Polemik Minol, Tak Sekedar Keharaman Hukumnya


Pasca polemik yang diciptakan oleh Holywing berkenaan dengan unggahan promosi minuman alkohol gratis tiap kamis untuk pembeli yang bernama Muhammad dan Maria beberapa waktu lalu, persoalan minuman beralkohol (minol) atau yang familiar dikenal dengan sebutan miras (minuman keras) kini tengah hangat diperbincangkan. Persoalan miras ini masih menjadi PR besar di negeri ini. Indonesia sebagai negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia hingga kini masih belum mampu untuk menghentikan peredaran miras.

Pada tanggal 20 Februari 2020, sekitar 21 anggota DPR yang terdiri dari PPP (18 anggota), PKS (2 anggota), dan Gerindra (1 anggota) mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (minol) segera dibahas oleh DPR. Namun baru direspon dan dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 10 November 2020 (Liputan6.com, 19/11/2020).

Sebagai fraksi dengan jumlah anggota terbanyak dalam pengusulan di atas, PPP melalui Wakil Sekretaris Jenderalnya, Achmad Baidowi alias Awiek mengatakan bahwa RUU larangan minol sangat urgent untuk segera disahkan menjadi UU. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga demi generasi penerus bangsa.

Senada dengan pernyataan tersebut, CNNIndonesia.com (13/11/2020), merilis data berdasarkan sumber dari Bareskrim Polri melalui Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono yang menyebutkan bahwa kasus pidana miras cukup masif sepanjang tiga tahun sejak tahun 2018 sampai 2020 yaitu sebanyak 223 kasus dengan kasus yang paling menonjol adalah kasus pemerkosaan.

Sementara data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2011 sebanyak 2,5 juta penduduk dunia meninggal akibat alkohol dan sekitar 9% kematian terjadi pada usia 15-29 tahun. Pada tahun 2014 angka kematian sebanyak 3,3 juta orang setiap tahunnya atau 5,9% dari semua kematian (NasionalTempo.co, 12/11/2020).

RUU ini sendiri juga menuai kontra dari beberapa fraksi di DPR, di antaranya Golkar dan PDIP dengan alasan keberagaman agama di Indonesia. Bagi Islam minol dilarang, namun bagi agama dan daerah lain minol digunakan untuk kepentingan ritual tertentu, seperti di Bali, Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi Utara.

Selain RUU di atas, terdapat pula Peraturan Presiden (Perpres) No 10 tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal khusus yang mengatur soal investasi minumal beralkohol, meski akhirnya Perpres tersebut dicabut oleh Presiden Joko Widodo setelah mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Di antaranya dari organisasi keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan lainnya.

Melansir dari laman CNCBIndonesia.com (6/3/2021), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa latar belakang munculnya aturan investasi berdasarkan masukan dari sejumlah pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal.

Di NTT misalnya, masyarakatnya banyak mengelola miras yang mereka kenal dengan nama sopi sebagai minumn tradisi. Bagi pemerintah daerah NTT, miras sopi ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah terlebih jika dikelola menjadi produk ekspor.

Termasuk Bali dengan arak lokal berkualitas ekspornya, dianggap oleh pemerintah daerah Bali melalui izin investasi miras akan memberi dampak bagi pembangunan ekonomi di bidang industri.

Tidak hanya dipandang mampu meningkatkan ekonomi daerah, penjualan miras juga menjadi salah satu obyek penyumbang devisa negara. Mengutip dari laman hisconsulting.co.id, negara menerima cukai dari peredaran Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) tahun 2014 sebesar Rp5,298 triliun, tahun 2015 sebesar Rp4,556 triliun dan tahun 2016 sebesar Rp5,304 triliun. Sedangkan tahun 2020 sebesar Rp2,64 triliun, kontraksi sekitar 21,44 persen dibanding realisasi yang sama di tahun 2019 senilah Rp3,36 triliun. Penurunan tersebut terjadi lantaran banyak tempat pariwisata yang tutup selama masa pandemi.

Sementara produksi miras sepanjang tahun 2014, 2015 dan 2016 total volumenya yaitu 311 juta liter, 248 juta liter dan 282 juta liter berdasarkan angka pembayaran cukai atas MMEA. Menjadi angka yang menunjukkan betapa generasi negeri ini tengah berada dalam ancaman besar akibat peredaran miras yang terbilang sangat tinggi.

Tentu tidak hanya Indonesia, semua generasi di dunia berada di bawah bayang-bayang bahaya miras. World Health Organization (WHO) sebagaimana yang diwartakan databoks.katadata.co.id, melaporkan 8 dari 10 negara dengan konsumsi alkohol per kapita tertinggi berada di Eropa. Dilansir dari Visual Capitalist, Kepulauan Cook memimpin sebagai negara dengan konsumsi alkohol tertinggi di dunia yang mencapai 12,97 liter perkapita atau 3,4 galon alkohol pada tahun 2019. Berlanjut Latvia mencapai 12,90 liter perkapita. Republik Ceko sebanyak 12,73 liter perkapita, Lithuania dan Austria sebanyak 11,93 liter perkapita dan 11,90 liter perkapita, sementara Antigua dan barbuda sebanyak 11,88 liter perkapita. Kemudian Estonia 11,65 liter perkapita dan terakhir Prancis 11,44 liter perkapita.

Disebut-sebut, dua negara berpenduduk padat yakni Cina dan India adalah pendorong komsumsi miras dunia. Berdasarkan pengamatab para peneliti, konsumsi miras penduduk Cina dan India di tahun 2020 akan alami kenaikan sebesar 50 persen dari tahun 1990. Yang awalnya 5,9 liter per orang dewasa di tahun 1990 menjadi 6,5 liter pada tahun 1997 dan akan melonjak 7,6 liter di tahun 2030 (VoaIndonesia.com, 8/5/2019).

Tidak terdapat selisih paham baik dari ilmuan, peneliti, pengamat, maupun masyarakat akan dampak buruk dari mengkonsumsi miras. Sehinga sudah selayaknya setiap penguasa di negara manapun membuat kebijakan yang tegas untuk melarang penyebaran miras guna melindungi rakyatnya terkhusus generasi mudanya sebagai penerus bangsa.

Namun langkah ini menjadi mustahil untuk diambil oleh penguasa yang menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Sebab sebagai sistem pemerintahan yang lahir dari ideologi kapitalisme manfaat atau keuntungan adalah tujuan dari segala kebijakan yang dilahirkan. Berangkat dari paradigma inilah segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan mengedepankan keuntungan dibandingkan keselamatan rakyat.

Dilema tersebut juga menimpa negeri ini. Meski telah tampak dengan sangat nyata kerusakan yang diakibatkan oleh miras tetap saja pemerintah hingga detik ini tidak mampu membuat regulasi untuk melarang peredaran miras dengan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu keragaman adat dan agama serta miras masih menjadi salah satu sumber pemasukan bagi APBD dan APBN.

Padahal menurut Ketua Bidang Organisasi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira alasan bahwa peredaran miras dapat meningkatkan perekonomian daerah bahkan negara justru akan memperburuk perekonomian. Pasalnya, menurut Anggawira dari sisi analisis ekonomi, miras ketika dikonsumsi akan membahayakan kesehatan hingga mengakibatkan kematian. Semakin banyak yang mengkonsumsi miras maka angka kematian manusia pun akan meningkat. Secara otomatis manusia sebagai pelaku ekonomi akan berkurang, berarti roda perekonomian tidak akan berjalan baik (CNNIndonesia.com, 25/6/2022).

Tidak hanya itu, miras sebagai minuman yang merusak sistem saraf akan menjadi pemicu bermunculannya berbagai macam tindakan kriminal. Jika dibiarkan, tidak hanya akan merusak perekonomian, namun juga akan merusak tatanan hukum, sosial dan pemerintahan.

Bagaimana mungkin dikatakan bahwa aktifitas produksi, distribusi hingga konsumsi miras dianggap memberi dampak positif jika ancaman dan bencana yang akan menimpa generasi bangsa jauh lebih besar? Olehnya itu, kaum muslimin sudah sepantasnya meninggalkan demokrasi. Sebab tidak sedikitpun berpihak pada keselamatan rakyat, kecuali sekadar untuk meraih keuntungan materi yang menguntungkan mereka yang mendapatkan keuntungan dari penyeberan miras di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya dari miras ini tidak cukup jika sekadar menjelaskan keharamannya dalam perspektif agama (Islam) saja, tetapi wajib ada peran negara untuk membuat regulasi guna menghalangi peredaran miras di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut hanya mampu diwujudkan oleh khilafah, pemerintahan Islam yang menjadikan hukum-hukum Allah sebagai dasar dalam membuat perundang-undangan, bukan asas keuntungan materi sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi, wallahualam bishawab.


Penulis: Suriani, S.Pd.I

Posting Komentar

0 Komentar