Polusi Berbuah Bisnis di Tangan Kapitalis



Indeks kualitas udara di DKI Jakarta menyentuh angka 185 AQI US, pada pukul 10.00 WIB, 15/6/2022 lalu. Kondisi ini menyebabkan Ibu Kota menempati posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Laporan tersebut dipublikasikan situs IQAir yang mengoperasikan informasi kualitas udara real-time gratis terbesar di dunia (Kompas.com, 17/6/2022).

Kemudian pada 2/7/2022, kondisi udara di Jakarta kembali menempati posisi pertama kualitas udara terburuk di dunia. Berdasarkan situs IQAir pukul 17.52 WIB hari itu, posisi kedua ditempati oleh Kuwait City dan ketiga adalah Dubai (detiknews.com, 2/7/2022).

Memang, polusi udara menjadi salah satu tantangan besar wilayah perkotaan seperti Jakarta. Gas buangan yang berasal dari aktivitas warga, juga industri membuat kondisi langit ibu kota menjadi pekat. Belum lagi kepadatan penduduk yang sulit ditekan, tentu menimbulkan limbah rumah tangga yang tidak sedikit. Sehingga, kualitas udara menjadi rendah dan tidak sehat.

Sejatinya, pencemaran udara yang tidak kunjung tertangani tidak hanya disebabkan faktor alam dan manusia. Tetapi, juga aturan yang belum optimal. Jika kita melihat fakta di lapangan, justru akan kita temui banyak aturan yang belum tegas dan pro kapital terkait pencemaran udara. Contohnya adalah aturan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar. Padahal, batu bara menghasilkan partikel karbon hitam yang menyebabkan penyakit pernapasan.

Saat ini, Jakarta setidaknya dikelilingi 8 PLTU batu bara dalam radius 100 km. Berdasarkan studi oleh CREA pada tahun 2020 lalu, Jakarta dikelilingi sekitar 118 fasilitas industri yang berkontribusi secara signifikan terhadap pencemaran udara Jakarta (kumparan.com, 22/6/2022). Oleh sebab itu, kiranya perlu koordinasi antara pemerintah pusat dan pemprov untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara di ibu kota.

Situs dw.com, 2/5/2018 merilis, Menurut Pakar Perkotaan dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, rancangan revisi Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Batu Bara yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tidak layak untuk masyarakat. Dia menilai ESDM lebih melindungi pihak pengusaha pembangkit listrik dan mengabaikan keselamatan dan kesehatan rakyat.

Kemajuan teknologi dan industri juga sangat berpengaruh di ibukota. Bagai buah simalakama, Undang-Undang yang dibuat kontraproduktif. Seperti dilansir laman kemenperin.go.id, 9/12/2021, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa target produksi sebanyak 850 ribu kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk tahun 2021 telah terlampaui. Sampai Oktober 2021, produksinya sudah mencapai 890 ribu unit atau meningkat 62,4% dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Miris, di tengah massif-nya penanganan polusi udara, pemerintah justru melahirkan aturan yang bertolak belakang. Alih-alih mengurangi gas polutan berbahaya, pemerintah malah terus menambah target produksi kendaraan bermotor.

Jakarta merupakan pusat bisnis dan tempat mengais rezeki bagi warga yang tinggal wilayah penyangga. Tidak heran jika setiap harinya, ribuan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat berputar di Jakarta dan meninggalkan gas buangan Carbon Monoksida yang berbahaya bagi pernapasan. Masyarakat belum sepenuhnya mau beralih ke transportasi publik dengan alasan keamanan dan kenyaman yang belum terjamin. Jadi wajar jika penjualan kendaraan bermotor tinggi.

Namun disadari atau tidak, belakangan ini, pencemaran udara lebih sering diberitakan media. Padahal, problem pencemaran air dan tanah tidak kalah pelik. Parahnya lagi, bukannya mencari solusi atas pencemaran udara, air dan tanah yang merugikan rakyat. Pemerintah yang masih menjadikan sistem demokrasi kapitalisme sebagai panduan hidup, justru menggunakan momentum ini untuk mempromosikan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai kendaraan masa depan.

Tidak tanggung-tanggung, di tengah himpitan hidup warga ibu kota, pemprov membagi perhatiannya demi perhelatan akbar formula E di Ancol beberapa pekan lalu. Padahal pandemi konon masih mengintai dan belum benar-benar usai. Namun, ajang bergengsi tersebut tetap digelar. Mirisnya, masih banyak masyarakat yang belum sadar kalau balap mobil formula E merupakan bagian dari promosi industri mobil listrik semata.

Belum lagi, pencemaran yang ditimbulkan dari proses produksi kendaraan listrik dan baterainya tidak kalah mengancam keselamatan rakyat seperti gas Carbon Monoksida buangan kendaraan bermotor. Situs mongabay.co.id, 2020, memberitakan bahwa Moh. Taufik, Ketua Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, mengatakan bahwa lebih dari 200.000 hektar lahan tambang di Sulawesi Tengah memberi dampak buruk pada masyarakat dan daya dukung lingkungan hidup.

Lumpur (tailing) limbah dari proses high pressure acid leaching (HPAL) dalam aktivitas penambangan yang dibuang ke laut berpotensi masuk ke rantai makanan, terakumulasi dan mengancam manusia. Selain itu, banjir yang terjadi di Sulteng sejak 2019-2022 ditengarai akibat aktivitas penambangan Nikel dan Lithium yang sangat massif.

Namun begitulah lika-liku kehidupan di negeri yang menganut demokrasi kapitalisme sebagai sistem hidup. Sekumpulan masyarakat yang hidup di dalamnya tidak dipandang sebagai warga negara, namun lebih diposisikan sebagai konsumen. Sehingga, kebijakan yang dilahirkan tidak fokus untuk kesejahteraan. Watak materialistis membuat semua objek dinilai apakah menguntungkan atau merugikan. Wajar jika pencemaran polutan mematikan di atas ambang batas pun dijadikan lahan bisnis para pemangku kebijakan.

Apalagi Jakarta sebagai ibu kota negara dan Indonesia merupakan bagian dari entitas kapitalisme global. Tentu berbagai program pemerintahannya tidak lepas dari agenda SDG's. Pertemuan yang membahas masalah Climate Change yakni CPO26 di Glasgow lalu juga tidak lepas dari pembicaraan mengenai kerja sama dan sistem pendanaan kegiatannya. Tidak hanya limbah dari penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin, tetapi polusi dari asap pembakaran rokok pun masuk dalam pembahasan. Di balik gencarnya Bloomberg memerangi tembakau, nyatanya dia ingin memonopoli bisnis industri farmasi yakni Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Wow, begitu manisnya para kapitalis membungkus promosi bisnisnya. Mereka seolah peduli dengan perubahan iklim dunia. Tapi ujung-ujungnya, negara pembebek-termasuk Indonesia diminta mengikuti dikte dan keinginan mereka dalam melanggengkan bisnisnya. Walhasil, kedaulatan negara tersebut kian terkikis. Sayangnya, belum ada pemahaman yang utuh dan kesadaran penuh warga ibu kota dan masyarakat Indonesia pada umumnya tentang kebusukan sistem Demokrasi kapitalisme ini.

Walau mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun mereka masih saja berharap pada sistem bobrok Demokrasi kapitalisme yang memiliki watak rakus. Padahal, sistem ini hanya mementingkan keuntungan materi tanpa memikirkan tindakan zalim eksploitasi terhadap lingkungan maupun kesehatan rakyat. Pemimpin tidak amanah dan masa bodoh juga lahir dari sistem ini. Selain itu, sistem ini mencetak masyarakat yang konsumtif juga hedonis.

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT. Aturan Islam yang shahih mewajibkan pemimpinnya untuk memelihara kesejahteraan rakyat dan menjaga keseimbangan lingkungan. Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat al-Araf ayat 56 yang artinya:

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Maka, masihkah kita berharap pada sistem Demokrasi yang tidak hanya membuat kerusakan tapi juga menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT? Wallahualam bishawab.

Penulis: Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar