanya. Inilah contoh sikap rida terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah Swt. Nabi Ismail dan sang ayah Nabi Ibrahim, memiliki kesamaan konsep berpikir yang menjadi kunci utama terjalinnya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak.
Cara komunikasi seperti inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi para orangtua, agar bisa mengarahkan dan memotivasi anak usia baligh untuk senantiasa berpikir tentang apa yang akan dilakukannya. Hindari sering menyalahkan, tidak percaya dan khawatir yang berlebihan karena ini akan membuat anak merasa tidak nyaman dan menjadi enggan berkomunikasi dengan orangtua.
Anak usia baligh harus diberikan banyak kesempatan atau ruang untuk menyampaikan pendapat dan argumentasi, terlepas apakah yang disampaikan itu benar atau salah atau mungkin berbeda dengan cara pandang orangtua. Pada posisi ini orangtua harus menjadi pendengar yang baik dan memposisikan diri sebagai partner diskusi yang menyenangkan.
Langkah selanjutnya, barulah orangtua mengajak anak untuk berpikir posisinya sebagai manusia dewasa, seorang hamba yang memiliki beban taklif, yaitu kewajiban terikat pada aturan sang pencipta. Walaupun tidak semua anak usia baligh potensi hidupnya sudah berkembang sempurna, tetapi ada banyak upaya yang bisa dilakukan orangtua untuk mengejar ketertinggalan. Salah satunya dengan senantiasa mengajak berdiskusi dan meminta pendapat terkait hal apapun yang terjadi disekitarnya. Ini merupakan cara untuk menstimulus akalnya agar mampu menganalisa, berpikir benar dan memiliki kemandirian dalam berpikir.
Apabila hal ini berjalan terus menerus, maka dengan mudah orangtua bisa mengarahkan dan memberikan pendapat dari cara pandang orangtua. Hingga anak menangkap bahwa apa yang diinginkan orangtua semata-mata untuk kebaikannya dan akhirnya anak bisa menerima dengan ikhlas tanpa ada rasa tertekan atau terpaksa.
Ketika anak mampu berpikir benar (sesuai syariat), maka ia akan termotivasi untuk terus melakukan kebajikan yang itu juga bermanfaat bagi orang lain. Bukan hanya fokus ingin menjadi seorang dokter agar memperoleh uang banyak misalnya, melainkan senantiasa berpikir bagaimana posisinya sebagai dokter bisa memberikan kontribusi untuk kemajuan peradaban Islam dan menjadi amal jariyah di akhirat kelak.
Inilah yang menjadi poin dalam membangun komunikasi dengan anak usia baligh, yang juga menjadi tujuan dari proses panjang pendidikan dan pengasuhan di dalam Islam. Yaitu, melahirkan generasi yang faqih fiddin, generasi penemu, generasi penakluk, generasi polymath, generasi pemimpin peradaban karena merekalah yang akan menorehkan kembali sejarah keemasan Islam di masa yang akan datang. Wallahua’lam.
Penulis : Siti Rima Sarinah
0 Komentar