Sebanyak 46 calon jemaah haji dipulangkan ke Indonesia. Sebelumnya, mereka ditahan di bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah, Arab Saudi, pada Kamis, 30 Juni 2022 dini hari, setelah melakukan penerbangan regular dengan menggunakan visa penerbangan haji dari Singapura dan Malaysia. Namun, mereka tidak lolos dari imigrasi setelah visa yang dibawa tidak ditemukan dalam sistem imigrasi Arab Saudi (nasional.tempo.co, 4/7/2022).
Para calon jemaah haji yang dipulangkan itu diberangkatkan oleh PT. Al Fatih yang ditengarai tidak terdaftar di Kementerian Agama. Sementara itu, para jemaah haji sudah mengantongi visa furoda yang berasal dari Malaysia dan Singapura, bukan Indonesia. Menurut ketua PPIH Arab Saudi Arsyad Hidayat, ketidaksesuaian visa inilah yang membuat mereka tidak lolos dari pemeriksaan imigrasi bandara.
Mengutip dari nasional.kompas.com (6/7), dengan merujuk laman resmi Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, visa haji furoda, atau disebut juga dengan visa haji mujamalah adalah kuota undangan yang langsung diberikan oleh pemerintah Arab Saudi, di luar kuota resmi pemerintah (di luar haji reguler dan haji plus). Visa ini diberikan sebagai penghargaan, penghormatan, dukungan diplomatik dll, dan orang yang mendapatkan visa furoda ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Kemudian, PIHK melapor ke kementerian agama.
Menanggapi kasus yang mencuat ini, Konsul Jenderal RI di Jeddah, Eko Hartono menyatakan, bahwa konsep haji furoda sebagai haji undangan mestinya disainnya gratis (nasional.sindonews.com, 6/7/2022). Namun, faktanya kini berkebalikan. Haji furoda diperdagangkan sedemikian rupa oleh sebagian masyarakat, dijadikan jalan alternatif untuk berhaji tanpa antre, meski dengan biaya tak murah, mulai 200-300 juta rupiah, bahkan lebih.
Demi Kepentingan Siapa?
Pemulangan 46 jemaah haji Indonesia itu sangat disayangkan. Sebab, di satu sisi terdapat antrean panjang calon jemaah haji. Di sisi lain, Kementerian Agama justru menolak 10.000 kuota haji tambahan yang ditawarkan Arab Saudi kepada Indonesia. Tanpa melakukan rapat dengan Komisi VIII DPR RI serta berbagai elemen teknis lainnya, Kementerian Agama secara sepihak menolak dengan alasan waktu yang sudah mepet dan tidak memungkinkan lagi persiapannya.
Menurut penelusuran news.detik.com (1/7/2022), dari Dirjen PHU Kemenag bahwa surat resmi dari pemerintah Arab Saudi terkait penambahan kuota jemaah haji Indonesia datang pada Selasa, 21 Juni 2022. Tanggal tersebut masih berjarak 12 hari dari kloter keberangkatan terakhir jemaah haji Indonesia di tanggal 3 Juli 2022. Sementara itu, pelaksanaan ritual haji dimulai tanggal 8 Dzulhijjah yang jatuh pada tanggal 7 Juli 2022.
Jika dibandingkan dengan kondisi para jemaah haji furoda yang serba dadakan dan tidak pasti, serta jumlahnya yang tidak menentu. Sesungguhnya waktu yang sangat singkat itu masih sangat bisa digunakan untuk memperjuangkan keberangkatan 10.000 calon jemaah haji. Kuota tambahan dengan waktu yang tersedia ini sangat layak diperjuangkan, mengingat antrean haji Indonesia mencapai hampir satu abad lamanya. Tapi kenapa justru ditolak dengan cepat? Semua pihak menyayangkan kesempatan ini.
Akar Masalah Panjangnya Antrean Haji
Perlu diketahui bahwa saat ini daftar antre calon jemaah haji Indonesia hampir mencapai satu abad. Waktu tunggu keberangkatan jamaah haji Indonesia paling lama bahkan mencapai 97 tahun di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan dengan jumlah kuota 85. Sementara itu, estimasi keberangkatan tercepat adalah 9 tahun, yakni tahun 2031 dari kabupaten Maybrat, Papua Barat dengan kuota 2 orang. Adapun di Pulau Jawa, rata-rata antrean 15-30 tahun (nasional.sindonews.com, 16/6/2022).
Antrean haji di Indonesia yang panjang muncul akibat penerapan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Pendaftaran Haji. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pendaftaran haji dilakukan setiap hari kerja sepanjang tahun. Dengan menyediakan sejumlah dana sebagai setoran awal, serta menandatangani akad wakalah, masyarakat sudah terdaftar sebagai calon jemaah haji.
Dengan menandatangani akad wakalah, calon jemaah haji merestui dana yang ia setorkan untuk dikembangkan dengan cara penempatan dan/atau investasi. Sementara semakin banyak calon jemaah haji yang mendaftar, semakin bertambah akumulasi setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dengan demikian, dana investasi yang dikelola semakin besar. Pengembangan dana haji dengan cara penempatan dan/atau investasi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 pasal 14.
Dalam Siaran Pers Bersama bertajuk “Manfaat Investasi Dana Haji”, pemerintah juga menyatakan dirinya wajib untuk mengelola dana haji yang terkumpul dari para jemaah haji. Maka dibentuklah Undang-Undang 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Dana Haji, dimana di dalamnya dibuat aturan pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Tugas BPKH itu sendiri untuk mengelola penerimaan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, investasi keuangan haji dilakukan melalui tiga instrumen investasi, yakni deposito berjangka syariah, Surat Utang Negara, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Lebih jauh lagi, sejak dikelola langsung oleh BPKH, investasi dana haji menjadi semakin luas, meliputi juga investasi emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.
Pembentukan berbagai macam peraturan untuk mengembangkan dana setoran haji menjelaskan nihilnya peran negara dalam menyukseskan penyelenggaraan haji. Negara sesungguhnya tidak memiliki biaya sendiri untuk mengakomodasi para jamaah haji. Dana yang disetorkan jemaah haji di awal pendaftaran dikembangkan sedemikian rupa sebagai modal untuk mendapatkan keuntungan besar, demi bisa membiayai kebutuhan operasional haji di Indonesia dan Arab Saudi, safe guarding, akomodasi serta transportasi jemaah haji. Sebagai contoh, kekurangan dana dalam penyelenggaraan haji tahun 2022 ini sebesar Rp1,5 Triliun ditutupi seluruhnya oleh nilai manfaat atas pengelolaan dana haji tersebut.
Pelaksanaan ibadah haji memang berjalan dengan lancar dan sukses. Namun hal ini jika dipandang secara kasat mata. Nihilnya peran negara dalam keuangan haji serta solusi yang diambil telah terbukti menimbulkan mudarat besar bagi mayoritas calon jemaah haji berikutnya dalam bentuk antrean yang tak masuk akal. Dengan kebijakan haji dari Pemerintah Saudi Arabia tahun 2022 yang mengharuskan usia jemaah haji kurang dari 65 tahun, semakin menambah ketidaksinkronan sistem haji di Indonesia.
Dalam keadaan demikian, dapat dipahami keadaan masyarakat yang berlomba mengejar kuota haji furoda, meski bukan siapa-siapa di hadapan para raja dan penguasa Arab Saudi. Demikianlah tambal sulam pelaksanaan ibadah haji dalam sistem kapitalisme demokrasi yang selalu menimbulkan masalah baru.
Solusi hakiki permasalahan antrean haji sesungguhnya ada dalam aturan negara Islam. Di negara Islam, jemaah haji tidak perlu mengurus visa atau paspor ketika akan berhaji. Sebab, negara Islam itu satu, dan batas wilayahnya hanya dibedakan berdasarkan keimanan saja. Jika Arab Saudi sudah menerapkan sistem Islam, maka jemaah haji dari seluruh penjuru dunia dapat berbondong-bondong berangkat dengan berbagai armada selama mereka mampu menempuh perjalanannya. Hal ini barang tentu akan menekan biaya perjalanan calon jemaah haji menjadi semakin kecil.
Jemaah haji pun akan diatur keberangkatannya, sehingga mereka yang menjalankan kewajiban serta mampu saja yang akan didahulukan. Dengan dana besar yang dimiliki, negara Islam akan melakukan berbagai edukasi hingga menyediakan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat selama pelaksanaan haji dilakukan. Hal ini dapat meminimalisasi antrean sebagaimana yang terjadi saat ini. Pelaksanaan ibadah haji akan semakin baik jika diatur oleh negara Islam yang akan tegak sebentar lagi dengan izin-Nya. Insha Allah.[]
Penulis: Annisa Al Munawwarah (Aktivis Dakwah dan Pendidik Generasi)
0 Komentar