Mengkritik Penguasa: Sebuah Kewajiban


Urusan kritik mengkritik dalam sistem demokrasi nyatanya menimbulkan pelik. Jika RKUHP jadi disahkan, tak akan mudah bagi masyarakat memberikan kritik kepada pemerintah dan lembaga negara. Bagi pemerintah, tak mudah juga menolak kritik jika distrust masyarakat sudah terbentuk. Berbagai kepentingan dan spekulasi akan terjadi dan saling berkelindan sehingga membuat persoalan kian rumit. Endingnya yang mengkritik masuk bui. Kekuasaan akhirnya menjadi sebuah tirani. Pelik bukan? Inilah lemahnya demokrasi, tak mampu membangun kritik tanpa persoalan pelik sesudahnya.

Berbeda dengan sistem Islam yang justru mendorong setiap warga negara kritis terhadap berbagai kebijakan negara. Muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) adalah bagian dari aktivitas dakwah. Pelakunya justru mendapat pahala yang sangat besar disisi Allah swt. Tentu jika itu dilakukan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ditetapkan oleh syariat.

Dalil Wajibnya Muhasabah lil Hukkam

Dalam bukunya yang berjudul “Hukum-hukum Amar Makruf Nahi Mungkar”, Yasin bin Ali menuliskan definisi muhasabah lil hukkam sebagai sebuah aktivitas meninjau ulang penguasa dalam perkara yang lahir dan muncul darinya, menentang perbuatan dan tindakan hukumnya, dengan cara mengkritik, berdiskusi dan menyangkalnya.

Dalil khusus akan wajibnya muhasabah lil hukkam diantaranya adalah sabda Rasul saw:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”(HR. al-Hakim dan HR. al-Thabrani)

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,

ستكون أمراء تعرفون وتنكرون فمن عرف برئ ومن أنكر سلم ولكن من رضي وتابع قالوا: أفلا نقاتلهم؟ قال: لا، ما صلوا

"Kelak akan ada para pemimpin, dimana kalian menyetujui kemakrufannya dan mengingkari kemungkarannya. Barangsiapa yang menyetujui kemakrufannya maka dia terbebas dan barangsiapa yang mengingkarinya kemungkarannya, maka dia selamat. Tetapi (tidak demikian halnya) orang yang rela dan mengikuti mereka." Para sahabat bertanya, "Apakah kami boleh memerangi mereka?" Beliau saw menjawab, "Jangan, selama mereka masih sholat." (HR. Muslim)

Dari Auf bin Malik dari Rasulullah saw, dia berkata:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya  dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

Muhasabah bisa saja dilakukan dalam perkara yang tidak wajib dan tidak haram, kadangkala ditujukan untuk masalah selain hukum syariat. Diriwayatkan bahwa al Hubbab bin Mundzir bin al Jamuh berkata kepada Nabi saw pada saat di perang Badar, setelah ia melihat Nabi saw singgah di mata air Badar terdekat dengan kota Madinah:

“Wahai Rasulullah, apakah tempat ini merupakan tempat yang ditetapkan Allah kepadamu sehingga kami tidak berhak mendahulukan atau mengakhirkan, ataukah ini hanya pendapat, strategi perang dan tipu daya?” Rasulullah saw berkata, “Ini hanya pendapat, strategi perang dan tipu daya.” Maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ini bukanlah tempat yang tepat, ajaklah orang-orang untuk pindah lagi hingga kita bisa mendatangi mata air yang paling dekat dengan kaum Quraisy, lalu kita berhenti disana kemudian kita buat kolam buatan dan kita isi dengan air, kemudian kita berperang melawan Quraisy. Saat itulah kita bisa minum, sedangkan mereka tidak bisa minum.” Maka Rasulullah saw berkata, “Engkau telah mengajukam usul yang baik.”

Tindakan al Hubbab bin al Mundzir ini terkategori muhasabah lil hukkam, dimana Nabi saw kemudian meninjau perkara teknis yang berkaitan dengan perang, lalu Nabi saw menetapkan untuk menarik kembali putusannya dan melaksanakan saran sahabatnya itu.

Mengoreksi dan mengingkari penguasa ketika mereka menzalimi rakyat dan merampas hak-haknya atau ketika mereka melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyatnya, menyalahi hukum Islam, atau melaksanakan aktivitas yang bisa membahayakan umat dan kepentingan umat, dilakukan tidak dengan kekuatan dan aktivitas fisik seperti memerangi mereka atau memberontak. Kecuali jika di dalam tindakan yang dilakukan oleh penguasa itu secara zahir itu terdapat kekufuran yang nyata.

Dari Ubadah bin Shamit, dia berkata:

دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ

“Nabi saw pernah memanggil kami, lalu kami pun berbaiat kepadanya. Diantara perkara yang beliau pegang dari kami adalah beliau membaiat kami untuk mendengar dan menaati, baik ketika kami senang atau susah, ketika kami dalam kesulitan ataupun dalam kemudahan dan lebih mementingkan beliau saw daripada diri kami, dan kami tidak akan merebut urusan kekuasaan dari ahlinya (yang berhak).” Beliau saw berkata. “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata dimana kalian memiliki bukti kuat di hadapan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Muhasabah lil hukkam bukanlah tindakan memberontak (bughat). Karena bughat adalah aktivitas fisik (angkat senjata) dengan melepaskan ketaatan pada penguasa yang sah. Padahal kaum muslim yang melakukan muhasabah lil hukkam tidak mengangkat senjata. Mereka hanya menggunakan lisan dan pena.

Muhasabah lil Hukkam dalam Sejarah

Terdapat sejumlah riwayat pada zaman sahabat dan para khalifah yang menunjukkan bahwa umat melakukan muhasabah lil hukkam. Ubadah bin Shamit ra., misalnya, pernah menasihati Mu’awiyyah dengan terang-terangan dalam kasus riba fadhl (HR. Muslim), Abu Said al-Khudri ra. pernah mengoreksi Marwan (Amir Madinah) dalam kasus shalat ‘Id (HR al-Bukhari), Umar bin al-Khaththab ra. pernah dikoreksi secara terang-terangan oleh seorang wanita dalam kasus pembatasan mahar.

Tak hanya umat, para ulama pun dalam lintasan sejarah tercatat sebagai pihak terdepan dalam melakukan muhasabah lil hukkam. Terdapat banyak kisah nyata keteguhan para ulama dalam mengoreksi penguasa. Mereka mendapat ujian (mihnah) karena mengoreksi penguasa. Sa’id bin al-Musayyib menolak baiat dua calon khalifah sekaligus, yaitu Walid dan Sulaiman, sebagai pengganti Abdul Malik. Dia menolak karena haram membaiat dua khalifah sekaligus. Akibatnya, beliau mendapat ancaman hukuman bunuh, dicambuk 50 kali dan diarak di sekitar Kota Madinah.

Said bin Jubair ra. pernah berdialog dengan Hajjaj bin Yusuf (Wali Makkah yang zalim). Ia menasihati Hajjaj dengan argumentasi yang kokoh tak terbantahkan. Hal itu membuat kekalahan intelektul bagi Hajjaj. Akibatnya, Hajjaj memerintahkan untuk membunuh Said bin Jubair.

Demikian pula Imam Ja’far as-Shadiq, Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam asy-Syafii, Imam al-Bukhari, Sulthanul Ulama al-‘Izz bin Abdussalam, Imam Ibnu Taimiyah dan sederet ulama lain yang teguh dalam menasihati peguasa.

Kisah-kisah nyata penuh heroik ini menunjukkan betapa para ulama dan kaum muslimin pada umumnya memahami betul kewajiban muhasabah lil hukkam ini. Dengan aktivitas muhasabah lil hukkam ini, penguasa kaum muslimin tetap berada lurus dalam rel syariat dan mampu melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Wallahua’lam.

Penulis: Kamilia Mustadjab. 

Posting Komentar

0 Komentar