Baru saja kaum muslim seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha 1443H. Banyak makna yang terkandung di balik perayaan hari besar kaum muslim ini. Diantaranya makna persatuan dengan diselenggarakannya ibadah haji yang menyatukan seluruh kaum muslim di dunia, makna keimanan dan makna berkorban.
Makna pengorbanan yang sangat dalam dapat kita petik dari kisah Nabi Ismail. Dimana ia rela menerima keputusan disembelih oleh ayahnya Nabi Ibrahim atas perintah Allah Swt. Ini menunjukkan betapa kuat keimanannya kepada Allah Swt. Keihlasan dan kepasrahan ini penting untuk ditanamkan kepada anak-anak, agar tumbuh dalam jiwa mereka keimanan yang juga kuat kepada Allah Swt.
Ibrah atau pelajaran dari kisah ini dapat dijadikan acuan orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Bagaimana mampu melahirkan seorang anak yang memiliki kepribadian seperti Nabi Ismail. Tentu tidak ada kata instan, butuh pengorbanan dan perjuangan yang terus menerus diiringi kesabaran, keikhlasan dan doa dalam melewati setiap prosesnya.
Kisah ini mengajarkan kepada kita dua makna pengorbanan. Pertama pengorbanan seorang ayah yang harus mengikhlaskan anak semata wayangnya dan kedua, keikhlasan seorang anak yang rela berkorban agar sang ayah bisa melaksanakan perintah dari Rabb-Nya.
Allah Swt. mengabadikan kisahnya dalam Al Qur’an yang artinya,”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab,”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shaffat :102)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menunjukkan bagaimana menjadi orangtua dan anak yang sama-sama memiliki ketundukkan kepada Zat yang sama, yaitu Allah Swt. termasuk ketika harus mengorbankan sesuatu yang paling dicintai, sebagai konsekuensi keimanan seorang hamba kepada penciptanya. Sikap sami’na wa atho’na (kami dengan dan kami taat) harus tertancap kuat dalam diri orangtua maupun anak karena paham bahwa tujuan penciptaannya memang hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.
Menumbuhkan jiwa berkorban pada anak tentu bukan hal yang sepele atau bisa dianggap remeh. Perlu contoh atau teladan dari orangtua sekaligus diberikan pemahaman dari sedini mungkin, agar menjadi kebiasaan dan akhirnya bisa melekat kuat pada diri anak. Ibarat menanam pohon, apabila dirawat dengan baik akan menghasilkan buah yang baik. Sebaliknya apabila pohon tersebut setelah ditanam dibiarkan begitu saja, tidak dirawat maka buah yang dihasilkan pun akan jelek atau bahkan tidak berbuah dan mati.
Memberi pemahaman pada anak tentang makna pengorbanan sebagai bukti keimanan, selain dari kisah Nabi Ismail masih banyak lagi kisah-kisah lainnya. Orangtua dapat memanfaat setiap momen perayaaan hari besar Islam sebagai salah satu cara untuk menghadirkan kisah-kisah inspiratif bagi anak-anak.
Mendekatkan anak-anak dengan kisah-kisah para pahlawan Islam akan membuat mereka tergerak untuk mengikuti semangatnya, dalam hal sama-sama meraih rida Allah, dalam hal sama-sama ingin masuk ke dalam surganya Allah yang luasnya seluas langit dan bumi. Membiasakan menceritakan tentang balasan “surga” ketika melakukan amal shalih akan menjadi pemicu anak untuk bersegera dalam kebaikan, taat atas perintah dan larangan Allah.
Kisah pengorbanan Nabi Ismail dapat diaplikasikan dengan bentuk yang lain namun memiliki makna yang sama yaitu berkorban karena keimanan kepada sang pemilik surga. Diantaranya, mengajak anak untuk berkorban menyisihkan uang jajan agar bisa membeli hewan sembelihan. Anak akan merasa puas apabila bisa berkurban dengan jerih payah mereka sendiri. Tidak mudah bagi anak untuk menyisihkan sebagian uang jajannya. Tetapi ketika orangtua selalu memberi pemahaman terkait makna berkorban dan reward surga, maka hal ini akan menjadi kebiasaan dan motivasi bagi anak untuk melakukannya.
Bukan hanya anak yang dimotivasi dan diarahkan untuk menyisihkan uang jajan, tetapi orangtua sebagai sosok teladan bagi anak menjadi garda terdepan untuk menyisihkan uang mereka. Dengan menyediakan celengan dan berkomitmen untuk menabung setiap hari berapapun nominalnya. Hal ini harus menjadi kesepakatan bersama sampai nanti dibuka ketika hari raya kurban tiba.
Menabung untuk semua amal kebajikan harus menjadi bi’ah (pembiasaan) yang baik dalam keluarga. Mungkin terkesan sepele, namun pembiasaan ini memiliki makna yang mendalam ketika anak melakukannya karena mereka memahami Allah akan memberi reward surga kepada setiap hamba-Nya yang berupaya untuk taat terhadap aturan-Nya dengan terus melakukan amal saleh.
Pembiasaan ini akan menumbuhkan jiwa berkorban pada anak yang akan ia bawa hingga dewasa. Selain itu, anak pun akan terlatih untuk peduli atau peka terhadap sesama. Ketika memiliki rezeki bukan hanya untuk diri sendiri tetapi berupaya bersedekah, berinfak dan amal saleh lainnya demi membantu kesulitan saudara-saudara muslim lainnya.
Inilah salah satu cara menumbuhkan jiwa berkorban pada anak sedari dini. Pendidikan anak-anak harus senantiasa dilandasi semangat keimanan kepada Allah Swt. agar kelak anak-anak tumbuh menjadi hamba-hamba yang taat dan patuh pada Allah Swt. bisa memiliki kesalehan seperti Nabi Ismail a.s. Wallahua’lam.
Oleh : Siti Rima Sarinah
0 Komentar