Menggunting Tingginya Angka Stunting



Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. (www.p2ptm.kemenkes.go.id)

Kondisi balita dalam definisi stunting di atas ternyata masih bisa ditemukan di Kota Bogor. Bahkan, tidak sedikit. Menurut data yang dikemukakan Ketua IDI Kota Bogor, Ilham Chaidir, berdasarkan data Penimbangan Balita (BPB) Kota Bogor pada 2022 tercatat sebanyak 2.723 anak balita yang mengalami stunting, atau setara 3,74 persen. (www.republika.co.id)

Isu stunting memang sedang menjadi perhatian bagi Pemprov Jabar dimana Kota Bogor temasuk dalam wilayah administratifnya. Wakil DPRD Jabar, Achmad Ru’yat, menjelaskan bahwa Jabar memiliki program Jabar for Zero Stunting pada tahun 2023 dengan prevalensi 19,4%.

Posisi angka stunting Jabar sendiri pada tahun 2021 masih 24,5 %. Masih di atas standar WHO yang menetapkan angka prevalensi maksimal adalah 20%. Artinya masih dibutuhkan kerja keras untuk memangkas angka tersebut. Jika dirata-ratakan harus ada penurunan angka sebesar 3,5% per tahun. Apalagi capaian tahun lalu diakui oleh Achmad Ru’yat masih sangat minim. Karena hanya mampu menggunting angka stunting sebesar 1% selama rentang 2019-2021.

Bentur Tembok
Program zero stunting bisa diintepretasikan sebagai program mencegah agar kasus stunting tak terjadi lagi. Diharapkan jumlah balita stunting tidak bertambah lagi. Sedangkan prevalensi stunting berkaitan dengan angka kesakitan. Angka ini perlu ditekan dengan pengobatan. Hingga persentasenya menjadi semakin kecil ketika dibandingkan dengan jumlah total balita di sebuah wilayah, atau semakin mendekati angka yang ditetapkan oleh WHO tadi.

Untuk mencapai target-target program tadi diperlukan upaya-upaya serius. Pemkot Bogor sendiri antusias menyambut program ini. Wakil Walikota Bogor, Dedie A. Rachim menjelaskan bahwa pihaknya telah menyusun langkah sosialisasi, pencegahan pernikahan di bawah usia, kemudian dengan meningkatkan kesehatan bagi calon pengantin, ibu dan anak serta meningkatkan fasilitas faskes Puskesmas dan Pustu. Tujuan dari ditetapkan langkah tersebut selain memenuhi target angka stunting Jabar dan Nasional, Pemkot Bogor pun punya target tersendiri. Pemkot Bogor menargetkan penurunan angka stunting di wilayahnya dalam dua tahun ke depan sebesar 10 persen.

Hanya saja upaya serius ini dirasa akan kurang bermakna karena tidak ditunjang dengan penjaminan akses terhadap segala hal yang dibutuhkan guna mencegah atau mengobati stunting. Penyuluhan akan makanan bergizi, hidup bersih dan hal-hal menyangkut promosi hidup sehat justru akan terbentur tembok tebal jika dihadapkan pada kenyataan tidak ada jaminan akses mudah bagi rakyat untuk mendapatkannya.

Saat ini, semua sarana penunjang dan kebutuhan hidup sehat harus dibeli dengan harga tinggi. Harga komoditas pangan naik tak terkendali. Sementara kebutuhan keluarga tidak hanya urusan pangan. Perumahan yang layak beserta pengelolaannya pun saat ini tidak bisa ditebus dengan harga murah. Sementara, daya beli masyarakat semakin hari semakin turun, bahkan nol karena kehilangan mata pencaharian. Apalagi pasca pandemi. Jadi, jika hanya sosialisasi dan edukasi kepada ibu tentang makanan bergizi sementara kondisi ekonomi ibu morat-marit tanpa jaminan nafkah, justru itu akan menambah beban mental bagi ibu itu sendiri.

Untuk pengobatan dari kesakitan pun sama, tidak murah. Hal ini karena pemerintah hanya menyediakan fasilitas kesehatan tapi paradigmanya masih kapitalistis, yaitu pemerintah berbisnis dengan rakyatnya, bukan penjamin terpenuhinya kebutuhan. Hal ini pun akan menjadi benturan tersendiri. Rakyat yang tidak mampu tak akan sanggup untuk meraihnya. Hingga muncul idiom, “orang miskin dilarang sakit” atau “sadikin alias sakit jadi miskin”.

Sedangkan menurut data BPS angka kemiskinan di Kota Bogor  sebesar 7,24 % dari 1,07 juta jiwa pada tahun 2021. Berarti potensi warga yang tak mampu mengakses jaminan hidup layak dan sehat serta fasilitas kesehatan cukup besar. Angka 7,24 % itu cukup besar jika distandarkan kepada aturan Islam. Karena Islam mewajibkan tiap individu bisa mendapatkan alat pemuas kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan dan kebutuhan komunal berupa layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Jika demikian, maka potensi bertambahnya angka stunting dan lambannya penyembuhan stunting cukup besar juga.

World Zero Stunting

Stunting erat hubungannya dengan kemiskinan. Hal ini diungkapkan oleh Menko PMK, Muhajir Efendi. Muhajir menjelaskan kunci menangani stunting adalah penanganan kemiskinan. Menurutnya, kemiskinan merupakan salah satu penyebab ibu dan anak tak memperoleh gizi yang cukup. (www.kemenkopmk.go.id)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI, menyatakan ada korelasi positif antara kemiskinan dan stunting, artinya semakin tinggi tingkat kemiskinan di suatu wilayah, angka stuntingnya makin tinggi. Prevalensi anak usia 2-3 tahun juga tinggi di wilayah itu. Bahkan, kemiskinan merupakan hulu dari berbagai permasalahan yang ada, seperti tingginya angka kesakitan dan kematian, pengangguran, gizi buruk, serta rendahnya kualitas SDM.  (www.medianeliti.com)

Oleh karena itu, penanganan kemiskinan darurat harus dilakukan. Hanya saja, jika masih menyerahkan pengaturan ekonomi kepada sistem kapitalisme, maka upaya itu tak akan menemukan keberhasilan. Karena justru, kapitalismelah biang merebaknya kemiskinan. Ideologi individualis ini menyerahkan penjaminan pemenuhan kebutuhan baik dasar maupun komunal kepada masing-masing individu itu sendiri. Mereka akan bertarung dalam arena mekanisme pasar bebas guna mendapatkan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan. Yang kuat atau lemah bertarung tanpa kecuali. Yang kuat dibiarkan menang. Yang lemah diabaikan hingga sekarat lalu mati.

Walhasil berharap pada politik ekonomi kapitalisme dalam menangani kemiskinan ibarat mengejar bayang-bayang. Sudah saatnya kita campakkan dan beralih pada politik ekonomi Islam. Dalam politik ekonomi Islam dijelaskan bahwa individu harus dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya serta dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Jalan pemenuhannya adanya syariat untuk bekerja dan penafkahan kepada para laki-laki.

Sementara penjaminan terpenuhi kebutuhan pokok umat menjadi tugas masyarakat dan negara. Jadi, jika ada orang yang lemah dalam menanggung nafkah seperti lansia, orang cacat, dll maka penafkahan akan ditanggung oleh ahli warisnya. Jika tidak ada ahli waris, maka negara akan menanggungnya.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan komunal berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan itu merupakan tanggung jawab negara. Negara wajib menyediakan dan memberi jaminan kemudahan aksesnya. Guna merealisasikan itu semua, negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam.

Dalam sistem ekonomi Islam, negara adalah pihak yang diberi otoritas untuk mengelola kekayaan umat guna kemakmuran rakyat. Kemiskinan akan tereliminasi. Stunting apalagi. Jadi, jangankan Bogor atau Jabar Zero Stunting, World Zero Stunting pun bisa direalisasikan dengan penerapan sistem Islam dalam bingkai khilafah. Wallahualam bissawab.


Penulis: Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar